“Seorang pecinta hatinya pasti terluka, dan tidak memiliki ketentraman. Dan luka itu tak mempan oleh obat apapun, sekalipun obat terus berusaha mengusir rasa sakit. Kedua kenyataan itu sudah ada, dan hati sang pencinta berkutat diantara keduanya.” Senandung tersebut tiba-tiba terdengar oleh telinga Dzun nun al-Mishri, dilantunkan oleh seorang pengembara di pedalaman yang bertelanjang kaki. Kisah ini sebagaimana dijelaskan oleh Abu Nu’aim al-Asfahani dalam kitabnya Hilyatul Aulya’ wa Tabaqat al-Asfiya’.
Tergerak akan senandung itu, Dzun Nun kemudian mengucapkan salam kepadanya. Si pengembara menjawab salamnya, “Wa’alaikasaalam wahai Dzun Nun.”
Mendengar pengembara itu menyebut namanya, Dzun Nun pun kaget karena mereka belum pernah bertemu sebelumnya, “Apa engkau sudah pernah mengenalku sebelumnya?” Dia menjawab, “Tidak. Kita belum pernah bertemu, Dzun Nun.”
Dzun Nun kemudian bertanya, “Lalu darimana engkau mendapatkan firasat bahwa namaku Dzun Nun?”
Dia menjawab, “Dari pemilik firasat itu sendiri, bukan dariku. Dia yang telah membuatku mengenalmu, padahal sebelumnya aku bahkan tidak mengetahuimu.”
Pengembara itu kemudian kembali berkata, “Wahai Dzun Nun. Hatiku sakit dan tubuhku sibuk. Aku terus mengembara di muka bumi sejak dua puluh tahun yang lalu. Aku tidak kenal tempat tinggal. Tidak ada atap yang menaungiku dari terik matahari, tidak ada dinding yang melindungiku dari terpaan angin, dan tidak ada bangunan yang menjagaku dari udara panas dan dingin. Maka jelaskanlah kepadaku, apa yang aku alami ini, jika engkau benar mampu memberi penjelasan.”
Orang tersebut kemudian duduk, begitu juga dengan Dzun Nun duduk bersila di sampingnya. Setelah itu, Dzun Nun berkata, “Apabila hati sakit, maka kesedihan dan sakitnya akan terlihat jelas kepadanya. Tidak ada yang bisa mengobati hati dari sumber penyakit yang menyebar di sana. Jika hal itu melahirkan kesedihan, maka sakitpun akan berlangsung dalam waktu yang semakin lama. Sehingga orang yang sakit pun akan mengeluhkannya dan mengeluh kepada Allah.”
Mendengar penjelasan Dzun Nun, orang tersebut berteriak dengan keras. Kemudian berkata, “Aku tidak butuh mengeluh. Seandainya penyakit itu menyerangku dalam waktu yang lama, hingga aku hancur. Mulutku tidak akan tergerak untuk mengeluarkan keluhan.”
Dzun Nun lalu melanjutkan perkataannya, “Kadang ada bisikan pikiran yang masuk ke dalam hati orang yang berusaha ridha, sehingga membuat hatinya kembali terombang-ambing. Bisikan pikiran itu kemudian mengguncang perasaan, dan mengacaukan nurani mereka sehingga keduanya tidak lagi sejalan. Keduanya kemudian berbalik arah, dan mengetahui cara memunculkan keridhaan dari dalam mereka, yaitu dengan bersikap ramah kepada-Nya. Lalu Dia pun memberikan anugerah kepada mereka dengan mahkota keridhaan.”
“Hal itu kemudian menimbulkan riak-riak gelombang di samudera hati mereka, yang akhirnya membangkitkan rasa bahagia di dalam hati mereka. Bahkan hal itu membangkitkan berbagai macam perasaan senang, sehingga menjelma menjadi rasa manis yang terpersembahkan kepada Dzat yang telah memahkotainya. Lalu, hatipun terbang dari sana menuju Tuhannya. Dia terbang kesana tanpa sayap. Dia melintasi kerajaan alam raya ini lebih cepat daripada hembusan angin. Lalu bagaimana mungkin Dia akan menolak hati tersebut, sementara Dia telah memanggilnya untuk datang?”
Dzun Nun pun masih melanjutkan perkataannya kepada orang yang tidak dikenalnya itu, “Pintu itu sudah terbuka ketika pertama kali hati terbang ke sana, lalu memasukinya sebelum pintu itu tertutup kembali. Sungguh, Allah telah menyiapkan tempat terindah untuknya. Sehingga hatipun dapat bertamasya di taman keagungan-Nya. Hati tersebut untuk-Nya, dan akan terus bersama-Nya.”
Orang tersebut kemudian berkata, “Wahai Dzun Nun, engkau membuat hatiku semakin terluka dan bernanah. Engkau telah membunuhku dengan cara yang menyakitkan. Wahai tuan, aku belum pernah berteman dengan seorang pun sejak pertama kali membina hubungan persahabatan, seperti persahabatanku denganmu sekarang ini.”
Dzun Nun kemudian berkata, “Mari kita beranjak dari sini.”
Mereka pun berdiri dan menyusuri negeri tersebut tanpa membawa bekal sedikitpun. Setelah jauh masuk ke pedalaman, dan menahan lapar selama tiga hari, orang itu bertanya lagi kepada Dzun Nun, “Engkau benar-benar lapar?”
“Tentu saja.” Jawab Dzun Nun.
Orang tersebut lalu berkata, “Aku sudah bersumpah kepada-Nya, agar Dia memberimu makan.”
Mendengar ucapan orang tersebut, Dzun Nun langsung berkata, “Jangan lakukan itu, demi Dzat yang telah menumbuhkan biji-bijian dan menciptakan manusia. Jangan kau meminta apapun kepada-Nya. Jika Dia menghendaki, Dia akan memberimu makan. Tapi jika Dia menghendaki yang lain, Dia tidak akan memberimu makan.”
Mendengar perkataan itu, sang pengembara tersenyum dan mengajak Dzun Nun melanjutkan perjalanan.
Sejak saat itu mereka berdua bersahabat erat. Apa yang Dzun Nun makanan, pengembara itu juga makan. Mereka berbagi minuman dari cawan yang sama, meneguk air yang sama. Hingga akhir perjalanan ketika mereka tiba di Makkah. Atas ketentuan Allah, dua manusia ini harus berpisah jalan. Sang pengembara harus meninggalkan Dzun Nun dan melanjutkan perjalanannya.
Rupanya perpisahan itu menimbulkan luka yang dalam bagi Dzun Nun. Setiap kali Dzun Nun menyebutkan orang itu, Dzun Nun selalu menangis, dan menyayangkan terpisahnya persahabatan erat mereka yang berlangsung singkat.
Setiap perpisahan menumbuhkan benih-benih kenangan, kesedihan bahkan luka. Perpisahan yang dengan cara baik – selayaknya persahabatan Dzun Nun – saja menimbulkan kesedihan, apalagi perpisahan dengan cara yang tidak baik. Tentu saja perpisahan itu akan menggores luka yang mendalam. Karena setiap pertemuan adalah goresan kenangan, dan tintanya akan selalu melekat sekalipun si penulis telah pergi dari sisi.