Ada dua pilihan bagi Ka’ab bin Malik, Murarah bin Rabi’, dan Hilal bin Umayyah, sahabat nabi yang mangkir dari Perang Tabuk ketika menghadap Rasulullah ﷺ seusai beliau kembali ke Madinah: berdusta seperti para orang munafik dan dimaafkan atau berkata jujur dan menanggung hukuman. Mereka mengambil pilihan yang kedua.
Tiga orang tersebut sesungguhnya adalah kaum Muslimin yang lurus. Mereka juga merupakan veteran Perang Badar. Dengan begitu, mereka mempunyai kedudukan yang spesial di sisi Rasulullah ﷺ. Maka, absennya mereka dalam Perang Tabuk mengherankan bagi Rasulullah ﷺ dan para sahabat. Terutama Ka’ab bin Malik yang keberadaannya sempat ditanyakan oleh Rasulullah ﷺ saat di medan perang.
Sebelum menemui Rasulullah ﷺ, Ka’ab melihat orang-orang munafik yang mendatangi beliau untuk memberikan berbagai alasan atas ketidakhadiran mereka. Rasulullah ﷺ menerima alasan-alasan tersebut lalu memintakan ampunan bagi mereka sebab beliau hanya bisa menghukumi apa yang tampak dari perkataan mereka, sedangkan terkait kebenaran yang terpendam di dalam hati mereka diserahkan kepada Allah.
Baca juga: Kaab bin Malik, Sahabat yang Berperang dengan Syair
Ka’ab bisa saja mengikuti perbuatan orang-orang munafik itu dan mengarang-ngarang alasan sehingga dapat terhindar dari kemarahan Rasulullah ﷺ. Apalagi Ka’ab merupakan seorang yang memiliki keunggulan dalam berbicara dan bersyair. Mudah saja baginya membuat-buat cerita untuk mengelabui Rasulullah ﷺ. Namun, Ka’ab bukanlah orang munafik.
“Sekiranya saya berhadapan dengan orang lain,” Ka’ab menuturkan pada Rasulullah ﷺ, “niscaya saya bisa membuat alasan karena saya pandai berbicara. Namun, demi Allah, kalaupun saya berbohong dan bisa terhindari dari kemarahan engkau, saya tetap tidak akan bisa lari dari murka Allah. Ampunan Allah adalah yang paling saya harapkan. Sungguh, saya tidak punya alasan yang dapat dibenarkan, ya Rasulullah.”
Sejak hari itu Rasulullah ﷺ melarang seluruh sahabat berbicara pada Ka’ab bin Malik, Murarah bin Rabi’, dan Hilal bin Umayyah, sebagai hukuman karena tidak ikut berperang tanpa alasan yang benar. Kelalaian mereka yang menunda-nunda memenuhi panggilan berjuang itu membuat mereka terkucilkan. 40 hari mereka dijauhi oleh penduduk kota, tidak diajak bicara sepatah kata pun. Murarah dan Hilal yang sangat sedih dengan hukuman itu sampai tidak berani untuk keluar rumah. Hanya Ka’ab yang tetap datang ke masjid untuk shalat berjemaah ataupun pergi ke pasar dan sesekali mencoba menyapa orang-orang, tetapi tentu tidak ada yang menanggapinya.
Baca juga: Ka’ab al-Ahbar, Saksi Perubahan-Perubahan dalam al-Kitab
Penderitaan tersebut tidak berhenti sampai di situ, pada hari ke-40 salah satu sahabat datang menemui Ka’ab untuk menyampaikan perintah dari Rasulullah ﷺ untuknya serta Murarah dan Hilal. Perintah itu ialah untuk menjauhi istri-istri mereka. Saat itu juga Ka’ab langsung memulangkan sementara istrinya ke rumah orang tuanya. Sendirian lah Ka’ab menjalani hari-hari hukuman itu.
Pada masa-masa keterkucilan itu—seperti digambarkan dalam Surat At-Taubah ayat 118, bumi terasa sempit, padahal bumi itu luas dan jiwa pun telah terasa menjadi sempit bagi mereka. Hingga mereka mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari murka Allah. Satu-satunya jalan keluar hanya lah dengan meminta ampunan dan bertaubat kepada Allah.
Sampai pada hari ke-50 hukuman itu mereka jalani, kabar gembira itu datang. Allah telah menerima tobat tiga sahabat nabi itu. Kegembiraan mereka sulit untuk dibayangkan. Hari itu adalah hari paling menggembirakan dalam hidup mereka. Mereka bisa berkumpul kembali dengan istri mereka, tidak lagi dijauhi oleh sahabat-sahabat dan juga Rasulullah ﷺ, dan yang paling penting adalah diterimanya tobat mereka oleh Allah.
Kisah tiga sahabat nabi yang tetap jujur walaupun mendapatkan hukuman di atas, mengajarkan kepada kita banyak hal, selain tentang pentingnya bersegera dalam memenuhi perintah Allah tanpa menunda-nunda barang satu hari, satu jam, bahkan satu detik sekalipun, cobalah kita fokus pada bagaimana mulianya sifat para sahabat yang dihukum tersebut, khususnya Ka’ab bin Malik. Sepatutnya sosok Ka’ab bin Malik kita jadikan teladan. Betapa kejujurannya merupakan contoh terbaik bagi kita semua, apalagi jika melihat konteks zaman yang semakin penuh dengan kebohongan.
Pada kisah tersebut, bersikap jujur memang terkadang bukanlah sesuatu yang mudah untuk dilakukan. Terutama apabila kita tahu akan konsekuensi dari kejujuran itu. Namun, sosok Ka’ab bin Malik mengajarkan, sekalipun kejujuran akan terasa pahit di awal, kejujuran akan selalu berakhir dengan kebaikan. Sedangkan perilaku dusta atau bohong walau mulanya menyelamatkan dari masalah, tetapi pada akhirnya hanyalah kerugian semata yang didapat. Seperti sabda Rasulullah ﷺ bahwa kejujuran akan membawa pada kebaikan dan kebaikan akan menuntun kita ke surga, sedangkan kedustaan akan mengantarkan pada keburukan dan keburukan akan membawa kita ke neraka.
Kejujuran adalah salah satu kunci mendapat kemuliaan di sisi Allah. Maka, sudah seharusnya seorang yang beriman untuk menanamkan sifat jujur dalam dirinya sehingga setiap perkataan dan perbuatannya dapat dipercaya dan sesuai dengan kebenaran. Patutlah pula kita merawat sifat jujur dalam berbagai kondisi. Apapun yang terjadi, kejujuran haruslah tetap yang utama. Kejujuran harus dipegang di sepanjang hidup kita.
Kisah sahabat nabi yang mangkir dari perang di atas, jangan dimaknai sebagai kebolehan menjauhi muslim lain yang kita anggap tidak mau berjuang atau berjihad. Kita harus memahami bahwa pada saat itu, muslim sedang kekurangan pasukan. Sehingga ketika ada orang yang tidak ikut berperang, maka kekuatan pasukan juga akan berkurang. Di sisi lain, hal ini juga menjadi bukti bahwa kita tidak boleh membiarkan saudara kita yang lain mengalami kesusahan, sedangkan kita enak-enakan. Begitu lah ajaran Islam. (AN)
Wallahu a’lam