Dikisahkan dalam kitab Shifat ash-Shafwah karya Ibnu al-Jauzi, tentang sosok ulama Naisabur yang shalih beliau bernama Abu Utsman al-Hirri. Suatu ketika beliau ditanya, “Wahai Abu Utsman, amalan apa yang engkau harapkan bisa sebagai bekal menghadap Allah Swt dari apa yang telah engkau lakukan?”
Mendapat pertanyaan seperti itu, Abu Utsman lalu bercerita; “Waktu aku tinggal di Ray, para penduduknya mendesakku agar menikah, namun aku menolaknya. Setelah itu ada seorang perempuan yang menyatakan cintanya kepadaku, “Wahai Abu Utsman, aku telah jatuh cinta kepadamu, hingga aku tidak bisa tidur. Dan aku memutuskan memohon kepada Allah Swt agar bisa menikah denganmu.”
Setelah sang perempuan mengungkapkan perasaan cintanya itu, Abu Utsman lalu menjawab dengan sebuah pertanyaan, “Engkau masih memiliki ayah?” Perempuan tersebut lalu menjawab, “ “Ya, dia adalah seorang penjahit.”
Abu Utsman akhirnya berjanji akan menikahi perempuan tersebut, dan ia pun bergembira. Kemudian dilakukanlah akad nikah dengan para saksinya. Namun, setelah resmi menjadi pasangan yang sah dan melihat fisiknya, Abu Utsman akhirnya mengetahui bahwa salah satu mata istrinya buta, dan kakinya pincang, serta memiliki wajah yang amat buruk. Saat itu Abu Utsman langsung mengucapkan, “Ya Allah segala puji bagi-Mu atas apa yang engkau takdirkan kepadaku.”
Setelah itu, Abu Utsman menjelaskan bahwa keluarganya sendiri telah mencela keputusannya yang menikahi wanita tersebut. Walaupun begitu, Abu Utsman tetap berusaha membahagiakan perempuan yang sudah menjadi istrinya itu.
Sampai suatu saat istrinya menginginkan agar Abu Utsman tetap bersamanya, Abu Utsman rela meninggalkan majelis demi untuk menjaga perasaan pasangannya tersebut. Kehidupan yang penuh cobaan tersebut, dijalaninya hingga 15 tahun dan terkadang Abu Utsman merasa tersiksa dengan keadaaan tersebut. Namun dia sama sekali tidak pernah mengeluhkan hal itu kepada pasangannya, sampai sang istri menghembuskan nafas terakhir.
Abu Utsman kemudian menutup kisahnya dengan perkataan, “Maka dari amalanku itu yaitu menjaga perasaannya, aku berharap bisa menjadi bekal ketika menghadap Allah Swt.”
Tak ada yang dapat menduga kapan cinta itu datang, dan tak ada yang tahu pula kapan cinta itu pudar lalu sirna. Tak ada pula yang kuasa menolak kehadirannya, tak ada pula yang bisa menahan perih ketika cinta itu sirna.
Karena cinta adalah pernyataan janji kesetiaan yang tidak biasa. Seorang pecinta selalu memberi, selalu mengagumi, tidak pernah menuntut kepada yang dicintai, dan tidak mencari-cari kesalahan dan kekurangan dari pasangan yang dicintai.
Jalinan cinta akan bertahan selama dua manusia saling menjaga perasaan dan rasa percaya. Mencintai adalah satu hal, dan mempertahankan cinta dan hubungan adalah hal lain. Oleh karena itu, rasa cinta seharusnya diwujudkan dengan saling menjaga perasaan pasangan, dengan menjaga kepercayaan, tidak menyakiti hati, dan lain sebagainya. Sebagaimana yang dilakukan oleh Abu Utsman yang selalu menjaga perasaan pasangannya, walaupun banyak celaan yang datang kepadanya.
Karena hubungan yang baik itu tidak akan pernah mempersoalkan tentang siapa yang pantas menjaga cinta, tetapi bagaimana mampu mencintai setulus hati tanpa saling menyakiti. Oleh karena itu, jangan takut berkorban, karena cinta dibangun dengan keringat pengorbanan dan perih perjuangan. Meski berkorban dan perjuangan manusia juga mempunyai batasnya.
Oleh karena itu, tetaplah jaga perasaan pasangan masing-masing, jangan sampai menyakiti satu sama lainnya. Disakiti itu sangat perih, dan menyayat luka hati. Apalagi jika yang menyakiti adalah seseorang yang sangat kita percayai, sayangi dan cintai. Tentunya akan membuat hati terasa sangat pedih dan luka. Dan jika hal tersebut sampai membuat seseorang terjatuh, tentu akan sulit dan butuh waktu lama untuk benar-benar sembuh. Pada akhirnya, berani mencintai adalah berani untuk jatuh, bukan?
Jagalah perasaan orang yang kita sayangi dan cintai, atau pasangan kita. Bisa jadi, usaha menjaga perasaan orang yang kita cintai tersebut walaupun pahit, berdarah dan perih bisa menjadi bekal dan amal baik kelak ketika tiba-tiba Allah Swt memanggil kita untuk menghadap-Nya.