Suatu pembelajaran akan terjadi manakala ada interaksi antara guru dan murid. Dalam prakteknya, ada murid yang mendatangi guru dan ada pula yang sebaliknya. Yang ideal tentunya yang pertama (murid mendatangi guru). Namun, bukan berarti yang kedua dapat dinilai sebagai suatu yang buruk.
Ulama berbeda pendapat menyikapi hal ini. Ada yang setuju (mau diundang) dan ada pula yang tidak setuju (tidak mau diundang). Golongan pertama, beralasan bahwa dakwah hendaknya tetap dilakukan, meski harus dengan mendatangi murid.(Dalam lingkup lebih luas, kita terbiasa melihat ada ulama yang mendatangi/merapat dengan presiden, petinggi partai, saudagar kaya, dan lain-lain)
Sedangkan golongan kedua, yang tidak mau diundang, beralasan bahwa tidak pantas guru mendatangi murid. Hal demikian dapat mengurangi kewibawaan (muru’ah) sang guru. Dua sikap ulama yang berbeda ini ternyata pernah terjadi pada zaman Khalifah Harun ar-Rasyid.
Begini kisahnya.
Saat musim haji tiba di suatu tahun, Khalifah Harun ar-Rasyid berangkat menunaikan rukun Islam kelima itu bersama kedua anaknya yang bernama al-Amin dan al-Makmun. Ketika lewat Kuffah, rombongan Khalifah Harun ar-Rasyid ingin untuk singgah di sana beberapa saat.
Di Kuffah, ia ingin belajar hadis. Pun demikian, ia ingin agar anaknya juga belajar tentang sumber hukum kedua dalam Islam itu. Khalifah Harun ar-Rasyid pun menyuruh kepada salah seorang asistennya untuk mengundang para ulama yang ada di sana.
“Tolong undang para ulama di sini untuk datang kemari. Saya dan anak-anak saya ingin belajar dan mendengar hadis,” kata Khalifah Harun ar-Rasyid.
Seluruh ulama pun diundang dan semuanya hadir, kecuali dua ulama. Mereka adalah Syekh Abdullah bin Idris dan Syekh Isa bin Yunus. Khalifah Harun ar-Rasyid dan kedua anaknya pun belajar hadis.
Merasa kurang lengkap tanpa belajar kepada kedua ulama yang tidak hadir itu, akhirnya kedua anak Khalifah Harun ar-Rasyid sowan kepada mereka. Yang pertama mereka sowani adalah Syekh Abdullah bin Idris.
Kepadanya, al-Amin dan al-Makmun belajar seratus hadis. Mereka berdua bisa menyerap dan memahami hadis-hadis yang diajarkan Syekh Abdullah. Tak hanya itu, mereka berdua pun berhasil menghafalnya dalam waktu hanya sesingkat itu.
Setelah proses belajar mengajar selesai, al-Makmun meminta izin kepada Syekh Abdullah agar ia diperbolehkan mengulang hadis yang telah dihafalnnya (setoran hafalan). Syekh Abdullah mengizinkan. al-Makmun pun mengulangnya dengan baik.
Syekh Abdullah bedecak kagum dengan kehebatan putra Khalifah Harun ar-Rasyid, al-Makmun, dalam menghafal hadis. Sebagai bentuk terimakasih, kedua putra Khalifah Harun ar-Rasyid menawarkan bantuan kepada Syekh Abdullah.
Mereka berdua melihat dan menganggap masjid dekat rumah Syekh Abdullah terlalu sempit. Oleh karenanya, mereka ingin memperluas/memperlebar masjid itu dengan membeli dua rumah di samping masjid.
Tawaran itu ditolak Syekh Abdullah secara halus, “Maaf, saya tidak bisa. Para pendahulu tidak melakukannya. Maka, saya juga tidak berani memperluasnya”.
Merasa tawaran bantuannya ditolak, al-Makmun tidak tinggal diam. Ia mencoba memberi bantuan lagi dengan bentuk berbeda. Karena Al-Makmun melihat ada luka di tangan Syekh Abdullah, ia pun menawarkan bantuan medis.
Namun, lagi-lagi bantuan itu ditolak dengan alasan, ia pernah mengidap sakit seperti itu dan bisa sembuh dengan sendirinya. Terakhir, al-Makmun memberi uang kepada Syekh Abdullah, namun ditolak lagi.
Kedua putra Khalifah Harun ar-Rasyid melanjutkan sowan kepada Syekh Isa bin Yunus untuk juga belajar hadis. Selesai ngaji, mereka al-Makmun memberi “salam tempel” berupa uang seribu dirham. Syekh Isa menolak.
“Ah, mungkin, uangnya kurang banyak,” al-Makmun membatin. Ia pun menambahinya lagi sehingga menjadi dua ribu dirham. Namun Syekh Isa tetap menolak. Ia mengatakan bahwa tak ada upah dalam menyampaikan hadis Nabi Muhammad SAW.
Sumber Kisah:
Ibn al-Jauzi, Jamaluddin Abi al-Farj bin. ’Uyun al-Hikayat. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2019.