Setiap tanggal 10 November kita selalu diingatkan dengan Hari Pahlawan, momentum 10 November 1945 ini bermula ketika arek-arek Surabaya dan sekitarnya berdarah-darah berperang menghadapi tentara sekutu di Surabaya, perang ini adalah perang terbesar pasca proklamasi kemerdekaan 1945, semangat jihad ini tidak terlepas dari fatwa resolusi jihad NU 22 Oktober.
Di tengah kabar terpilihnya Donald Trump menjadi Presiden Amerika Serikat (Trump:276 (57.270.082 suara) dan Clinton:218 (56.339.307 suara) dengan memenangkan suara senat 51 suara dan memenangkan DPR 235 suara, dengan segala kontroversinya Trump bercerita baru saja mendapatkan telpon dari rival politiknya Hillary Clinton (Calon Presiden dari Partai Demokrat) menyampaikan selamat kepadanya “it’s about US”. Betapa Indahnya, rivalitas ditutup dengan apresiasi ucapan selamat demi persatuan negara Amerika.
Berbeda dengan bangsa kita, kita masih belum dewasa untuk menghadapi “perbedaan”, pilpres sudah berlalu 3 tahun namun pilkada aroma pilpres tercium kembali, saling mengejek, menghina satu sama lain sebangsa dan setanah air, kita tahu bersama bahwa bangsa kita baru belajar berdemokrasi.
Kita terlalu lama dijajah dengan keseragaman, kesamaan, sehingga bangsa kita belum terbiasa dengan yang namanya “perbedaan” orang yang berbeda dianggap musuh dan layak untuk dimusuhi, padahal kebenaran menurut kita, belum tentu benar menurut orang lain (demikian juga sebaliknya), dan di tengah-tengah momentum Pilkada DKI Jakarta (yang berasa pilpres), derasnya fitnah, hoax dan informasi yang beredar pasca demo 411, terdengar kabar bahwa KHR. As’ad Syamsul Arifin (1897-1990) ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo sebagai Pahlawan Nasional melalui Keputusan Presiden RI Nomor 90/TK/Tahun 2016 Tanggal 3 November 2016 (Kompas, 9/11/16; Tempo, 9/11/16; Detik, 9/11/16; Republika, 9/11/16).
Pahlawan adalah orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran; pejuang yang gagah berani (kbbi.web.id) dan Pahlawan Indonesia adalah orang berkorban dan berjasa merebut, mempertahankan dan mengisi kemerdekaan Indonesia, kepahlawanan Kiai As’ad bisa dibagi menjadi 3 fase: Pertama fase pra kemerdekaan Indonesia, kedua mempertahankan kemerdekaan Indonesia dan ketiga pasca kemerdekaan Indonesia (Cyberdakwah.com; 2016/11)
Pertama, fase pra kemerdekaan. Pada masa ini, Kiai As’ad menanamkan cinta tanah air dan semangat jihad melalui pesantren dan barisan kerakyatan. Kiai As’ad menanamkan nilai-nilai cinta tanah air melalui pesantren bersama sang abah, Kiai Syamsul Arifin pada tahun 1914. Kiai As’ad juga menanamkan semangat berdakwah dan perjuangan melalui barisan “Pelopor”, sekitar tahun 1920-an. Pelopor ini mayoritas berasal dari kalangan bajingan yang berhasil ditundukkan Kiai As’ad. Pelopor ini berarti barisan terdepan dalam memimpin di jalan Allah (dakwah) dan pemimpin bersama-sama masyarakat dalam meraih kemaslahatan. Pada fase ini, Kiai As’ad juga bersama ulama NU membentuk Sabilillah dan Hizbullah. Bahkan Kiai As’ad menjadi pemimpin Sabilillah di Jawa Bagian Timur.
Kedua, fase mempertahankan kemerdekaan. Pada masa ini Kiai As’ad menempatkan Pesantren Sukorejo sebagai pusat perjuangan. Pada tahun 1945, Kiai As’ad menjadikan Pesantren Sukorejo sebagai tempat berlatih baris-berbaris dan perjuangan. Kiai As’ad bergerak memimpin pelucutan tentara Jepang di Garahan Jember (sekitar September-Oktober 1945). Kiai As’ad dan pasukannya ikut berjuang melawan Sekutu pada Nopember 1945 di Surabaya. Kiai As’ad bergerilya di Karesidenan Besuki.
