Saat itu, Naisabur dipimpin oleh penguasa Saljuk yang menganut mazhab Hanbali. Sedangkan Imam al-Qusyairi menganut mazhab Syafi’i. Perbedaan mazhab ini ternyata berbuntut masalah besar, yaitu terusirnya al-Qusyairi dari kampung halamannya.
Pasca wafatnya Rasulullah SAW, timbul perpecahan di kalangan umat Islam hingga menjadi beberapa golongan. Perpecahan tersebut erat kaitannya dengan kepentingan politik. Pada tahap selanjutnya, perpecahan tersebut melahirkan perbedaan ideologi. Di tahap ini, umat Islam bukan lagi berebut kekuasaan, melainkan wacana keagamaan, mengingat model pemerintahan Islam kala itu menganut sistem monarki.
Fanatisme pun semakin menjadi-jadi, ajaran agama dipahami sesuai ideologi yang dianut, tak jarang, ajaran agama ‘diperkosa’ untuk kepentingan ideologi tertentu. Tidak berhenti sampai di situ, setiap ideologi berebut popularitas di masyarakat, bahkan tak segan menghasut pemerintah yang sedang berkuasa untuk menyingkirkan ‘lawan’ mereka. Fanatisme yang terjadi masa itu memakan korban, salah satunya al-Imam ‘Abd al-Karim al-Qusyairi seorang sufi besar dari Naisabur.
Nama lengkapnya Abu al-Qasim ‘Abd al-Karim ibn Hawazin ibn ‘Abd al-Mālik ibn Thalhah ibn Muhammad al-Qusyairi al-Naisaburi. Ia dilahirkan di Ustuwa pada bulan Rabi’ul Awwal tahun 367 H. Saat kecil, ayahnya wafat. Ia kemudian diasuh oleh seorang kerabat dari keluarganya bernama Abu al-Qasim al-‘Alimani.
Al-Imam Syams al-Din Muhammad al-Dzahabi (w. 748 H) dalam Siyar A’lām al-Nubalā` menukil kisah dari ‘Abd al-Ghafir ibn Isma’il (w. 529 H) bahwa peristiwa yang menimpa Al-Qusyairi tersebut terjadi pada tahun 440 H (tahun 445 H dalam versi Ibn ‘Asakir (w. 571 H)), Lihat: Tabyīn al-Kadzb al-Muftarā, h. 110).
Sikap fanatisme menjangkiti dua firqah yang saling berseteru dan berlomba menancapkan pengaruhnya di kalangan masyarakat, yakni mazhab Syafi’i dan mazhab Hanbali.
Kebetulan, Naisabur dipimpin oleh penguasa Saljuk yang menganut mazhab Hanbali saat itu. Situasi ini dimanfaatkan oleh para penganut mazhab Hanbali untuk menyingkirkan Al-Qusyairi yang memiliki pengaruh cukup luas di Naisabur. Rasa dengki yang bercokol di hati para penganut mazhab Hanbali masa itu membuat mereka terdorong untuk melakukan hal buruk kepada Al-Qusyairi, mereka menghasut pemerintah saat itu dengan berbagai fitnah.
Upaya licik mereka membuahkan hasil, pemerintah memutuskan untuk membubarkan majelis Al-Qusyairi. Ia juga dilarang melanjutkan aktivitas dakwah di Naisabur. Menghadapi situasi yang serba sulit, al-Qusyairi memutuskan untuk beranjak dari Naisabur demi melanjutkan aktivitas dakwahnya, dan Baghdad menjadi pilihan untuk tempat persinggahan sementara.
Di Baghdad, al-Qusyairi mendapat sambutan hangat dari penguasa saat itu, yakni Al-Qaim bi Amrillah (w. 467), beliau pun dipersilahkan melanjutkan aktivitas dakwah di sana. Setelah kurang lebih 15 tahun di Baghdad dan merasa kondisi di Naisabur telah mendukung, akhirnya ia kembali ke kampung halamannya pada tahun 455 H. (Siyar A’lām al-Nubalā`, Jil. 18, h. 231-232)
Ibrahim Basyuni menuturkan bahwa al-Qusyairi berhasil menulis kitab tentang peristiwa yang menimpa dirinya yang diberi judul Syikāyat Ahl al-Sunnah bi Hikāyat mā Nālahum min al-Mihnah. (Imam al-Qusyairi Hayātuh wa Tasawwufuh wa Tsaqafātuh, h. 20). Saat Al-Qusyairi kembali ke Naisabur, penguasa Saljuk yang berkuasa saat itu menerimanya, bahkan memuliakannya hingga ia wafat pada tahun 465 H.
Saat masih remaja, al-Qusyairi mulai tertarik untuk memperdalam tasawuf. Ketertarikannya itu berawal ketika menghadiri majlis seorang ulama sufi besar di Naisabur yang bernama Abu ‘Ali al-Hasan al-Daqqaq (w. 405 H). Al-Qusyairi lalu diterima menjadi muridnya. Kehebatan Al-Qusyairi membuat Al-Daqqaq kagum. Al-Qusyairi pun menjadi murid kesayangan gurunya. Bahkan, Al-Daqqaq menikahkan al-Qusyairi dengan salah satu putrinya yang bernama Fatimah.
Atas perintah Al-Daqqaq, Al-Qusyairi terlebih dahulu memperdalam ilmu-ilmu syariat sebelum menekuni dunia tasawuf. Ia pun mulai berguru kepada ulama-ulama seperti Abu Bakr al-Thusi (w. 420 H) di bidang fikih, Abu Bakr ibn Furak (w. 406 H) dan Abu Ishaq al-Isfirayini (w. 418 H) di bidang teologi. Barangkali fase inilah yang paling mempengaruhi pemikiran Al-Qusyairi yang berusaha memadukan antara syariat dan hakikat.
Al-Khatib al-Baghdadi (w. 463 H) menuturkan bahwa di bidang fikih, Al-Qusyairi menganut mazhab Syafi’i, sedangkan di bidang teologi menganut mazhab Asy’ariy. (Tarikh al-Baghdadi, Jil. 12, h. 366).
Demikianlah secuil kisah yang menunjukkan betapa bahayanya sikap fanatisme. Sikap fanatisme membuat hati sulit menerima kebenaran, jiwa mudah dikuasai oleh nafsu, yang kemudian dapat membawa kepada sikap menghalalkan segala cara demi membela kelompoknya. (AN)
Wallahu A’lam.