Dalam sejarah pemikiran Islam Indonesia, nama KH. Sahal Mahfudh adalah salah satu tokoh yang banyak menyumbangkan pemikiran hukum Islam. Kiai kelahiran Kajen, Margoyoso, Pati, pada 17 Desember 1937 M ini adalah putra Kiai Mahfudh bin Abdussalam yang merupakan keturununan Syekh Ahmad Mutamakkin, Kajen.
Kiai Sahal adalah ulama yang mempunyai pandangan tersendiri mengenai fikih yang berkembang di Indonesia. Beliau selalu mengkritik pemikiran mainstream yang berkembang, setidaknya di kalangan Nahdlatul Ulama dan Pesantren pada masa kehidupan beliau.
Bagi beliau, pemahaman terhadap kitab-kitab klasik sudah seharusnya didekati dengan kerangka metodologis yang proporsional agar mampu mencapai pemahaman yang kontekstual dan sesuai dengan realitas sosial masyarakat yang terus berkembang, supaya gagasan-gagasan besar yang ada dalam kitab-kitab fikih tidak stagnan.
Beliau selalu mengkritik kaum tradisionalis-literalis dan fundamentalis yang selalu memutlakkan dan memahami fikih secara tekstual. Beliau gusar dengan pendapat para ulama NU pada waktu itu, yang tidak mau memperhatikan dimensi ruang dan waktu dalam merumuskan produk-produk hukum Islam untuk masyarakat.
Hal tersebut menjadi salah satu alasan kenapa Kiai Sahal merelakan diri bergabung dengan pemikir-pemikir muda NU, dalam forum Halaqah (sarasehan) dalam rangka merumuskan kerangka teoritik berfikih yang lebih produktif dan kontekstual. Dan salah satu hasil dari Halaqah tersebut adalah munculnya istilah bermazhab secara manhaji.
Pada tahun 1988 M atas dukungan KH. Sahal Mahfudh dan KH. Imron Hamzah, diadakan sebuah seminar yang bertempat di Pondok Pesantren Watu Congol, Muntilan, Magelang dengan tema “Pengembangan al-Ulum al-Diniyyah Melalui Telaah Kitab Secara Kontekstual”.
Salah satu tema yang dibahas dalam halaqah tersebut adalah tentang perlunya redefinisi tentang mazhab, yang kemudian tercetus istilah bermazhab secara manhaji atau metodologis. Lewat forum tersebut, usaha pengembangan fikih relatif berhasil dicetuskan dengan ditandai munculnya pergeseran dalam memandang fikih sebagai paradigma kebenaran ortodoks menjadi paradigma pemaknaan sosial. Perubahan mendasar dalam paradigma fikih tersebut telah membantu eksistensi fikih tradisional.
Ciri-ciri menonjol dari paradigma berfikih menurut Kiai Sahal, di antaranya adalah mengupayakan interpretasi ulang terhadap teks-teks fikih untuk mencari konteksnya yang baru sesuai dengan realitas sosial yang berkembang. Kemudian, makna mazhab berubah dari bermazhab secara qauli ke bermazhab secara manhaji, verifikasi mendasar antara ajaran yang pokok dan yang cabang (furu’), juga fikih yang dihadirkan sebagai etika sosial, bukan sebagai hukum positif.
Begitu juga dengan pengenalan metodologi pemikiran filosofis terutama dalam masalah budaya dan sosial. Sehingga kehadiran fikih juga menjadi perangkat hermeneutika, yang berpengaruh pada persoalan metodologisnya.
Sebagai wadah bagi ulama muda, tidak mengherankan jika pemikiran yang dihasilkan juga cenderung berani bahkan dianggap liberal, dan bernuansa menggugat dan mendekonstruksi pemikiran fikih yang sudah mapan pada waktu itu. Dalam forum halaqah tersebut, Kiai Sahal banyak berdialektika tidak hanya sebagai pemateri tetapi juga sebagai peserta aktif bersama para peserta lainnya, yang melahirkan pemikiran-pemikiran progresif dalam merespon problematika kehidupan masyarakat.
Fikih sosial sendiri adalah formulasi kajian utama tentang persoalan hukum yang bersifat praktis yang diambil dari dalil syar’i dan berorientasi kepada persoalan sosial kemasyarakatan. Munculnya fikih sosial adalah jawaban alternatif untuk menjembatani otensitas wahyu dan realitas, serta alternatif penting dalam rangka menerapkan norma-norma agama sesuai realitas sosial melalui ijtihad yang dinamis, dengan gerakan pembaharuan menuju terciptanya paradigma baru dalam memahami dan menerapkan hukum Islam atau fikih dalam arti sempit.
