Kisah Abu Nashr as-Sayyad tentang sedekah ini memberi pelajaran besar bahwa amalan sedekah tak bernilai jika diberikan dengan pamrih.
Mustofa Sadiqar Rifa’i dalam kitabnya “Silsilah Hikayat Hawa” mengisahkan ada seorang laki-laki miskin bernama Abu Nashr as-Sayyad. Ia hidup bersama istri dan anaknya dalam keadaan serba kekurangan. Suatu hari Abu Nashr berjalan keluar rumahnya untuk mencari sesuatu yang bisa dimakan untuk istri dan anaknya yang kelaparan.
Di tengah perjalanan, Abu Nashr bertemu dengan Syaikh Ahmad ibn Miskin. Abu Nashr menceritakan kesusahannya dan Syaikh Ahmad mengajaknya ke tepi laut. Syaikh Ahmad memerintahkan Abu Nashr shalat dua raka’at dan melemparkan jala ke laut dengan mengucapkan basmalah.
Selang beberapa waktu, ternyata ada ikan besar yang terperangkap di jala yang dilempar Abu Nashr. Syaikh Ahmad berkata, “Juallah ikan ini dan belilah makanan untuk keluargamu di rumah.”
Setelah menjual ikan tersebut, Abu Nashr membeli dua potong roti. Satu roti ia berikan kepada Syaikh Ahmad, namun beliau menolaknya, “Ambillah dan berikan kepada keluargamu. Di tengah perjalanan pulang, Abu Nashr melewati seorang ibu yang menangis kelaparan bersama anaknya yang masih kecil. Melihat hal tersebut, Abu Nashr menjadi kasihan dan memberikan kedua potong roti itu. Ibu dan anaknya tampak bahagia dan tersenyum. Abu Nashr pun pulang kerumahnya dengan tangan kosong.
Abu Nashr menjadi bingung apa yang akan ia berikan untuk anak dan istrinya di rumah. Ia pun kembali ke pasar. Di pasar ia bertemu dengan salah satu teman ayahnya. Teman ayahnya mengaku memiliki hutang kepada ayahnya dan belum sempat membayarnya sebelum ia meninggal.
Laki-laki itupun memberikan sejumlah uang kepada Abu Nashr. Abu Nashr pun pulang dengan hati yang bahagia. Selang beberapa waktu berlalu, Abu Nashr memulai usaha dan ia menjadi orang yang kaya raya. Ia tidak lupa menyedekahkan harta yang ia miliki.
Namun pada suatu malam Abu Nashr bermimpi. Ia bermimpi ketika amal ibadahnya ditimbang, amal buruknya lebih banyak daripada amal baiknya. Abu Nashr menjadi heran karena ia merasa sudah banyak menyedekahkan hartanya. Setelah diteliti, ternyata dalam sedekanya itu terdapat rasa bangga terhadap dirinya, sehingga amalannya tidak dapat menambah amal baiknya. Abu Nashr pun menangis.
Kemudian didatangkan amalannya yang lain, yaitu amalan ketika ia memberikan 2 potong roti kepada ibu dan anak. Ternyata sedekah dua potong rotinya tersebut lebih berat timbangannya disisi Allah. Senyuman anak kecil itu juga menambah timbangan amal baiknya. Akhirnya timbangan amal baiknya lebih berat dan beruntunglah Abu Nashr.
Dari kisah Abu Nashr tersebut kita belajar banyak hal penting. Ketika kita mempermudah urusan orang lain, maka Allah akan mempermudah urusan kita. Seperti yang terdapat dalam hadis riwayat Muslim, Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa membebaskan seorang mukmin dari suatu kesulitan dunia, maka Allah akan membebaskannya dari suatu kesulitan pada hari kiamat. Barang siapa memberi kemudahan kepada orang yang berada dalam kesulitan, maka Allah akan memberikan kemudahan di dunia dan akhirat. Barang siapa menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan menutup aibnya di dunia dan akhirat.”
Niat baik dan bantuan yang kita berikan kepada orang lain akan dibalas berlipat ganda oleh Allah. Allah akan memberikan rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka kepada hambanya yang beriman dan bertakwa. Selain itu, nilai suatu ibadah tidak bergantung kepada jumlah besar dan kecilnya. Melainkan bergantung kepada keikhlasan kita. (AN)