Syekh Ahmad Rifai, Teman Mbah Kholil Bangkalan yang Anti Kolonialisme

Syekh Ahmad Rifai, Teman Mbah Kholil Bangkalan yang Anti Kolonialisme

Syekh Ahmad Rifai, Teman Mbah Kholil Bangkalan yang Anti Kolonialisme
Ilustrasi

Memasuki abad ke XIX tepatnya tahun 1850 muncul gerakan perlawanan terhadap penjajah melalui penerapan nilai-nilai religi dari Desa Kalisalak, Limpung, Batang, Jawa Tengah. Pemimpin gerakan ini bernama Syekh Ahmad Rifa’i yang menyebarkan agama Islam dengan metode dakwah yang diselaraskan dengan kondisi sosial pada saat itu. Gerakan pembaruan dan pemurnian ajaran Islam ini selanjutnya dikenal dengan gerakan Rifa’iyah sesuai dengan nama pendirinya.

Hingga saat ini, gerakan Rifa’iyah masih eksis di berbagai wilayah di Indonesia utamanya di daerah Batang dan sekitarnya seperti Wonosobo, Pekalongan, Temanggung, Pati, Kendal sampai Karawang, Jawa Barat. Lantas, siapa sebenarnya Syekh Ahmad Rifa’i yang dengan keberaniannya saat itu berhasil mengembangkan dakwah Islam meski dengan tantangan kekejaman kolonial Belanda?

Syekh Ahmad Rifa’i lahir di tahun 1786 di Desa Tempuran, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. Ayahnya yang bernama Muhammad bin Sujak Wijaya merupakan seorang pengulu di Kendal. Di keluarganya, Syekh Ahmad Rifa’i merupakan bungsu dari delapan bersaudara yang kemudian pada umurnya yang baru berusia tujuh tahun harus menjadi seorang yatim piatu.

Keadaan tersebut membuat Syekh Ahmad Rifa’i diasuh oleh kakak iparnya yang juga seorang ulama pemimpin salah satu pondok pesantren di Kaliwungu bernama K.H Asy’ari. Pengaruh dari kakak iparnya inilah yang membentuk seorang Syekh Ahmad Rifa’i menjadi seorang yang ahli di bidang agama dan memiliki jiwa pemberontak terhadap ketidakadilan.

K.H Asy’ari begitu peduli dengan pendidikan adik iparnya tersebut sehingga Syekh Ahmad Rifa’i diproyeksikan untuk belajar menuntut ilmu di tanah haramain yakni Mekkah dan Madinah. Kecerdasan yang dimiliki Syekh Ahmad Rifa’i membawanya belajar hingga ke tanah suci dari tahun 1225 H sampai tahun 1232 H. Selama delapan tahun itu Syekh Ahmad Rifa’i berguru pada tiga ulama Arab Saudi yaitu Syekh Isa Al Barowi, Syekh Ibrahim al-Bajuri dan Syekh Faqih Muhammad bin Abdul Aziz al-Jaishi.

Pada masa-masa Syekh Ahmad Rifa’i belajar ilmu agama di Arab Saudi, ulama-ulama di negara tersebut tengah gencar menganut paham Wahabi. Muhammad bin Abdul Wahab sebagai pendirinya berniat untuk memurnikan ajaran Islam yang harus sama persis dengan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Meski demikian, Syekh Ahmad Rifa’i tidak sepenuhnya terpengaruh dengan ajaran Wahabi, hanya di bidang tauhid dan pola gerakannya yang berani melawan segala bentuk ketertindasan.

Seusai delapan tahun menuntut ilmu di tanah suci, Syekh Ahmad Rifa’i kemudian pulang ke bumi pertiwi bersama dua sahabatnya yaitu Khalil dari Madura dan Nawawi dari Banten. Dalam perjalanan di sebuah kapal, ketiganya berencana menyebarkan ajaran Islam yang dapat diterima secara praktis oleh masyarakat awam di daerahnya masing-masing. Tercatat, Syekh Ahmad Rifa’i telah menulis 50 kitab agama Islam yang mayoritas membahas perkara ubudiah.

