Belajar hadis pada masa dahulu bukanlah hal yang mudah. Kisah Imam al-Bukhari misalnya, sebagai seorang ulama hadis, ia harus menempuh perjalanan berhari-hari demi bisa mendapatkan hadis.
Suatu hari Imam al-Bukhari, ulama hadis terkenal, masyhur dengan kitabnya Sahih al-Bukhari melakukan rihlah (perjalanan) untuk mencari hadis. Saat itu agendanya adalah bertandang ke Asqalan untuk bertemu dengan salah satu ulama di sana, seorang perawi hadis bernama Adam bin Abi Iyas.
Sampai di tengah jalan, bekal yang dibawa oleh al-Bukhari habis. Ia tidak tahu harus minta tolong kepada siapa. Waktu makan pun tiba. Perutnya keroncongan minta diperhatikan. Namun apa daya, kehabisan bekal membuat al-Bukhari tidak memedulikan bunyi perutnya.
Al-Bukhari tetap saja melangkah, menempuh perjalanan agar segera sampai ke daerah yang ingin ia datangi. Namun, perut tetaplah perut. Ia adalah makhluk Allah yang juga harus diperhatikan agar al-Bukhari sampai ke Asyqalan dengan selamat.
Perawi hadis sahih yang terpercaya ini melihat tumbuhan-tumbuhan yang ada di sekelilingnya. Ia sadar bahwa bagaimanapun ia harus mengisi perutnya. Mata al-Bukhari tertuju pada tumbuhan yang ada di hadapannya, yaitu rumput-rumput yang tumbuh di sekitar jalan yang ia lewati. Awalnya ia ragu untuk memakannya, namun perutnya sudah ‘berteriak’ menyetujui apapun yang masuk ke dalam lambungnya. Al-Bukhari pun mengambil rumput itu dan memakannya.
Situasi seperti ini berulang beberapa hari. Imam Ibnu Hajar al-Asyqalani dalam muqaddimah Fathul Bari yang ia beri judul Hadyus Sari menjelaskan bahwa kisah Imam al-Bukhari ini terjadi berulang hingga tiga hari. Imam al-Bukhari bingung harus meminta tolong kepada siapa lagi. Karena tidak ada yang dimintai tolong, ia pun bersabar. Ia berdoa kepada Allah SWT agar diberikan pertolongan. Selama tiga hari itu pula ia tidak berani meminta pertolongan siapapun kecuali Allah dan dalam waktu tiga hari itu pula ia tidak menemukan seseorang yang membantunya. Tidak pula ada kafilah yang lewat bersamanya.
Pada hari keempat, sepertinya doanya dikabulkan oleh Allah SWT. Kesabarannya menunggu doanya dikabulkan oleh Allah membuahkan hasil. Pada hari keempat itu, ia didatangi seorang yang tak dikenal memberikan seikat bungkusan yang berisi beberapa dinar. Ia mencoba mengamati si dermawan itu, namun memorinya buntu. Ia sama sekali tidak mengenal orang itu.
Telinganya samar-samar mendengar perkataan orang asing tersebut, “Sedekahkanlah beberapa dirham ini untuk diri kamu sendiri.”
Al-Bukhari sangat bersyukur sekali Allah SWT telah menolongnya melalui dermawan yang tak ia kenali itu. Ia pun melanjutkan perjalanannya dengan bekal penuh. Ia tak perlu lagi mencabuti rumput di penggir jalan untuk ia makan. Kisah Imam al-Bukhari ini dikutip dari kitab karya Syekh Abdul Fattah Abu Ghuddah yang berjudul Shafahat min Shabril Ulama. (AN)