Alkisah, salah seorang tabi’in yang bernama Muhammad bin Munkadir atau Ibnu Munkadir. Setiap harinya, ia pergi ke masjid Rasulullah saw. Di masjid tersebut, ada sebuah tiang yang biasa dia gunakan untuk shalat pada malam hari. Pada waktu itu juga, penduduk Madinah sedang mengalami paceklik. Paceklik tersebut membuat para penduduk Madinah pun keluar untuk melakukan shalat istisqa’, akan tetapi hujan tidak pernah turun sama sekali.
Pada malam hari setelah penduduk Madinah shalat istisqa’, Ibnu Munkadir menuju masjid untuk melakukan shalat seperti biasanya. Dia mendatangi tiang yang biasanya ia melakukan shalat. Setelah itu, dia menyandarkan tubuhnya di sana. Sebagaimana dijelaskan dalam kitab Shifat ash-Shafwah karya Ibnul Jauzi, tiba-tiba datang seorang lelaki berkulit hitam kecoklat-coklatan yang mengenakan kain sarung, dan pada lehernya tergantung kain sarung yang lebih kecil lagi.
Lelaki tersebut kemudian mendekati tiang yang tepat berada di depan Ibnu Munkadir. Si lelaki tersebut kemudian shalat dua rekaat, dan setelah itu duduk seraya berdoa, “Wahai Rabb-ku, para penduduk kota Nabi-Mu telah keluar meminta hujan, namun Engkau tidak juga menurunkan hujan. Kini aku bersumpah atas nama-Mu, agar Engkau menurunkan hujan untuk mereka.”
lbnu Munkadir yang mendengar doa tersebut pun bergumam, “Orang gila!.”
Setelah bergumam, ia mengamati lelaki tersebut. Sungguh di luar dugaan, belum sempat lelaki tersebut meletakan tangannya, tiba-tiba gemuruh suara petir terdengar dan tak lama setelah itu hujan pun turun di Madinah. Dan ketika mendengar suara hujan, lelaki itu pun segera memuji Allah swt. dengan berbagai pujian yang belum pernah Ibnu Munkadir dengar sebelumnya.
Melihat hujan turun, lelaki itu lalu berkata, “Siapakah aku, dan apakah kedudukanku, sehingga doaku terkabul? Akan tetapi aku tetap berlindung dengan memuji diri-Mu dan berlindung dengan pertolongan-Mu.”
Lelaki tersebut lalu mengenakan kembali kain yang digunakan untuk menyelimuti tubuhnya. Kemudian kain yang bergantung di punggungnya ia turunkan ke kakinya. Setelah itu, ia shalat sampai menjelang waktu subuh tiba. Dan ketika waktu subuh sudah dekat, ia pun langsung melakukan shalat witir dan shalat sunah fajar dua rakaat. Ketika iqamah subuh dikumandangkan, ia pun turut shalat berjama’ah bersama orang-orang.
Ibnu Munkadir pun turut shalat berjama’ah bersamanya. Setelah imam mengucapkan salam, lelaki itu bergegas bangkit dan keluar dari masjid. Ibnu Munkadir yang melihatnya pun membuntuti dari belakang, hingga pintu masjid.
Ternyata setelah keluar dari masjid, lelaki tersebut langsung mengangkat pakaiannya dan berjalan di air genangan bekas hujan. Karena tidak ingin kehilangan jejaknya, Ibnu Munkadir pun ikut mengangkat pakaiannya dan berjalan di genangan air. Sayangnya, di tengah perjalanan dia kehilangan jejak lelaki tersebut.
Pada malam selanjutnya, Ibnu Munkadir kembali shalat lsya’ di masjid Rasulullah Saw. dia lalu mendatangi tiang yang biasanya dan berbaring di sana. Tiba-tiba lelaki itu datang lagi, dan berdiri di tempat biasanya. Ia datang dengan tubuh yang terselimuti kain seperti hari sebelumnya, sementara kain lainnya yang berada di punggungnya ia selempangkan di kedua kakinya, kemudian ia melakukan shalat.
