Keputusan untuk berpindah agama dan mengikrarkan kalimat syahadat bagi seseorang yang lahir di negara minoritas muslim, seperti di Inggris Raya tidaklah mudah untuk diterima oleh keluarga hingga masyarakat setempat. Selain masih lekatnya stigma muslim dengan beberapa tindakan teror beberapa tahun terakhir di London dan Manchester, berita tentang ISIS serta Al Qaeda yang masif pada mainstream media sana membuat masyarakat memiliki citra buruk tentang Islam dan muslim. kisah muallaf
Banyak muallaf bercerita bahwa keluarganya lebih rela mereka mengaku sebagai penyuka sesama jenis, dibandingkan menerima mereka sebagai muslim. Tak heran, sejumlah muallaf kemudian memutuskan untuk berhenti memeluk Islam setelah mendapatkan tekanan keluarga dan komunitas sekelilingnya.
Namun, keluarga kawan muallaf saya, Annalise, justru menunjukkan sikap berbeda. Tidak hanya mendukung penuh putrinya belajar dan mempraktikkan keyakinan barunya, sesekali ibunya menyempatkan untuk mengobrol ringan dengan kami, teman-temannya yang tergabung di Islamic Society/semacam Rohis di kampus setempat. Bahkan tak jarang ketika saya berjumpa dengan Annalise, hal pertama yang ia sampaikan adalah ibunya menitipkan salam bagi kami semua.
Mendengar itu, hati kecil saya bagaikan disapa dan didekap dengan kuat. Bagaimana tidak? Merelakan serta mengikhlaskan anak kandung untuk memilih jalan keyakinan yang berbeda tentu bukan semudah membalikkan telapak tangan. Perlu jiwa besar untuk menerima, lalu menumbuhkan rasa toleran bahwa darah dagingnya hanya menempuh jalur berbeda dalam meraih Surga-Nya. kisah muallaf
Yang menarik, setelah Annalise memeluk Islam, hubungan keduanya justru semakin cair. Mereka seakan memahami bahwa keyakinan berbeda bukanlah suatu masalah yang perlu dibesar-besarkan. Bahkan Annalise sendiri tidak pernah merasa jauh lebih suci atau alim ketika ia sudah menjadi muslim. ‘Dakwah’nya bukanlah menyalahkan dan menjelek-jelekkan agamanya terdahulu, serta menuduh keluarganya sesat. Justru ia banyak menerapkan nilai-nilai Islam melalui perilakunya yang baik, ramah, serta tetap menghormati dan menyayangi seluruh anggota keluarganya meski mereka bukan muslim.
Sempat saya mengobrol lama dengan ibunya sendiri ketika kami berpapasan di tempat umum, beliau berharap agar kami bisa membantu Annalise mendalami agama barunya dengan baik, serta jangan sampai ia terpapar paham-paham radikal yang berkembang saat ini. Sembari mengiyakan, kami berjabat erat sekali, “please take care of her.” Pesan ibunya yang hingga kini masih terekam jelas di kepala.
Saat itu, saya merasakan bagaimana hangatnya aura kasih seorang ibu yang tulus hati mendoakan hal terbaik bagi putrinya. Terlebih, beliau mengaku bahwa hingga saat ini ia belum maksimal dalam mendampingi Annalise menerapkan seluruh ajaran Islam. Di rumahnya saja, terkadang ia merasa bersalah bahwa sebagai keluarga yang kurang mampu, ia tidak dapat menyediakan daging halal setiap waktu. Sebagai gantinya, Annalise akhirnya memaksa diri menjadi ‘vegetarian’ mendadak.
Belum lagi soal ketidakmampuan orang tuanya untuk selalu mengantar Annalise ke kampus untuk mengikuti kajian islami, yang membuatnya perlu menunggu waktu lama untuk mendapatkan bis atau harus berjalan jauh dengan kondisi kaki yang tak sepenuhnya sehat.
Ungkapan keterbatasannya sebagai orang tua justru membuat saya semakin terenyuh, bukan malah marah. Bagaimanapun juga, ia sudah berupaya semaksimal mungkin untuk membantu anaknya dalam menggeluti Islam. Pun, ketika dirasa masih jauh dari sempurna, itu tidak masalah. Di tengah banyak keluarga yang menentang keras dan mengucilkan anaknya ketika memilih menjadi muslim. Keluarga Annalise bagaikan oase di padang pasir, jarang ditemukan.
Di sisi lain, tak sekalipun Annalise mengeluhkan kondisi yang dihadapinya. Tiap kali saya menanyakan kabar keluarga perempuan berkulit putih tersebut, ia selalu berucap syukur bahwa ayah, ibu, dan saudaranya mendukung pilihannya dengan terbuka. Tak sedikit pun ada kata menjelekkan atau mengeluh akan situasi internal keluarganya. Melihat pribadi Annalise yang tak gampang mengeluh dengan segala keterbatasan dan situasi yang ia hadapi seringkali membuat saya malu.
Terlahir sebagai muslim, kenikmatan beribadah dengan keluarga, kemudahan dalam menimba ilmu, dan privilege sebagai mayoritas muslim justru melenakan saya. Saya baru menyadari betapa kita sering menyepelekan banyak karunia Allah berikan sebagai muslim yang tinggal di negeri seperti Indonesia. We take things for granted. Dan, ketika saya mengalami sendiri bagaimana tidak mudahnya mencari tempat salat atau berjumpa dengan kawan muallaf seperti Annalise, hal itu seakan mengetuk kesadaran saya bahwa banyak hal sederhana yang justru jarang kita syukuri.
Dari kisah muallaf Annalise, saya seperti diingatkan juga bahwa dakwah yang efektif pada keluarga sebenarnya bukan melalui kritik keras yang kaku, dan merasa paling benar sendiri. Jangankan kepada keluarga yang berbeda keyakinan, kerap kali saya mendengar, kita menjumpai banyak anak muda yang baru sejenak mendalami Islam justru sering menyalahkan dan menuding praktik keagamaan yang dilakukan orangtuanya di kampung tergolong bid’ah dan perlu ditinggalkan.
Alih-alih tujuan dakwah tersampaikan dengan baik, hubungan orangtua-anak malah menjadi renggang. Padahal Islam tidak bisa dipahami dan disempitkan dalam satu perspektif. Oleh karenanya, belajar Islam perlu dilakukan secara komprehensif. Jika ilmu kita masih sedikit, teladan perilaku Annalise bisa menjadi contoh terbaik. Tanpa menggurui dan memberikan ceramah panjang lebar tentang Islam, ia sudah mengenalkan bagaimana hakikat Islam sesungguhnya melalui kasih sayang dan tindakan ramah pada keluarganya yang berbeda keyakinan. (AN)
Wallahu a’lam.