Kepergian Buya Syafi’i meninggalkan duka yang mendalam tidak hanya bagi umat Islam, melainkan juga bangsa Indonesia. Ketajaman pemikiran, kesederhanaan dan kebijkasanaan beliau dalam bersikap mampu menginspirasi banyak orang. Semua itu tentu tidak didapatkan dengan mudah, beliau telah melewati perjuangan yang berdarah-darah hingga akhirnya sampai pada titik tersebut.
Dalam salah satu bagian autobiografi yang ditulis olehnya, Titik-titik Kisar di Perjalananku: Autobiografi Ahmad Syafi’I Maarif, beliau menuliskan kisah perjuangan selama menuntut ilmu. Banyak sekali rintangan yang beliau hadapi, khususnya sejumlah cobaan yang menimpa kehidupan rumah tangga kecilnya. Kecintaannya beliau terhadap ilmu tak menghalanginya untuk tetap mementingkan keluarganya.
Buya Syafi’i menikah dengan seorang bernama “Nurkhalifah” pada 5 Februari 1965 di Masjid Rajo Ibadat. Istrinya merupakan putri seorang pedagang yang cukup sukses, biaya pernikahan kala itu ditanggung oleh keluarga si Kecil dan dilakukan secara sederhana. Kala itu usia beliau telah menginjak 30 tahun dengan berstatus sebagai sarjana muda FKIP Universitas Cokroaminoto Surakarta (Solo).
Setelah menikah, Buya Syafi’i memutuskan untuk kembali ke Jawa, tinggal sementara di Solo dan kemudian menetap di Kotagede, sekaligus melanjutkan pendidikannya di FKIS-IKIP Yogyakarta. Setahun pernikahan, tepatnya pada Maret 1966, lahirlah putra pertamanya yang diberi nama Salman. Untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga yang bertambah, beliau juga bekerja di majalah Suara Muhammadiyah (SM) sebagai korektor dan mengurus iklan majalah.
Gejolak politik di Indonesia saat itu cukup mencekam, dan untuk mengetahui perkembangannya Buya Syafi’i memanfaatkan koran-koran yang tersedia di kantor SM. Karena kondisi ekonomi keluarga kecilnya yang sulit dan kondisi kesehatan Salman yang kurang baik, Istri beserta Salman pulang ke Padang, sehingga beliau terpaksa harus berpisah dengan mereka untuk sementara waktu.
Cobaan kembali menimpa keluarga kecil Buya Syafi’i. Salman yang baru genap berusia 20 bulan pergi meninggalkan dunia. Beliau menggambarkan momen ini sebagai “pukulan keras”, beliau pun tidak sempat mengikuti proses pemakaman karena baru sampai di Padang pada hari keenam setelah wafatnya Salman. Setelah itu, beliau kembali ke Jogja ditemani oleh istrinya.
Pada November 1968, lahirlah putra kedua Buya Syafi’i yang diberi nama Ikhwan. Di tahun yang sama, beliau juga berhasil menyelesaikan kuliahnya di IKIP Yogyakarta dengan judul Skripsi “Gerakan Komunis di Vietnam (1930-1954)”. Terkait dengan perjalanan pemikirannya, beliau mengakui bahwa pada saat itu menjadi pengagum Abu A’la al-Maududi dan Maryam Jameelah (murid al-Maududi), juga simpatisan Masyumi.
Buya Syafi’i rutin mengikuti berbagai tes Bahasa Inggris, hingga pada tahun 1972 beliau terpilih untuk melanjutkan kuliah di Northern Illinois University (NIU), Amerika Serikat. Beliau pun meninggalkan istri dan anaknya untuk sementara waktu. Baru berjalan dua semester, beliau memutuskan untuk berhenti karena kondisi kesehatan anaknya dan sang istri memerlukan kehadirannya. Bagi beliau, keluarga adalah di atas segalanya, sehingga berhenti kuliah tidak menjadi masalah besar.
Pada Oktober 1973, Ikhwan meninggalkan dunia untuk selamanya. Dua kali ditinggalkan oleh buah hati membuat Buya Syafi’i dan istri sempat terpuruk. Saat itu, sang istri dalam kondisi tengah mengandung, kehilangan dua anak menyisakan trauma yang cukup berpengaruh. Kekhawatiran akan kondisi kandungan sang istri sirna setelah lahirnya putra ketiganya yang diberi nama Mohammad Hafiz pada Maret 1974. Meski sempat membutuhkan perawatan khusus, bayi Hafiz menunjukkan perkembangan yang positif dan akhirnya dibolehkan pulang.
