Alkisah, suatu ketika pada pertengahan tahun, Junaid al-Baghdadi melakukan perjalanan untuk menuju Makkah. Dia memasuki gurun pasir hanya berbekal tawakkal, tanpa membawa bekal apapun. Setelah lewat tiga hari, sampailah Junaid al-Baghdadi di tempat penampungan air dan sayur mayur. Kemudian Junaid al-Baghdadi mengambil wudhu, mengisi tempat minumnya, lalu melaksanakan shalat. Kisah ini sebagaimana dikisahkan oleh Abu Nu’aim al-Asfahani dalam karyanya Hilyatul Auliya’ wa Thabaqat al-Asfiya’.
Setelah melaksanakan shalat, tiba-tiba ada seorang pemuda yang datang dengan mengenakan pakaian para pedagang. Dia sepertinya pagi-pagi sekali pergi dari rumahnya menuju pasar, atau bisa jadi baru kembali dari pasar menuju rumahnya.
Ketika bertemu dengan Junaid al-Baghdadi, pemuda tersebut mengucapkan salam kepadanya. Sontak Junaid al-Baghdadi yang melihat pemuda tersebut langsung berkata, “Wahai anak muda, dari mana kamu?”
Sang pemuda menjawab, “dari Baghdad.” Junaid pun kembali bertanya, “Kapan kamu pergi dari Baghdad?” Si pemuda kembali menjawab, “kemarin.”
Mendengar jawaban tersebut, Junaid al-Baghdadi pun terkejut. Karena Junaid sendiri menempun perjalanannya berhari-hari, untuk sampai ke tempat yang disinggahinya. Namun pemuda tersebut hanya membutuhkan waktu sehari.
Mereka berdua pun akhirnya duduk dan berbincang-bincang. Kepada sang pemuda, Junaid berkata, “Berikanlah kepadaku sebagian makananmu.” Si pemuda kemudian meletakkan buah Hanzhallah, yaitu buah yang rasannya pahit di tangan Junaid al-Baghdadi.
Junaid al-Baghdadi pun langsung memakannya. Namun setelah dimakan, buah tersebut rasanya seperti kurma basah. Padahal buah tersebut aslinya pahit. Tak lama, si pemuda pun langsung meninggalkan Junaid al-Baghdadi. Pergi begitu saja.
Hingga pada akhirnya, Junaid al-Baghdadi sampai di Makkah. Ketika sampai Makkah, Junaid al-Baghdadi langsung melakukan thawaf. Namun pada saat melakukan thawaf, tiba-tiba ada yang menarik bajunya dari belakang.
Junaid al-Baghdadi pun menoleh dan ternyata beliau mendapati seorang pemuda bagaikan geriba (tempat air yang terbuat dari kulit unta) yang lusuh, mengenakan mantel setengah badan.
Junaid al-Baghdadi lalu berkata kepada pemuda tersebut, “Beritahu aku siapa kamu?”
Si pemuda kemudian berkata, “Aku adalah seorang pemuda yang pernah memberimu buah hanzhalah.”
Kisah tersebut adalah bukti bahwa dalam sebuah perjalanan, kita akan dipertemukan dengan orang-orang baik yang menolong kita. Apalagi jika perjalanan tersebut adalah perjalanan yang bersifat baik, sebagaimana yang dilakukan oleh Junaid al-Baghdadi yang melaksanakan perjalanan melewati padang pasir untuk menuju Makkah.
Walaupun setiap pertemuan harus ada perpisahan, namun di setiap perpisahan suatu saat akan dipertemukan kembali dengan orang-orang yang pernah kita temui. Entah ketika kita masih hidup di dunia, atau ketika nanti kita telah berada di akhirat.
Itu semua tidak lain adalah bentuk limpahan kasih sayang Allah Swt kepada para hamba-Nya yang selalu bertawakkal dan ridha kepada-Nya.
Karena selama kita ridha dengan ketetapan yang dibuat oleh Allah Swt, hidup kita akan baik-baik saja. Sebab, Kehidupan yang paling baik adalah kehidupan yang ridha dengan ketetapan Allah Swt. Ridha sendiri adalah menghadapi ujian yang turun dengan kekuatan dan kesenangan, serta menanti apa yang belum turun dengan mengambil pelajaran.
Ridha dan tawakkal bukan berarti langsung memasrahkan diri kepada Allah Swt semata, namun juga harus dibarengi dengan usaha yang bisa membuat Allah Swt melimpahkan berbagai kasih sayangnya kepada para hamba-Nya. Salah satu bukti limpahan kasih sayang Allah Swt, yang tidak diduga-duga sebagaimana yang terdapat dalam kisah di atas adalah Allah Swt mengubah sesuatu yang pahit menjadi manis namun melalui perantara para hamba-Nya yang selalu dekat dengan-Nya.
Di sisi lain, kisah di atas juga memberikan pelajaran bahwa jangan memandang orang hanya dari bentuk luarnya saja. Karena pertolongan Allah Swt itu bisa datang dari mana saja.