Tersebutlah kisah seekor kelinci yang sedang terjebak hujan lebat. Ia mendapati sebuah sarang di bawah pohon yang kosong, rupanya lama tidak ditinggali. Jadilah ia mendiami sarang di pangkal pohon tersebut. Si kelinci merasa nyaman di rumah barunya tersebut, dan bertahan di dalamnya sampai beberapa musim.
Selang musim berganti, datang seekor burung puyuh ke pangkal pohon tersebut. Ia menemukan seekor kelinci tengah tidur nyenyak di sana. Rupanya, sarang itu adalah milik si burung puyuh. Ia telah meninggalkan sarangnya selama beberapa musim.
“Hei kelinci dungu! Itu adalah tempat tinggalku! Segeralah enyah dari tempat ini!” Umpat si burung puyuh, tak terima rumahnya direbut oleh kelinci.
Si kelinci merasa tersinggung. Karena sejak awal ia mendapati sarang ini kosong tidak ditinggali, ia merasa tidak bersalah. “Tidak!” Sergahnya. “Tempat ini jelas adalah sarangku yang sudah kutinggali selama beberapa musim. Enak sekali kau berusaha merampas ini dariku begitu saja!”
Si kelinci dan burung puyuh ini mulai beradu mulut dan hampir berkelahi. Sampai akhirnya si kelinci mengusulkan supaya sengketa ini ditengahi oleh hakim.
“Kalau kau memang pemilik sah sarang ini, silakan kau adukan kepada hakim mana saja yang kau suka, supaya sengketa ini lekas selesai!” Usul kelinci.
“Bagus lah kalau begitu.” Sahut burung puyuh. “Di seberang sungai sana, tinggal seekor kucing tua. Ia adalah pertapa yang dikenal saleh, ahli ibadah. Ia berpuasa saat siang, dan beribadah sepanjang malam hari. Ia tidak berburu seperti kucing lainnya, ia hanya makan dari apa yang ia peroleh dari sungai. Menurutku kucing itu bisa menjadi hakim yang baik karena kebijaksanaannya!”
“Kalau memang benar seperti itu, baiklah. Aku setuju. Mari segera temui kucing itu!”
Setelah bersepakat, kedua binatang itu bersama-sama menuju rumah si kucing yang akan mereka tunjuk sebagai hakim. Singkat kisah, si kelinci dan burung puyuh itu sampai di rumah kucing tua itu. Mereka rupanya tidak tahu bahwa si kucing tua itu adalah penipu ulung. Ibadah yang ia lakukan hanya sebagai kedok untuk menipu binatang lain.
Begitu mendengar ada kelinci dan burung puyuh memasuki rumahnya, si kucing berpura-pura ibadah dengan khusyuk dan khidmat. Membuat kelinci dan burung puyuh merasa takjub. Tidak salah mereka memilih ahli ibadah sebagai penengah perselisihan mereka.
“Salam, wahai tuan kucing yang budiman, sebelumnya kami mohon maaf jika kedatangan kami berdua mengganggu sembahyang tuan.”Kata si burung puyuh, mengucapkan salam dan basa-basi.
“Ah, jangan begitu, sahabatku.” Kata si kucing berpura-pura ramah. “Silakan utarakan maksud kalian datang jauh-jauh ke sini.”
“Maksud kedatangan saya bersama si kelinci ini adalah untuk memohon tuan menjadi hakim yang akan memutuskan perkara yang sedang kami hadapi berdua.” Kata si burung puyuh.
“Hmm.. kalau memang itu yang kalian inginkan, pasti aku akan bersedia membantu.” Sahut si kucing. “Namun kalian harus menceritakan dahulu apakah gerangan perkara yang sedang kalian hadapi itu.”
Si burung puyuh menceritakan duduk perkara yang sedang ia hadapi dengan si kelinci, dari awal sampai akhir. Ketika menceritakan duduk perkara tersebut, si kucing beberapa kali meminta si puyuh mendekat ke telinganya. Kucing itu mengatakan pendengarannya kurang baik akibat usianya yang mulai renta. Tentu itu akal-akalan saja dari kucing tukang tipu.
Setelah si burung puyuh selesai bercerita, si kucing pun berkata, “baiklah, aku kini sudah memahami duduk perkara yang sedang kalian hadapi berdua. Namun sebelum aku memutuskan siapa di antara kalian yang akan memenangkan perkara ini, tolong dengarkan dulu nasihat yang akan aku sampaikan kepada kalian.”
“Silakan, tuan kucing.” Sahut si puyuh dan kelinci berbarengan. “Kami akan dengan senang hati mendengarkan nasihat yang tuan kucing akan utarakan.” Kata mereka dengan takzim.
“Baiklah, wahai saudara-saudara sekalian. Perlu aku sampaikan wasiat ini, kuminta kalian untuk selalu takut kepada Tuhan yang Maha Kuasa dan jangan sekali-kali kalian menuntut apa yang bukan menjadi hak kalian. Karena orang yang beruntung adalah mereka yang hanya menuntut apa yang jadi hak mereka. Mereka tetap beruntung meski hukum duniawi memandangnya sebagai pecundang. Sementara mereka yang berani menuntut yang bukan haknya, adalah orang yang sial dan merugi, meskipun hukum duniawi memenangkan mereka dalam sebuah perkara.”
Si kucing melanjutkan nasihatnya, “Ingat! Sesungguhnya orang yang bergelimangan kesenangan selama hidupnya di dunia, sama sekali tidak akan mendapatkan manfaat dari apa yang dimilikinya itu. Tidak berupa kekayaan, bukan pula berupa teman atau kerabat. Melainkan amal saleh yang ia kerjakan dengan tulus.
Oleh sebab itu, orang yang berakal sehat pasti akan selalu berusaha mengejar segala sesuatu yang abadi meskipun manfaat dari apa yang ia kejar itu baru tampak di kemudian hari. Ia juga tidak akan mudah terjebak pada kesenangan dunia yang menipu. Sebab bagi orang yang berakal sehat, kesenangan duniawi tampak sebagai sebongkah batu saja yang tiada berguna. Karena ia tahu bahwa yang sejati hanyalah amal saleh yang dilakukan dengan tulus….”
Begitulah si kucing penipu itu terus menerus menuturkan bermacam-macam nasihat dan kata-kata bijak panjang-lebar yang tampak hebat. Si kelinci dan burung puyuh mendengarkan nasihat itu dari siang hingga petang, sampai mereka kelelahan dan kepala mereka terkantuk-kantuk mendengar nasihat dari si kucing tersebut.
Dan benar saja. Ketika dua binatang kecil itu benar-benar sudah kehabisan tenaga dan tertidur pulas, si kucing penipu itu dengan kecepatannya melompat dan menerkam kedua tamunya yang sedang tertidur pulas dan memakan mereka hidup-hidup!
Kisah kelinci dan burung puyuh ini adalah adaptasi dari fabel Kalilah wa Dimnah, yang mengajarkan supaya kita menyerahkan satu perkara kepada orang yang tepat. Jangan sampai tampilah lahir seseorang memperdaya kita sehingga kita tertipu olehnya.