Suatu hari Umar bin Khattab bepergian bersama orang-orang Quraisy. Di tengah perjalanan, mereka bertemu dengan seorang perempuan tua. Perempuan tua itu lantas meminta Umar berhenti. Dia lalu berbincang-bincang dengan Amiril Mukminin tersebut.
Seseorang di antara rombongan berkata, “Wahai Amiral Mukminin, apakah Tuan menghentikan langkah orang-orang demi perempuan tua ini?” Umar lantas menjawab, “Celakahlah kamu! Apakah kamu tahu siapa dia? Dia adalah perempuan yang didengar pengaduannya oleh Allah dari atas tujuh langit.
Ini adalah Khaulah binti Tsa’labah yang Allah turunkan ayat tentangnya dalam ayat ‘Sungguh, Allah telah mendengar ucapan perempuan yang mengajukan gugatan kepadamu (Muhammad) tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah, dan Allah mendengar percakapan kamu berdua.’ Demi Allah, jika dia berhenti sampai malam, aku tidak akan meninggalkannya kecuali untuk shalat lantas kembali kepadanya.***
Banyak sekali nama Khaulah dalam deretan nama-nama sahabat Nabi. Ada Khaulah binti Iyyas, Khaulah binti Tsabit, Khaulah binti Tsamir, dan lain-lain. Salah satu Khaulah yang termasuk golongan sahabat itu adalah perempuan yang disebut dalam cerita di atas, Khaulah binti Tsa’labah. Siapakah dia sehingga Umar begitu sangat menghormatinya?
Nama lengkapnya adalah Khaulah binti Tsa’labah bin Malik bin Dakhsyam. Adapula yang mengatakan namanya adalah Khaulah binti Malik bin Tsa’labah bin Ashram bin Fahr bin Tsa’labah bin Ghanam bin ‘Amr bin ‘Auf. Ada juga yang menyebutnya dengan sighat tashghir, Khuwailah binti Khuwailid.
Dalam sebuah riwayat, disebutkan bahwa Khuwailah merupakan istri dari Aus bin Ash-Shamit, saudaranya ‘Ibadah. Khuwailah bercerita, “Demi Allah, dalam (permasalahan)ku dan Aus bin Ash-Shamit, Allah SWT telah menurunkan awal ayat surat al-Mujadalah. Saat itu, statusku adalah istrinya.
Ia seorang laki-laki yang telah tua renta, perangainya telah berubah menjadi kasar dan suka membentak. Suatu hari, ia menemuiku. Kala itu, aku membantahnya dengan sesuatu. Ia pun marah, lantas berkata, ‘Engkau ibarat pungung ibuku bagiku.’ Ia lalu keluar dan duduk di tempat kaumnya berkumpul.
“Beberapa saat kemudian ia masuk menemuiku dan saat itu ia menginginkanku. Maka kukatakan padanya, ‘Sekali-kali tidak. Demi Dzat Yang jiwaku berada dalam kekuasaan-Nya, janganlah engkau mendekatiku. Engkau telah mengucapkan apa yang telah engkau ucapkan, sampai Allah dan Rasul-Nya memutuskan hukum dalam permasalahan kita.’
Kemudian ia melompat hendak menangkapku. Aku menghindar darinya dan berusaha melawan dengan kekuatan seorang perempuan menghadapi lelaki tua lemah. Aku berhasil mendorong tubuhnya dariku. Lalu aku keluar sehingga aku menemui Rasulullah. Maka aku duduk di hadapan beliau. Kemudian aku menceritakan apa yang telah kuhadapi dengan suamiku. Aku mengeluh pada beliau perihal perilaku kasar suamiku itu.
Rasulullah bersabda, “Wahai Khuwailah! Anak pamanmu itu adalah seorang laki-laki yang telah tua. Maka bertaqwalah engkau kepada Allah terhadap suamimu!” Khuwailah berkata, “Demi Allah, aku tidak beranjak dari sisi beliau sampai turun al-Qur’an. Ketika itu Rasulullah Saw diliputi sesuatu dan diwahyukan kepada beliau. Lalu beliau berkata padaku, ‘Wahai Khuwailah! Allah telah menurunkan firman-Nya tentang permasalahanmu dan suamimu.’ Kemudian beliau membacakanku surat al-Mujadilah ayat 1-4:
قَدْ سَمِعَ اللَّهُ قَوْلَ الَّتِي تُجَادِلُكَ فِي زَوْجِهَا وَتَشْتَكِي إِلَى اللَّهِ
sampai ayat
فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ مِن قَبْلِ أَن يَتَمَآسَّا فَمَن لَّمْ يَسْتَطِعْ فَإِطْعَامُ سِتِّينَ مِسْكِينًا ذَلِكَ لِتُؤْمِنُوا بِاللهِ وَرَسُولِهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللهِ وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Rasulullah bersabda, ‘Perintahkan kepadanya agar ia memerdekakan seorang budak!’ “Aku menjawab, ‘Demi Allah, wahai Rasulullah! Dia tidak memiliki seorang budak.’ “Rasulullah bersabda, ‘Kalau begitu, hendaklah ia berpuasa selama dua bulan berturut-turut.’ “Aku berkata, ‘Demi Allah, wahai Rasulullah! Dia adalah seorang lelaki tua yang tidak sanggup lagi berpuasa.’
