Hari itu, Imam Ahmad bin Hambal sedang bersama Imam Muhammad bin Idris as-Syafi’i, gurunya yang paling ia cintai. Tak lama, mereka kedatangan seorang sufi yang dikenal sebagai seorang buta huruf. Sufi itu bernama Syaiban ar-Ray. Syaiban datang dengan tampilan sederhana khas para sufi pada umumnya.
“Wahai guru, sepertinya Syaiban akan datang. Aku ingin menguji kealimannya di depanmu,” ucap Imam Ahmad bin Hambal.
Usut punya usut, ada satu hal yang mendorong sang Imam ingin melakukan hal itu. Ia gemas dengan sikap Syaiban yang tidak begitu peduli pada persoalan-persoalan fikih. Sehingga, ia ingin membuktikan, apakah Syaiban hanya tidak peduli, atau dia memang tidak tahu apapun tentang persoalan fikih?
Imam as-Syafi’i tidak setuju dengan niat muridnya itu. Selain karena hal itu tidak perlu dilakukan, sang guru tahu bahwa Syaiban bukanlah sosok seperti yang dibayangkan oleh muridnya. As-Syafi’i mengetahui kehebatan Syaiban.
“Tak perlu engkau lakukan hal itu,” cegahnya.
Namun, sepertinya keinginan Imam Ahmad sudah menggebu-gebu. Peringatan dari gurunya tak digubris olehnya. Ia tetap ngotot untuk ngetes kealiman Syaiban.
Setelah Syaiban tiba dan disambut dengan baik oleh keduanya, Imam Ahmad mulai mengajukan pertanyaan untuk ngetes Syaiban.
“Wahai Syaiban, apa pendapatmu tentang seorang yang lupa melaksanakan salah satu dari kelima sholat fardhu, sementara ia lupa sholat mana yang telah ia tinggalkan? Lalu, apa kewajiban yang harus ia lakukan?” tanyanya.
Suasanya sedikit menegangkan. Syaiban terlihat tetap tenang menghadapi pertanyaan yang diajukan kepadanya. Nampaknya ia segera memberikan jawabannya kepada Imam Ahmad.
“Wahai Ahmad, itulah hati yang lalai kepada Allah. Karena itu, kewajiban yang harus dilakukannya adalah ia harus belajar cara berakhlak kepada Tuhannya. Sehingga, ia tak lagi melupakan-Nya,” jawab Syaiban dengan tegas.
Hal yang tak disangka terjadi setelah itu. Imam Ahmad bin Hambal pingsan. Imam as-Syafi’i mengondisikan tubuhnya agar berbaring dengan nyaman. Syaiban pun pamit kepada sang imam untuk pergi.
Saat Imam Ahmad mulai tersadarkan dari pingsannya dan sedikit tenang, Imam as-Syafi’i mulai berbicara kepada muridnya itu.
“Bukankah sudah kubilang, jangan sekali-kali engkau mengganggunya,” tutur sang guru kepada muridnya. Imam Ahmad pun menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi.
Kisah antara dua ahli fikih dengan seorang sufi itu dapat ditemukan dalam kitab al-Risalah al-Qusyairiyah karya Imam Abdul Karim Al-Qusyairi. Satu hikmah yang bisa diambil dari kisah tersebut adalah agar kita tidak menilai seseorang hanya berdasarkan penglihatan kita. Jika di depan kita orang tersebut malas, maka bisa jadi saat kita ia di belakang kita juga bersikap demikian. Artinya, sebisa mungkin kita harus berprasangka baik kepada orang lain (husnudzon). Wallahu a’lam.