Imam An-Nawawi (Yahya bin Syaraf Muhyiddin Abu Zakariya An-Nawawi (631-676 H) pernah berkeinginan untuk mendalami ilmu kedokteran. Oleh karena itu, untuk memenuhi keinginannya beliaupun membeli sebuah kitab kedokteran monumental yaitu Al-Qonun fi al-Thibb karya Ibnu Sina.
Setelah membeli kitab tersebut, bulat sudah tekad Imam Nawawi untuk mendalami ilmu kedokteran. Akan tetapi di tengah kebulatan tekadnya, Imam Nawawi merasakan ada yang berbeda di hatinya.
Kegelisahan melanda hati Imam Nawawi. Hal itu terjadi selama berhari-hari hingga beliau tak bisa melakukan aktifitas sebagaimana mestinya. Hari-hari yang dilewatipun terasa sepi dan hampa. Tak ada kelezatan ilmu dan ibadah seperti yang biasa ia rasakan.
Beliau pun memutuskan untuk menyelidiki penyebab hati beliau terasa gelap dan gelisah.
Akhirnya setelah bermunajat dan memohon petunjuk kepada Allah, beliau pun mendapatkan ilham dari Allah bahwa yang menyebabkan hatinya gelap adalah kesibukan baru beliau mempelajari ilmu kedokteran. Menyadari hal itu, dalam seketika kitab Al-Qanun yang baru dibelinya langsung dijual, dan segala sesuatu yang berbau ilmu kedokteran segera dibuang dari rumahnya.
Maka dalam seketika hati beliau kembali bercahaya. Hilanglah segala keresahan dan kegelapan yang ada didalam hatinya. Dan beliaupun dapat kembali menjalani aktifitas keilmuan seperti biasa. (Al-manhallul Adzb Ar-rawi fi Tarjamah Quthb al-Auliya’ al-Nawawi. hal 14)
Sekilas dalam cerita tersebut, mungkin kita menyimpulkan bahwa ilmu kedokteran merupakan ilmu yang kurang baik, hingga membuat hati Imam Nawawi gelap dan gelisah. Mungkin kita juga akan memprotes, bagaimana bisa ilmu kedokteran menjadi ilmu yang buruk sedangkan Imam Syafi’i pernah berkata, “Ilmu itu ada dua macam, Ilmu Fiqh untuk Agama dan Ilmu kedokteran untuk badan”
Di kesempatan lain Imam Syafi’i juga pernah mengekspresikan kekecewaanya akan ilmu kedokteran yang disia-siakan kaum muslimin seperti yang diriwayatkan Imam Hirmalah bin Yahya, “Umat muslimin telah menyia-nyiakan sepertiga ilmu (kedokteran) dan menyerahkannya pada kaum yahudi dan Nashrani”
Mengenai hal ini, kita tidak bisa menyimpulkan sebagaimana di atas. Karena, bagaimanapun Ilmu Kedokteran adalah satu cabang ilmu yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Sebagaimana yang diakui Imam Syafi’i di atas, Rasulullah juga merupakan orang yang meletakkan sendi-sendi dasar ilmu kedokteran. Dari dasar tersebut Para ulama meramunya menjadi berbagai teori kesehatan yang terus dikembangkan hingga sekarang.
Sehingga poin penting dari cerita di atas adalah bukan pada perbandingan dua cabang keilmuan tersebut, melainkan dari sikap seorang penuntut Ilmu yang dalam menentukan spesifikasi keilmuannya harus benar-benar melalui pemikiran matang dan dalam arahan seorang guru. Bukan sekedar dari tuntunan nafsu.
Bagaimanapun, dalam cerita Imam Nawawi di atas beliau terkesan tergesa-gesa dan tidak berpikir panjang dalam memutuskan untuk mendalami ilmu kedokteran. Beliau juga tidak melibatkan guru dalam proses pemilihannya itu. Padahal, posisi guru dalam menentukan masa depan seorang penunut ilmu sangat vital. Gurulah yang tahu persis karakteristik seorang penunut ilmu. Guru juga yang sangat tahu spesifikasi ilmu mana yang cocok. Apakah Ilmu Hadiist, Fiqih atau kedokteran.
Untuk itu Allah menegur sikap belaiau untuk tidak meneruskan keinginanya lewat kegelisahan yang beliau alami. Sehingga pada akhirnya beliau kembali menekuni ilmu yang telah lama ia pelajari, yakni ilmu agama. Samapi ia mencapai pucak intelektualitasnya sebagai seorang ulama yang diakui dunia.