Setelah kelahiran Hafiz, kondisi emosional Buya Syafi’i sedikit membaik, keinginan untuk melanjutkan belajarnya bangkit kembali. Pada 1975, bersama rekan sesama dosen, Husain Haikal, beliau melanjutkan ke Lembaga Pendidikan Pos Doktoral (LPPD) IKIP Bandung dan lulus pada Maret 1976. Kembali ke Jogja, beliau mengikuti Test of English as Foreign Language (TOEFL). Dengan nilai di atas 500, sudah cukup untuk membuat beliau diterima di Ohio University, Amerika Serikat.
Akhirnya, pada pertengahan 1976, beliau kembali meninggalkan sang istri dan Hafiz untuk berkuliah di Amerika, dengan berbagai kekhawatiran yang menyelimuti seiring trauma yang terus menghantui. Beliau mengakui bahwa hingga masa kuliahnya di Ohio masih terobsesi dengan negara Islam. Apalagi, saat itu beliau aktif di Muslim Student Association (MSA), yang mana secara pemikiran anggotanya juga memiliki kerinduan akan tegaknya negara Islam.
Pada tahun 1977, perkuliahannya telah selesai, namun tidak dengan tesisnya. Uniknya, pada 1978, beliau justru mengambil program P.hD bidang pemikiran Islam di University of Chicago (UC). Program tersebut ditempuh sembari menulis tesisnya yang akhirnya dapat diselesaikan pada tahun 1979 dengan tesis berjudul “Islamic Politics under Guided Democracy in Indonesia (1959-1965) dan berhasil meraih gelar M.A. (Master of Arts) di bidang sejarah. Namun, satu hal yang beliau sadari adalah bahwa beliau tidak ingin keegoisannya untuk terus belajar membuatnya melupakan istri dan anaknya.
Pada tahun 1978, Buya Syafi’i mengajukan permohonan kepada pihak yang mendanai kebutuhan akomodasinya, Ford Foundation, untuk membawa serta istri beserta anaknya ke Amerika. Pihak Ford Foundation menyanggupi, dengan syarat beliau harus mendapatkan nilai A untuk semua mata kuliah yang diambil pada semester pertama. Demi istri dan anak, akhirnya beliau memutuskan untuk menunda tesisnya dan fokus pada kuliahnya di UC. Dengan izin Allah dan melalui kerja kerasnya, beliau berhasil mencapai target dan akhirnya istri dan anaknya dapat ikut serta dengannya ke Amerika.
Saat di UC-lah Buya Syafi’i mulai memiliki sikap intelektual tentang Islam dan kemanusiaan yang berbeda dari sebelumnya, beliau pun tidak lagi tertarik dengan negara Islam. Bagi beliau, sosok yang berpengaruh kepadanya adalah Fazlur Rahman, salah seorang pemikir Islam kontemporer. Di matanya, Rahman adalah seorang yang mampu menguasai –meminjam istilah Buya— ilmu orang alim dan kajian orientalis tentang Islam, kuliahnya tidak terkesan mendakwahi, mahasiswanya diberi kebebasan untuk mendebat.
Salah satu kisah yang dituliskan oleh beliau adalah percakapannya dengan Rahman pada awal perkuliahannya. Saat itu beliau mengatakan pada Rahman,”Professor Rahman, please just give me one fourth of your knowledge of Islam, I will convert Indonesia into an Islamic State.” (Prof. Rahman, mohon limpahkan seperempat ilmumu tentang Islam, saya akan mengubah Indonesia menjadi sebuah negara Islam). Sang profesor pun menjawab,”You can take all of my knowledge.” (Kamu bisa mengambil semua ilmuku). Sebuah pernyataan yang menyiratkan ketidakmungkinan mendirikan negara Islam.
Singkat cerita, Buya Syafi’i berhasil menamatkan studinya di UC pada tahun 1982 setelah berhasil mempertahankan desertasinya yang berjudul “Islam as the Basis of State: A Study of the Islamic Political Ideas as Reflected in the Constituent Assembly Debates in Indonesia” dan akhirnya kembali lagi ke Indonesia. Demikianlah kisah Buya Syafi’i dalam menyeimbangkan kecintaannya pada ilmu dan keluarganya. Selamat jalan, Buya.