Saat itu, Dzun Nun al-Mishri pergi menunaikan ibadah haji. Dengan menaiki perahu ia melakukan perjalanan ke baitullah. Dalam perahu yang ia naiki, ada pula para pedagang dari Mesir. Ia juga mengetahui bahwa di perahu itu, ada seorang pemuda yang sangat tampan.
Satu ketika, sang pemilik perahu kehilangan kantong yang berisi banyak barang berharga. Ia lantas mengadakan pemeriksan (dengan penuh kesombongan dan angkuh, pen.) terhadap seluruh orang yang berada di perahunya itu. Satu persatu diperiksa, tak terkecuali Dzun Nun.
Hingga suatu saat, tibalah giliran si pemuda tampan untuk diperiksa. Namun ia menolak. Ia melompat dan terjun ke tengah laut. Anehnya ia tak tenggelam. Ia justru sanggup duduk di atas ombak-ombak laut. Baginya, ombak lautan itu bagaikan kasur empuk. Kejadian itu dilihat oleh seluruh penumpang perahu.
“Wahai kekasihku (Allah Swt), mereka menuduhku. Kini, aku memohon kepadamu untuk memerintahkan seluruh hewan yang ada di sini untuk mengeluarkan kepalanya dan di mulutnya terdapat ada permata!” kata pemuda itu.
Doanya terkabul seketika. Apa yang ia mintakan kepada Tuhan itu terbukti. Hewan-hewan laut seluruhnya memperlihatkan kepalanya ke permukaan air laut dan dari mulut masing-masing hewan itu terlihat ada mutiara yang sangat indah dan bergemerlapan.
Pemuda ini akhirnya loncat dari gulungan ombak ke laut dan berjalan seperti biasa, bagaikan di atas daratan. Ia meninggalkan perahu itu sembari membaca ayat, “iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in” (Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan, QS. Al-Fatihah [1]: 5).
Kisah di atas penulis baca dan sarikan dari kitab ‘Uyun al-Hikayat karya Ibnu Jauzi. Selain mengetahui bahwa doa para kekasih Allah yang langsung diijabah (dikabulkan) dan larangan berbuat/bersikap sombong, agaknya kisah di atas juga mengajarkan kepada kita bahwa syarat menjadi wali adalah dengan senantiasa beribadah kepada Allah dengan penuh kesungguhan. Ini dapat dilihat dari ayat yang ia baca di atas.
Lewat ayat yang dibaca itu, menurut penulis, seakan pemuda itu ingin berkata, “Janganlah kalian menuduhku. Juga, jika kalian ingin seperti aku yang bisa “mengendalikan” lautan dan ikan-ikan di dalamnya, hendaklah kalian beribadah dan meminta segala hal hanya kepada Allah Swt”.
Al-Baghawi, ketika menafsirkan ayat ayat kelima surat al-Fatihah di atas, mengatakan bahwa ibadah adalah ketaatan yang disertai dengan rasa merendahkan diri dan penuh ketundukan. Dari sini dapat dipahami bahwa kepatuhan terhadap suatu hal tidak bisa serta merta disebut ibadah. Ringkasnya, ibadah tidak saja dilakukan secara zahir (patuh melaksanakan perintah dan menjauhi larangan) namun juga harus secara batin (merasa hina dan tunduk).
Mereka yang mengerjakan perintah Tuhan dan atau menjauhi laranganNya, namun jika dibarengi dengan perasaan angkuh maka jelas tidak termasuk dalam makna yang dikehendaki ayat ini sebagaimana penjelasan di atas.
Ayat ini oleh sebagian ulama salaf juga disebut sebagai sirr al-Qur’an (rahasia Al-Qur’an). Potongan kalimat pertama, “iyyaka na’budu” menunjukkan keterbebasan dari syirik. Sedangkan kalimat kedua, “iyyaka nasta’in” menunjukkan keterbebasan dari kekuatan menghindari maksiat (haula) dan kemampuan untuk melakukan ibadah (quwwata). Begitu kurang lebih penjelasan al-Qasimi dalam Mahasin al-Takwil.
Orang yang membaca ayat ini sejatinya sedang dengan sungguh-sungguh menyerahkan diri dan ibadahnya hanya kepada Allah Swt. Juga, ia menyadari bahwa tanpa bantuan dan pertolonganNya, ia tak akan bisa menghindari maksiat dan melakukan ketaatan.
Walhasil, ibadah tidak saja berkaitan dengan kepatuhan terhadap apa yang disembah namun juga harus disertai dengan rasa hina dan penuh ketertundukan kepadaNya. Semoga kita selalu dianugerahi kemampuan untuk beribadah dan menjauhi laranganNya. Laa haula wa laa quwaata illa billahi al-’aliyyi al-’adzimi.