Ujian Nasional untuk Sekolah Menengah Pertama/Atas (sederajat) belum dimulai, tapi pendaftaran santri baru di Pondok Pesantren Sunan Pandanaran sudah hampir tutup. Bukan apa-apa, kuota yang tersedia mulai mendekati angka penuh.
Di lereng Gunung Merapi, Sleman, Yogyakarta, sekirannya tujuh menit perjalanan mobil dari Kampus Universitas Islam Indonesia (UII), Pesantren Pandanaran berdiri. Adalah Kiai Mufid Mas’ud—Allah yarham—yang merintis pesantren di bilangan Jalan Kaliurang, Km 12,5 ini.
Menurut sebuah riwayat masyhur, sebenarnya bukan atas kehendak Kiai Mufid untuk mendirikan pesantren, melainkan karena petunjuk dari seorang ulama terkemuka, Kiai Abdul Hamid dari Pasuruan-lah beliau mendirikan lembaga pendidikan yang disebut oleh Gus Dur sebagai sub-kultur ini.
Alhasil, pada 20 Desember 1975 Pondok Pesantren Pandanaran mulai berdiri dengan peresmian Sri Paduka Pakualam VIII dan disaksikan Bupati Sleman, Drs. Projosuyoto, serta tokoh agama dan masyarakat setempat.
Pada perkembangannya, Pesantren Pandanaran dikenal sebagai pesantren al-Qur’an dan menjadikan al-Qur’an sebagai pondasi dalam membangun kader bangsa. Kader yang lahir dari generasi Qur’ani, dengan demikian, diharapkan mampu membangun peradaban Indonesia dan dunia.
Ini bisa disimak dari betapa Kiai Mufid selalu menekankan metode ajarnya yang terkenal se-disiplin militer tetapi sekaligus lentur.
Dalam hal pengajian al-Qur’an, beliau ketat kepada para santrinya. Lebih-lebih soal setoran hapalan al-Qur’an, Kiai Mufid bisa memutlakan para santrinya untuk tiga kali sehari menyetorkan hafalan yang, masing-masing pertemuan mengharuskan seperempat Juz hapalan al-Qur’an, atau setara lima halaman al-Quran versi cetakan Menara Kudus atau “ayat pojok” lainnya.
Meski begitu, secara teknis, di waktu tertentu seperti Dzuhur biasanya difokuskan buat juz-juz yang sudah dihafal. Artinya, si santri hanya mendaras apa yang sudah ia hapal. Sementara di waktu Shubuh dan Maghrib, para santri harus menyetor satu halaman hapalan baru dari al-Qur’an, plus empat halaman hapalan sebelumnya.
Masih belum cukup, selepas para santri menyetor hapalan, mereka masih harus mendaras lagi hapalannya secara berpasangan. Dan, itu bisa berlangsung tergantung seberapa lama majelis pengajian akan purna.
Tidak hanya itu, di dalam majelis para santri juga diwajibkan untuk duduk berjajar laksana ṣaf dalam Shalat. Ini membuktikan bahwa Kiai Mufid selalu menandaskan kerapian dan estetika. Hal serupa juga tercermin dalam cara berpakaian Kiai Mufid.
Cara berpakaian Kiai Mufid selau sopan dan rapi, namun sekaligus menghindari potensi kesombongan yang bisa muncul akibat penampilan. Ini selaras dengan salah satu sabda Nabi Muhammad yang pernah menghimbau umatnya agar tidak mengenakan pakaian tertentu sehingga dimaksudkan buat sombong-sombongan belaka.
Ringkasnya, tidak peduli mau mengenakan setelan jas, casual, sarung-kopiah, atau jubah sekalipun, entry point-nya adalah semua itu harus dihujamkan pada yang namanya akhlak. Dan, ini merupakan bukti bahwa Kiai Mufid juga sangat longgar dalam urusan yang sifatnya lahiriyah d/a manusiawi.
Dalam sebuah laporan di Majalah Suara Pandanaran (ed. 17, Januari 2018) dikabarkan bilamana medio 2000-an, Kiai Mufid pernah mewajibkan para santri hufaz (penghapal al-Qur’an) agar mengenakan gamis a la Arab, setiap kali memasuki majelis pengajian al-Qur’an.
Alih-alih untuk berbangga dan jumawa, tujuan dari hal ini adalah menyampaikan pesan simbolik bahwa orang berjubah tidak selalu berlaku kasar dan menang-menangan. Lagi pula, tidak sepantasnya juga kalau semisal orang berjubah dengan dalih mengikuti sunah Nabi lalu bertutur kasar, kotor, dan semena-mena.
Sampai sekarang, kewajiban mengenakan jubah bagi santri putra ini masih berlanjut. Bahkan, di sekolah formal, jubah a la Arab menjadi seragam sekolah para siswa Madrasah Aliyah (MA) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs) Sunan Pandanaran, setiap hari Kamis.
Tujuannya, sekali lagi, bukan untuk arabisasi atau mengglorifikasi kultur Arab. Sebaliknya, dengan mengenakan jubah para santri hendak melawan stigma segelintir orang yang mengidentifikasi jubah sebagai pakaian untuk gagah-gagahan, ekstremis, teroris, dan anggapan bebal sejenisnya.
Terakhir, ada sebuah cerita menarik. Masih dalam laporan Majalah Suara Pandanaran, dipaparkan bahwa satu waktu pada musim Haji di Arafah tahun 2002, seorang jama’ah haji sedang mengantre di toilet. Menyusul di belakang jama’ah haji asal Indonesia itu, Kiai Mufid turut mengantre.
Ternyata, seorang jama’ah haji itu mengenal Kiai Mufid. Karena merasa rikuh diantre oleh Kiai Mufid dan mungkin juga berniat menghormati sesepuh, jama’ah haji yang bersangkutan lalu menyilakan Kiai Mufid.
“Pak Kiai, silakan duluan,” kata jama’ah.
Mendapati iktikad itu, Kiai Mufid justru menanggapi: “di sini tidak ada yang namanya Kiai. Bapak duluan saja, biar saya mengantri di sini.” Lahul fātihah….