Kiai Sahal dan fikih sosialnya mempunyai pengaruh besar terhadap kehidupan umat Islam dan masa depan fikih di Indonesia. Tawaran tentang fikih kontekstual dengan pendekatan Maqasid Syariah dengan teori maslahahnya yang dibawakan oleh Kiai Sahal menjadi tema yang selalu didiskusikan hingga saat ini.
Lahirnya fikih sosial juga tidak lepas dari latar belakang Kiai Sahal yang sejak muda sudah bergelut dengan lembaga swadaya masyarakat, apalagi melihat kondisi sosio-kultural dan ekonomi masyarakat Kajen yang memprihatinkan pada waktu.
Pergulatan tersebutlah yang kemudian mempengaruhi konstruksi pemikiran fikih sosial yang dibangunnya, yaitu fikih yang tidak hanya idealis paradigmatik tetapi juga fikih yang sifatnya praktis untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Dalam bukun Nuansa fikih Sosial–nya, Kiai Sahal mengatakan, “Fikih jangan dianggap sebagai kitab suci kedua setelah Alquran, tetapi sebagai counter discourse terhadap struktur pemikiran modernitas yang hegemonik yang membingkai diskursus dominan tentang Islam beserta banyak persoalan lain di ruang publik Indonesia”.
Jika dilihat, pandangan fikih sosial Kiai Sahal juga bermula dari pandangan bahwa tujuan syariat Islam adalah kemaslahatan manusia. Hal tersebut didasarkan kepada sejumlah ajaran dalam syariat Islam, yang mengatur soal penataan hal-hal dalam kehidupan manusia yang bersifat ukhrawi maupun duniawi, baik yang bersifat individual maupun sosial.
Tujuan syariat atau Maqasid Syariah sendiri terdiri dari lima bagian, yaitu menjaga agama, jiwa, keturunan, akal dan harta benda. Sehingga rumusan Maqasid Syariah tersebut memberikan pemahaman bahwasanya Islam tidak hanya mengkhususkan perannya hanya sebatas pada aspek beribadah kepada Allah Swt semata, tetapi juga mengatur perihal hubungannya dengan kondisi lingkungan dan sosialnya.
Pemikiran fikih sosial yang dikembangkan Kiai Sahal adalah bentuk kontekstualisasi dan reaktualisasi terhadap metodologi fikih mazhab Syafi’i dalam rangka menemukan pemikiran alternatif yang sejalan dengan cita-cita ideal transformatif yaitu yang sesuai dengan realitas masyarakat.
Upaya tersebut dilakukan Kiai Sahal dengan menggarap bidang muamalah termasuk hukum keluarga yang dituangkan dalam aras idealitas dan realitas. Dalam tataran idealitas, Kiai Sahal menyebut pemikirannya dengan fikih sosial, yaitu sebuah pemikiran yang mengapresiasi penggunaan metodologi berfikir usul fikih dan kaedah fikih daripada produk jadi fikih. Beliau juga menganjurkan untuk memperluas interpretasi fikih dengan menggunakan ilmu pengetahuan, termasuk dalam mengambil keputusan hukum untuk mempertimbangkan kepentingan umum.
Sedangkan dalam tataran realitas, beliau melihatkan kreativitasnya dalam mengoprasionalkan fikih sebagai respon problem sosial kemasyarakatan lewat aksi-aksi sosial secara terlembaga dan terkontrol untuk menciptakan sebuah kemaslahatan bersama. Sehingga dalam metode pengambilan hukum, beliau tidak hanya menggunakan satu metode tetapi dua metode sekaligus, yatu metode tekstual dan metode kontekstual.
Hadirnya fikih sosial dan gagasan bermazhab secara metodologis atau manhaji, telah menambah khazanah pemikiran Islam di Indonesia dan menunjukkan bahwa Indonesia juga melahirkan banyak para ulama dan pemikir Islam yang responsif dengan tantangan zaman yang terus menerus berkembang.
Doa untuk beliau Kiai Sahal Mahfudh yang telah mewariskan banyak gagasan dan menjadi inspirasi banyak orang. Alfatihah.