“Rasulullah bersabda, ‘Jika demikian, hendaklah ia memberi makan enam puluh orang miskin dengan satu wasaq kurma.’ “Aku berkata, ‘Wahai Rasulllah! Dia tidak mempunyai kurma sebanyak itu.’ “Rasulullah bersabda, ‘Maka kami akan membantunya dengan sekeranjang kurma.’ “Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah! Aku juga akan membantunya dengan sekeranjang kurma lagi.’ “Rasulullah bersabda, ‘Perbuatanmu benar dan bagus. Pergilah dan bersedekahlah untuk suamimu. Kemudian berwasiatlah dengan anak pamanmu dengan baik.’ “Maka aku pun melakukan perintah beliau.”
Begitu anggun sikap Khaulah saat menghadapi tingkah laku suaminya. Ia berpegang teguh terhadap peraturan agama karena pada saat itu zihar dianggap sebagai thalaq. Maka, tatkala Aus bin ash-Shamit, suami tua menziharnya lantas menginginkannya kembali, Khaulah tidak serta-merta mau. Dia bahkan mengadukan permasalahannya kepada Rasulullah sampai-sampai turun ayat yang menjawab permasalahan itu.
Terkait dengan kejadian ini, disebutkan dalam sebuah riwayat, Aisyah berkata, “Maha suci Allah yang pendengaran-Nya meliputi segalanya. Aku mendengar ucapan Khaulah binti Sa’labah itu, sekalipun tidak seluruhnya. Dia mengadukan suaminya kepada Rasulullah katanya, “Rasulullah, suamiku telah menghabiskan masa mudaku dan sudah berapa kali aku mengandung karenanya. Sekarang, setelah aku menjadi tua dan tidak beranak lagi ia menjatuhkan zihar kepadaku! Ya Allah sesungguhnya aku mengadu kepada-Mu.”
Aisyah berkata: “Tiba-tiba Jibril turun membawa ayat-ayat ini: “Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan perempuan yang mengadu kepadamu tentang suaminya (yakni Aus bin Shamit).” (QS. al-Mujadilah: 1).
Para sahabat juga mengakui keutamaan dan keberanian perempuan mulia ini dalam kebenaran. Sepeninggal Nabi, para sahabat dia mendengarkan perkataannya sebagai penghormatan terhadap perempuan yang telah didengar pengaduannya oleh Allah.
Seperti yang telah diceritakan di awal, pada suatu hari Umar bin Khaththab keluar bersama orang-orang. Di tengah perjalanan, mereka bertemu dengan seorang perempuan tua. Perempuan tua itu lantas meminta Umar berhenti. Dia lalu berbincang-bincang dengan Amiril Mukminin tersebut.
Seseorang di antara rombongan berkata, “Wahai Amiral Mukminin, apakah Tuan menghentikan langkah orang-orang demi perempuan tua ini?”
Umar lantas menjawab, “Celakahlah kamu! Apakah kamu tahu siapa dia? Dia adalah perempuan yang didengar pengaduannya oleh Allah dari atas tujuh langit. Ini adalah Khaulah binti Tsa’labah yang Allah turunkan ayat tentangnya dalam ayat ‘Sungguh, Allah telah mendengar ucapan perempuan yang mengajukan gugatan kepadamu (Muhammad) tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah, dan Allah mendengar percakapan kamu berdua.’ Demi Allah, jika dia berhenti sampai malam, aku tidak akan meninggalkannya kecuali untuk shalat lantas kembali kepadanya.
Juga diriwayatkan dari Qatadah, ia berkata, “Umar bin Khaththab keluar dari masjid dan al-Jarud al-‘Abdi sedang bersamanya. Tiba-tiba ada seorang perempuan di tepi jalan. ‘Umar mengucapkan salam kepadanya dan perempuan itu menjawabnya.
Perempuan tua itu berkata, “Wahai ‘Umar, dulu aku menemuimu saat engkau masih bernama ‘Umair di pasar ‘Ukazh. Engkau menakut-nakuti anak-anak dengan tongkatmu. Hingga hari berlalu dan namamu berganti ‘Umar. Dan masa terus berlalu hingga engkau menjadi seorang Amirul Mukminin. Maka bertaqwalah kepada Allah terhadap rakyatmu. Dan ketahuilah, barangsiapa yang takut ancaman Allah, dia akan merasakan bahwa siksa Allah itu amat dekat. Dan barangsiapa yang takut terhadap kematian, maka kematian itu pasti tidak akan luput darinya.”
Mendengar perkataan perempuan itu, al-Jarud berkata, “Sungguh engkau telah memperbanyak ucapan terhadap Amirul Mu’minin, wahai perempuan !” Umar lantas berkata, “Biarkanlah ia! Tidakkah engkau mengenalinya? Perempuan ini adalah Khaulah bintu Hakim, istri Aus bin ash-Shamit yang ucapannya didengar oleh Allah dari atas langit ketujuh. Maka demi Allah, Umar sangat berhak untuk mendengarkannya.” Inilah perempuan yang patut dijadikan teladan oleh kaum muslimin. Inilah Khaulah, seorang perempuan yang pengaduannya didengar oleh Allah SWT.
Sumber Bacaan: al-Ishabah fii Tamyiyzi ash-Shahabah, Tafsir al-Qurthubi, Tasfir Ibnu Katsir, Shahih al-Bukhari.
Artikel ini telah dimuat sebelumnya di Majalahnabawi.com