Lelaki itu pun terus melakukan shalat sampai menjelang waktu subuh tiba. Setelah itu, ia melakukan witir dan dua rekaat sunnah fajar. Ketika iqamah berkumandang, ia pun langsung shalat berjamaah bersama jamaah lainnya, dan Ibnu Munkadir turut shalat bersamanya. Ketika imam telah mengucapkan salam, ia keluar dari masjid. Melihat lelaki tersebut keluar masjid, Ibnu Munkadir kembali mengikutinya hingga si lelaki masuk ke salah satu rumah di kota Madinah.
Setelah matahari terbit, tepatnya setelah Ibnu Munkadir menunaikan shalat Dhuha. Dia dengan segera mendatangi rumah tersebut. Ternyata, dia mendapati lelaki yang sedang duduk menjahit sepatu di dalam rumah tersebut. Ketika melihat sang sahabat datang, ia segera mengenalinya seraya berkata, “Wahai Abu Abdillah, selamat datang. Adakah yang bisa kubantu? Apakah Anda ingin aku buatkan sepatu?”
Mendengar perkataan lelaki tersebut, Ibnu Munkadir segera duduk dan berkata, “Bukankah engkau adalah temanku pada malam kemarin itu?”
Mendengar pertanyaan itu, rona wajah lelaki tukang sepatu tersebut langsung berubah menghitam. Ia pun berteriak sambil berkata, “Wahai lbnul Munkadir, apa urusanmu dengan kejadian itu?”
Melihat si lelaki marah, Ibnu Munkadir pun takut, dan berkata dalam hati, “Sekarang juga aku akan keluar dari tempat ini.”
Pada malam ketiga, Ibnu Munkadir kembali shalat lsya’ pada akhir waktu di masjid Rasulullah saw. kemudian menuju tempat biasanya untuk bersandar. Namun lelaki itu tak kunjung datang. Ibnu Munkadir pun bergumam, “Innalillahi, apa yang telah aku perbuat.”
Ketika sudah memasuki waktu pagi, Ibnu Munkadir duduk-duduk di masjid hingga matahari terbit. Kemudian dia keluar untuk mendatangi rumah yang ditempati lelaki tukang sepatu tersebut.
Sesampainya di rumah tukang sepatu tersebut, ternyata Ibnu Munkadir mendapati pintu rumahnya terbuka, dan tidak ada apapun di dalamnya. Pemilik rumah yang ditinggali lelaki itu lalu berkata kepadanya, “Wahai Abu Abdillah, apa yang terjadi antara Anda dengan dirinya kemarin?”
Tak langsung menjawab pertanyaan, Ibnu Munkadir justru balik bertanya, “Memangnya kenapa?”
Orang-orang yang ada di situ lalu menjawab, “Ketika engkau keluar dari rumahnya kemarin, lelaki itu segera membentangkan kainnya di tengah ruangan rumahnya. Kemudian, ia tidak menyisakan selembar kulit atau pun sepatu. Semuanya dia letakkan di dalam kainnya, lalu diangkut. Setelah itu ia keluar rumah, dan kami tidak tahu lagi ke mana ia pergi.”
Selepas kejadian tersebut, Ibnu Munkadir lalu berkata, “Setiap rumah yang ada di kota Madinah yang kuketahui pasti kusinggahi untuk mencarinya. Namun aku tidak menemukannya lagi. Semoga Allah merahmatinya.”
Dari kisah Ibnu Munkadir bersama tukang sepatu tersebut, kita bisa mengambil pelajaran bahwa timbangan kebaikan dalam lslam disandarkan pada iman, takwa, rasa takut kepada Allah swt, dan terpautnya hati dengan Allah swt. bukan dengan ketampanan wajah, harta duniawi yang berlimpah, dan bukan pula dengan tingginya jabatan dalam hidup di tengah masyarakat. Dari kisah di atas, ada pesan penting yang harus dihindari oleh manusia dalam menjalani kehidupan di dunia, yaitu jangan pernah memandang manusia hanya dengan melihat tampilan luarnya saja.