Sebagaimana dijelaskan dalam Hilyatul Auliya’ wa Tabaqat al-Asfiya’, karya Abu Nu’aim al-Asfahani. Bahwa suatu ketika Said bin Utsman pernah menemani Dzun Nun al-Mishri di sebuah gurun tandus Bani Israil. Saat mereka sedang berjalan, ada seseorang yang datang. Said lalu berkata kepada Dzun Nun, “Ustadz. Ada orang datang.”
Melihat orang yang datang tersebut, Dzun Nun lalu berkata, “Lihatlah, sesungguhnya seseorang tidak akan menapakkan kakinya di tempat ini kecuali seorang teman.”
Said lalu mengamati orang yang datang tersebut, dan ternyata yang datang adalah seorang perempuan. Said pun langsung berkata kepada Dzun Nun, “Dia seorang perempuan.” Dzun Nun langsung menjawab, “Dia adalah seorang teman perempuan kita, demi Rabb Ka’bah.”
Dzun Nun al-Mishri kemudian menghampiri perempuan tersebut, dan memberi salam kepadanya. Dan perempuan tersebut menjawab salamnya dan berkata, “Untuk apa laki-laki mengajak bicara perempuan?” Mendapat perkataan seperti itu, Dzun Nun berkata, “Aku adalah saudaramu, Dzun Nun. Aku juga bukan seorang tercela.”
Perempuan tersebut lalu berkata, “Selamat datang. Semoga Allah mensejahterakan hidupmu.” Kemudian Dzun Nun bertanya kepada perempuan tersebut, “Apa yang menyebabkanmu datang ke tempat ini?” Sang perempuan pun menjawab, “Aku datang karena satu ayat dari kitab Allah, yaitu an-Nisa 97. Setiap kali aku datang ke tempat dimana Allah didurhakai, aku tidak betah. Terus tinggal disitu dengan hati yang dihiasi oleh kecintaan yang membara kepada-Nya, dan dipenuhi kerinduan melihat-Nya.”
Mendengar hal tersebut, Dzun Nun langsung berkata, “Berilah aku petuah.” Mendengar ucapan Dzun Nun, perempuan tersebut kemudian berkata, “Maha Suci Allah. Engkau seorang arif yang biasa berbicara dengan lisan ma’rifah, bertanya kepadaku?”
“Yang bertanya berhak mendapatkan jawaban.” Kata Dzun Nun pada perempuan tersebut.
Perempuan tersebut akhirnya mau memberi petuah kepada Dzun Nun, ia lalu berkata, “Baiklah. Cinta menurutku ada permulaan dan puncaknya. Permulaannya adalah kesukaan hati ketika seseorang yang dicintai disebut namanya, terus menerus bersedih merana, dan selalu rindu kepadanya. Apabila sudah sampai pada puncaknya, mereka para pecinta akan disibukkan oleh intuisi atau emosi khalwat daripada melakukan banyak amalan ketaatan.“
Setelah memberi wasiat seperti itu, wanita tersebut kemudian berteriak keras dan pelan. Dan kembali berkata dengan sebuah sya’ir;
أحبك حبين حب الهوى # وحبا لأنك أهل لذاكا
Aku mencintai-Mu dengan dua cinta; cinta karena kecenderungan jiwa dan cinta karena Engkau berhak untuk dicintai.
فأما الذي هو الحب الهوى # فذكر شغلت به عن سواكا
Adapun cinta karena kecenderungan jiwa adalah dzikir yang menyibukkanku dari selain-Mu.
وأما الذي أنت أهل له # فكشفك للحجب حتى أراك
Adapun cinta karena Engkau berhak dicintai adalah Engkau menyingkap tirai-MU hingga aku melihat-Mu.
فما الحمد في ذا ولا ذاك لي # ولكن لك الحمد في ذا وذاكا
Bagiku, pujian bukan hanya atas yang ini atau yang itu. Tetapi bagi-Mu segala puji atas ini dan itu.
Setelah mengucapkan syair-syair tersebut, perempuan itu berteriak pelan. Tidak lama kemudian, ternyata ia sudah meninggal dunia.
Urusan cinta memang sulit ditebak, apalagi jika ada orang baru yang tiba-tiba datang dalam kehidupan kita. Dia bisa mempunyai dua kemungkinan.Pertama dia memang mencintai kita, dan kedua bisa jadi dia hanya pencitraan untuk memanfaatkan kita.
Oleh karena itu jangan berlebihan dalam menaruh harapan kepada manusia, agar tidak mudah kecewa. Walaupun patah hati saat kehilangan itu luka, namun jadikan luka itu untuk mengevaluasi diri dan menambah kedekatakan kepada yang Maha Kuasa. Jadikan cintamu pada manusia untuk selalu mengingat yang Maha Kuasa dan semakin dekat dengan-Nya.