Abad ke-19 adalah abad yang seringkali dicetak tebal dalam sejarah penjajahan di Indonesia. Betapa tidak, pada abad ini, sejarah telah menukilkan bahwa bangsa ini telah melakukan perlawanan hebat terhadap apa yang kita sebut dengan penjajahan. Api pemberontakan dan peperangan menyala dan asapnya menggangu pernafasan pemerintah kolonial Belanda .
Perang paderi (1821-1827), perang Diponegoro (1825-1830), perang Aceh (1873-1903), dan pemberontakan petani di Banten mengindikasikan bangsa ini bukan bangsa yang diam dan penakut terhadap penindasan. Tengoklah sejarah dan jangan sekali-kali pernah melupakannya, kira-kira begitu maksud dari “Jas Merah” Bung Karno.
Namun di tengah-tengah perkembangan dunia yang semakin terbuka, sudah bukan zamannya ekspansi militer dan konfrontasi secara fisik menjadi gaya kolonialisme. Ekspansi militer memang telah tiada, namun ekspansi modal untuk mengeruk kekayaan Sumber Daya Alam di Negeri ini masih berlangsung.
Sejatinya ini menjadi gaya baru para imperialis yang sedang mencari rempah-rempah di Nusantara sebagaimana dahulu pernah terjadi. Ini yang penulis sebut sebagai neo-imperialisme.
Berbeda gaya menjajah, berbeda juga taktik dan strategi dalam meresponnya. Seorang maha guru ulama Nusantara memberikan teladan kepada kita sebagai anak bangsa bagaimana strategi melawan penjajahan tanpa harus menempuh jalan konfrontatif. Kiai Sholeh Darat (1820-1903 M) adalah aktor sejarah –untuk tidak menyebut istilah pahlawan yang cenderung memiliki definisi milteristik- yang sangat berjasa dalam perjalanan terwujudnya kemerdekaan bangsa ini dengan “strategi”-nya sendiri.
Kiai Sholeh Darat hidup di era dimana perang Diponegoro berhasil menguras habis kekuatan pemerintah kolonial, sekaligus berakhirnya perang Diponegoro. Setelah kekalahan ini, Kiai Sholeh Darat bersama ayahnya, kiai Umar, yang juga tokoh pejuang perang Diponegoro berangkat belajar ke Mekah. Dari sinilah, cakrawala pemikiran Kiai Sholeh Darat terbuka melalui pertemuannya dengan tokoh-tokoh dari berbagai negara.
Bahkan, di akhir abad ke-19, kepolisian Jedah mendapatkan informasi bahwa seorang ulama dari Jawa yang bernama Sholeh mengirim surat kepada kekhalifahan Turki untuk ikut mengintervensi pemerintah kolonial Belanda di Nusantara (Bruinessen,1998). Dari tanah haram, ia sudah menabuh genderang perlawanan terhadap pemerintah kolonial.
Kepulangannya ke Jawa semakin membuat kiai Sholeh yakin bahwa umat Islam khususnya dan masyarakat Jawa umumnya adalah bangsa yang sedang ditindas oleh penjajah. Meskipun begitu, ia tidak memilih untuk angkat senjata dalam menghadapi pemerintah kolonial, melainkan mengabdikan dirinya pada dunia pendidikan. Melalui pesantren dan kitab-kitabnya yang berbahasa arab pegon, ia melakukan proses penyadaran terhadap masyarakat awam.
Dalam bahasa Paulo Freire, Kiai Sholeh Darat telah melakukan proses penyadaran menuju kesadaran kritis melalui pendidikan pesantren. Oleh karena itu, dari beliaulah lahir ulama-ulama yang memiliki kesadaran kritis atas realitas kebangsaan. Resolusi jihad yang diinisiasi oleh KH Hasyim Asy’ari adalah bukti keberhasilan kiai Sholeh Darat melakukan proses penyadaran kepada para santrinya atas penjajahan di Nusantara.
Proses pembentukan kesadaran masyarakat muslim Jawa atas realitas kondisinya dilakukan dengan metode-metode yang begitu halus dan senyap. Dengan bahasa Arab pegon, kiai Sholeh Darat menafsirkan Al-Quran di saat penerjamahan Al-Quran dilarang oleh pemerintah kolonial. Bahkan, melalui kitab-kitab fikih, tauhid dan tasawufnya, ia melakukan dua hal penting secara langsung.
Pertama, kiai Sholeh Darat ingin mendamaikan pertentangan seputar wacana tarekat yang terjadi di antara ulama untuk mengkonsolidir kekuatan para ulama dalam melawan kolonialisme (Aflahal Misbah dan Nuskhan abid, 2016). Ini bisa dilihat dalam karya-karyanya yang membahas persoalan fiqhiyah dan tasawuf sekaligus. Hingga ia dikenal dengan “al-Ghozali dari Jawa” karena gagasan dan ide dalam kitab-kitabnya.
Kedua, melihat masyarakat muslim Jawa yang awam dalam agama dan penindasan yang dialaminya, kiai Sholeh Darat mengajarkan agama sekaligus menanamkan benih-benih perlawanan. Pelarangan terhadap para santri dalam memakai busana yang dikenakan oleh Belanda, hingga masuk ke kantor pemerintah kolonial dengan kaki kiri adalah manifestasi beberapa ajaran agama sekaligus ajakan untuk melawan.
Memahami kiai Sholeh Darat sebagai sosok kiai pengajar an sich adalah sikap yang naif. Bagi sosok seperti kiai Sholeh, ilmu bukan untuk ilmu. Pesantren bukan sekedar tempat belajar. Ilmu harus membebaskan dan pesantren adalah kawah candradimuka bagi para (santri) pembebas.
Wallahu A’lam