Dalam khazanah kepercayaan orang Islam terdapat sebuah keyakinan akan tawasul. Tawasul adalah cara alternatif untuk berdoa dengan menyertakan nama orang shaleh didalamnya, dengan harapan doa tersebut mudah dikabulkan oleh Allah Swt. Praktek tawasul dalam keyakinan ahlussunnah wal jamaah banyak sekali dilakukan dan memang legal secara syariat. Karena pada dasarnya tawasul adalah wasilah atau perantara, sedangkan doanya tetap kepada Allah Swt.
Oleh sebab itu, terkadang praktek tawasul ini juga ditentukan oleh keyakinan orang yang berdoa. Terkait ini ada kisah unik yang dialami oleh Syekh Abu Yazid al-Busthami, seorang sufi besar di zamannya.
Kisah ini disebutkan oleh Imam Abdul Wahab al-Sya’rani dalam Irsyad al-Mughfilin. Suatu ketika Abu Yazid al-Busthami berhenti di sebuah sumur yang tampak sudah lama tak dipakai. Sumur itu persis hanya berupa sumur, tanpa ada tali ataupun timba yang digunakan untuk mengayuh air di dalamnya. Ia begitu haus. Dilihatnya sekeliling sumur tersebut. Tak satupun ia lihat sesuatu yang bisa ia gunakan untuk mengambil air. Sedangkan air yang ada di dasar sumur begitu dalam.
Tak lama kemudian datang gerombolan anak-anak perempuan yang sedang bergerombol. Mereka sepertinya juga sedang haus usai bermain. Abu Yazid al-Busthami hanya mengamati dari kejauhan. “Percuma dek, airnya sangat dalam” gumamnya dalam hati.
Tapi, justru tak lama kemudian. Setelah mereka diam sebentar di depan sumur. Air yang ada di dalam sumur tersebut tiba-tiba naik dan luber di permukaan sumurnya. Anak Anak pun dengan mudah meminum air sumur, tanpa perlu bersusah payah mengambil timba.
Abu Yazid Busthomi hanya melihat kejadian itu dengan penuh keheranan. Bagaimana bisa anak-anak yang begitu polos bisa menaikkan air sumur dalam sekejap mata. Abu Yazid al-Busthami yang dikenal sebagai sufi dan wali besar kala itu pun masih kebingungan.
Ia pun beranjak mendekati anak-anak tersebut. “Apa yang kalian baca tadi, kok airnya tiba-tiba naik?”
“Kami tadi hanya bertawasul, Wahai Sumur, naiklah air dengan keberkahan Syekh Abu Yazid al-Busthomi” Anak-anak tersebut kompak menjawab dengan lugu.
Mendengar itu, Abu Yazid spontan kaget. “Lah, aku ini Abu Yazid yang kalian tawasuli. Tapi tadi ketika aku disini, airnya sama sekali tidak mau naik ke atas”. Anak-anak tersebut kemudian menjawabnya:
طاعة البئر لنا إنما هي بصدق اعتقادنا فيك الصلاح , وأنت لا يصح لك ان تعتقد فى نفسك انك صالح
“Dikabulkannya doa berupa naiknya air sumur kepada kami, tak lain merupakan buah dari teguhnya keyakinan kami bahwa anda merupakan wali yang mempunyai banyak kebaikan, sedangkan engkau tak boleh meyakini bahwa diri anda sendiri merupakan orang shalih”
Demikian, memang ketika hendak berdoa dan bertawasul, seseorang seharusnya sudah dalam keyakinan yang teguh. Juga harus senantiasa berhusnudzon bahwa Allah akan mengabulkan doa-doanya.
Dari cerita tersebut juga sekaligus memberikan penegasan bahwa praktik tawasul memang legal dan sudah banyak terbukti, namun disisi lain kita juga harus tetap mempunyai keyakinan apapun yang terjadi semuanya atas kehendak Allah Swt, semua usaha dan campur tangan makhluk tidak lain hanyalah perantara.