Kisah Kakek Tua Menanam Pohon yang Membuat Takjub Kisra Persia

Kisah Kakek Tua Menanam Pohon yang Membuat Takjub Kisra Persia

Kisah kakek tua dengan Kisra Persia yang mengandung pelajaran bahwa menanam pohon adalah perbuatan yang dianjurkan.

Kisah Kakek Tua Menanam Pohon yang Membuat Takjub Kisra Persia
Menjaga Lingkungan bagian dari Syariat Islam.

Suatu hari, seorang Kisra Persia sedang dalam perjalanan untuk menghibur dirinya. Ia dikawal oleh beberapa pengawalnya. Di tengah perjalanan, ia melihat seorang kakek tua yang menanam pohon Zaitun.

Punggungnya seolah tak mampu menopang tubuhnya, yang menunjukkan bahwa usianya sangat tua. Sang Kisra terheran-heran mengingat pohon Zaitun tidak akan berbuah kecuali setelah berusia 30 tahun. Lantas, mungkinkah si kakek dengan kondisi yang demikian masih hidup 30 tahun lagi?

Karena penasaran, ia pun berhenti dan turun dari tunggangannya. Terjadilah percakapan antara Kisra dan kakek tua itu.

“Wahai kakek tua, mengapa engkau menanam pohon Zaitun? Bukankah pohon itu tidak akan berbuah kecuali setelah 30 tahun?” tanya Kisra dengan penuh rasa penasaran.

Tanpa ragu, kakek tua menjawabnya, “Wahai raja yang agung, orang-orang yang hidup sebelum kita telah menanam dan kita yang memetik buahnya. Karena itu, sudah sepantasnya kita menanam untuk mereka yang hidup setelah kita, agar mereka bisa memetik buahnya.”

Jawaban kakek tua membuat sang Kisra tertegun. Ia mengangguk sebagai tanda setuju dan berkata, “Zih!

Kata “Zih!” diucapkan oleh seorang Kisra sebagai bentuk kekaguman kepada seseorang seraya memberinya hadiah sebesar 1.000 dinar.

Kakek tua yang menerima hadiah 1.000 dinar itu pun sangat senang sekali. Setelah itu, ia berkata kepada sang Kisra, “Wahai raja, sebagaimana yang engkau katakan bahwa pohon Zaitun tidak akan berbuah kecuali setelah 30 tahun. Akan tetapi, engkau bisa melihat sendiri bahwa pohon yang aku tanam ini langsung berbuah tepat setelah ia ditanam.”

Sekali lagi, ucapan kakek tua membuat sang Kisra tertegun. Untuk kedua kalinya, sang Kisra berucap “Zih!” dan memberi hadiah 1.000 dinar kepada kakek tua itu.

Kakek tua itu kembali mengeluarkan kata-kata bijaknya, “Wahai raja, pohon Zaitun manapun tidak akan pernah berbuah kecuali hanya sekali dalam satu tahun. Akan tetapi, pohonku ini telah berbuah dua kali hanya dalam beberapa saat.”

Tidak ada yang dilakukan oleh sang Kisra kecuali kembali mengucapkan ”Zih!” karena kebijaksanaan kakek tua itu. Tidak henti-hentinya kakek tua itu membuat sang Kisra terkagum-kagum.

Pada akhirnya, sang Kisra segera menyudahi percakapannya dengan kakek tua itu seraya berkata kepada pengawalnya, “Jika kita tinggal lebih lama lagi di tempat ini, niscaya seluruh simpanan yang ada di kas kerajaan akan habis karena kebijaksanaan kakek tua itu.”

Kisah di atas terdapat dalam sebuah khabar yang diriwayatkan oleh al-Bazzar, at-Thayalisi, dan ad-Dailami, yang disadur oleh Ulya Fikriyati dalam Orientasi Konservasi Lingkungan dalam Ekologi Islam (2017).

Kisah kakek tua dengan Kisra Persia di atas mengandung pelajaran bahwa menanam pohon adalah perbuatan yang dianjurkan. Bahkan, ketika nampaknya sang penanam tidak akan bisa merasakan manfaat (duniawi) dari pohon yang ditanam, sebagaimana yang dilakukan oleh kakek tua.

Barangkali, kakek tua dalam kisah di atas terinspirasi oleh sebuah hadis Rasulullah yang artinya:

“Apabila hari kiamat datang dan salah satu dari kalian membawa fasilah (anak pohon kurma) di tangannya, maka selama ia mampu menanamnya sebelum itu (hari kiamat), hendaklah ia melakukannya.” (HR. Ahmad)

Menurut al-Haitsami, sebagaimana dikutip oleh Ulya Fikriyati (2017; 202), maksud dari ‘datangnya hari kiamat’ adalah datangnya tanda-tandanya, seperti munculnya dajjal dan sebagainya.

Dengan kata lain, sekalipun kedatangan hari kiamat itu tinggal beberapa saat lagi, seorang muslim yang memiliki bibit pohon tetap dianjurkan menanamnya. Sekalipun ia tentu tidak bisa merasakan manfaat pohon itu di dunia.

Baca Juga: Pahala Menanam Pohon

Pelajaran lain yang bisa diambil dari kebijaksanaan kakek tua di atas adalah seorang muslim, dalam berbuat sesuatu, seharusnya berorientasi pada kepentingan orang banyak, bukan kepentingan pribadi.

Karena, bisa jadi, suatu kebaikan yang kita dapatkan hari ini merupakan buah dari “bibit kebaikan” yang telah ditanam oleh generasi sebelum kita. Oleh karena itu, sebagai bentuk syukur kepada Allah dan rasa terima kasih kepada generasi sebelum kita, hendaknya kita sebisa mungkin terus menanam bibit kebaikan agar buahnya bisa dirasakan oleh generasi setelah kita.

Seandainya buah dari kebaikan yang ditanam tidak bisa dirasakan langsung di dunia, maka yakinlah bahwa buahnya akan bisa dirasakan di akhirat kelak. Rasulullah Saw. bersabda:

“Tidaklah seorang muslim menumbuhkan tumbuhan, dan menanam tanaman, lalu tumbuhan atau tanaman itu dimakan oleh burung, atau manusia, atau hewan, kecuali akan menjadi sedekah bagi orang yang menanam.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Betapa beruntungnya mereka yang menanam pohon. Sekalipun ia telah tutup usia, pahala sedekah jariyah akan terus mengalir kepadanya dari sepanjang pohon yang ia tanam dimanfaatkan oleh makhluk hidup lainnya. [NH]