Kitab-kitab karangan Syekh Ahmad Rifa’i merupakan terjemahan dari Al-Qur’an, hadis serta karangan ulama-ulama Timur Tengah yang diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa dan ditulis dengan Arab pegon. Atas dasar karya inilah gerakan Rifa’iyah kerap disebut sebagai gerakan Islam Tarjumah.

Sekembalinya Syekh Ahmad Rifa’i pulang dari tanah haramain, kondisi sosial keagamaan di tanah Jawa tengah terjadi campur aduk antara budaya dan agama. Sebut saja tradisi selamatan, nyewu (peringatan kematian), mitoni (peringatan kelahiran), wiwit (upacara panen) dan lain sebagainya. Kegelisahan yang dialami Syekh Ahmad Rifa’i melihat realita tersebut lantaran ajaran agama Islam dan budaya Jawa seolah dianggap sama tanpa ada sekat yang membedakan.

Di sisi lain, bidang sosial politik pada saat itu turut membuat gerakan Rifa’iyah kian yakin untuk menunjukkan taring radikalnya terhadap kolonial Belanda. Saat itu, perjanjian Jepara tanggal 20 Oktober 1677 membuat wilayah pantai utara Jawa harus tunduk di bawah kekuasaan Belanda. Perjanjian tersebut ditandatangani oleh Amangkurat II dengan Speelman yang berimbas pada ekspansi VOC terhadap tanah utara Jawa kian kuat.

Dua faktor di atas menjadi alasan mengapa gerakan Rifa’iyah lahir hingga pemimpinnya kerap dijatuhi hukuman oleh pihak kolonial lantaran dianggap sebagai pemberontak. Sebut saja fatwa Syekh Ahmad Rifa’i yang menilai pejabat pemerintahan mulai dari lurah hingga bupati merupakan kaki tangan Belanda yang dianggapnya tidak lebih baik daripada anjing dan babi.

Kerasnya pernyataan Syekh Ahmad Rifa’i itu pula yang membuat dirinya harus diasingkan ke Ambon. Bagi Syekh Ahmad Rifa’i mereka yang tunduk dan mengabdi pada Belanda tak ubahnya seperti penjilat mengingat tanah airnya sedang dirampas namun justru ada orang-orang yang berkuasa dan menghamba pada kolonial.

Meski protes yang disematkan Syekh Ahmad Rifa’i tersebut tidak bermuara sampai menjadi perang fisik, tetapi protes tersebut sangat berpengaruh pada stabilitas pemerintahan Jawa saat itu. Protes-protes keras yang dilancarkan Syekh Ahmad Rifa’i dilakukan di berbagai tempat dan kesempatan seperti saat di masjid, saat khotbah, saat pengajian dan berbagai bentuk lainnya.

Frontalnya agitasi anti kolonial oleh Syekh Ahmad Rifa’i yang membuatnya diasingkan ke Ambon tak membuat gerakan ini pasif. Diam-diam, Syekh Ahmad Rifa’i kerap mengirim surat kepada para santrinya di Jawa untuk tetap menjalankan kegiatan Rifa’iyah. Puncaknya, gerakan ini berhasil mempengaruhi masyarakat untuk tetap menentang perintah-perintah pemerintahan kolonial Belanda serta birokrat tradisional yang menghamba pada Belanda.

Atas jasanya yang berhasil mengobarkan api perlawanan terhadap kolonial itu pula pada tahun 2004 dirinya dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional. Warisan kegigihannya dalam membumikan Islam di Nusantara dengan bahasa yang mudah dipahami kaum awam turut mengantarkan 33 karyanya tersimpan di Universitas Leiden, Belanda hingga hari ini. Satu bukti bahwa karya-karya Syekh Ahmad Rifa’i bukanlah karya yang sepele.