Ketiga, fase pasca kemerdekaan. Pada masa ini, Kiai As’ad berperan dalam politik praktis, politik kebangsaan dan kenegaraan serta politik kerakyatan. Dalam politik praktis, Kiai As’ad sebagai anggota konstituante (1957-1959). Dalam politik kebangsaan dan berperan sebagai tokoh di balik layar, misalnya, beliau menjadi penasihat pribadi wakil perdana menteri KH. Idham Chalid (1956-1957). Dan jasanya yang terbesar, beliau tokoh sepuh kharismatik yang berhasil menyakinkan ulama NU untuk menerima asas tunggal Pancasila pada Munas 1983 dan Muktamar NU 1984 di Pesantren Sukorejo.
Mengutip dawuh Gus Najib AR (Ketua LTN NU Jawa Timur), KH. As’ad Syamsul Arifin selalu hadir dan menjadi pahlawan pada saat kondisi genting. Mulai kegentingan merebaknya Wahabi yang kemudian melahirkan NU, beliau menjadi mediator berdirinya NU, Kiai As’ad diutus oleh Syaichona Chalil untuk menyampaikan sebuah tasbih dan ucapan surat Thaha (17-23), yang menceritakan mukjizat Nabi Musa dan tongkatnya—kepada Kiai Hasyim Asy’ari.
Kemudian, peristiwa ini terulang kembali, ketika Syaichona Chalil mengirim Kiai As’ad ke Tebu Ireng, untuk menyampaikan pesan berupa wirid “Ya Jabbar Ya Qahhar”. Pesan simbolik berupa tasbih, surah Thaha dan wirid-wirid tersebut, mengandung maksud bahwa Syaichona Chalil merestui pendirian Nahdlatul Ulama dan Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari menjadi pemimpin spritual ulama Nusantara. Peran penting Kiai As’ad, menjadikan beliau sering disebut sebagai mediator berdirinya Nahdlatul Ulama (Munawir Aziz, 2016).
Kemudian selanjutnya kegentingan politik Orde baru dan Muktamar NU ke-84 yang kemudian melahirkan NU kembali ke khittah 1926 dan menegaskan Pancasila sebagai asas tunggal. Mengutip tulisan Mas A Afif Amrullah bahwa fragmen penting ketika Kiai As’ad menjadi Ketua Ahlul Halli Wal Aqdi (AHWA) pada Muktamar NU yang digelar pada 8-12 Desember 1984 di Ponpes Salafiyah Syafi’iyah Asembagus, Sukorejo, Situbondo.
Dalam sidang tata tertib pemilihan, muktamirin sepakat bahwa pemilihan pengurus PBNU sepenuhnya dilakukan melalui sistem perwakilan. Secara teknis, sistem perwakilan itu dimulai dengan cara muktamirin sepakat menunjuk satu orang sebagai Ketua Ahwa. Kemudian Ketua Ahwa diberi mandat untuk memilih enam orang sebagai anggota Ahwa. Setelah itu barulah tujuh orang itu (ketua dan anggota) melakukan musyawarah untuk menyusun struktur kepengurusan PBNU secara lengkap, baik itu Mustasyar, Syuriah maupun Tanfidziah.
Dalam buku “Kharisma Kiai As’ad di Mata Umat” dikisahkan, sidang pemilihan ketua Ahwa dimulai dengan membacakan tata tertib pemilihan sebagaimana yang sudah disepakati. Kemudian KH Masjkur melempar nama KH As’ad Syamsul Arifin (tuan rumah) sebagai ketua Ahwa. Para peserta pun setuju dengan usulan itu. Setelah terpilih Kiai As’ad lantas menunjuk anggota Ahwa. Mereka adalah KH Ali Maksum, KH Masjkur, KH Syamsuri Badawi (Jombang), Prof Ali Hasan Ahmad (Sumatra Utara), KH Romli Ahmad (Kalimantan) dan KH Rofi’I Mahfud (Sulawesi). Maka terpilihlah struktur PBNU secara lengkap. KH Achmad Siddiq diberi amanat menduduki posisi Rais Am dan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) didapuk menjadi Ketua Umum PBNU.
Sedangkan Kiai As’ad dan Kiai Ali Maksum menduduki jajaran Mustasyar PBNU. Kiai As’ad tampaknya memang sudah sangat mempersiapkan mekanisme dan orang-orang yang akan dipilihnya. Salah satu upaya penyiapanitu adalah dengan melakukan riyadlah dan shalat istikharah bersama para kiai sepuh. Salah satu di antara kiai yang melakukan shalat istikharah itu adalah KH Chayyi Kencong. Dalam Majalah AULA edisi Januari 1985 dicatat, Kiai Chayyi mendapat petunjuk yang amat gamblang tentang siapa pemimpin NU yang layak dipilih.
Hasil istikharah itu menggambarkan ada tiang bendera NU yang bergoyang keras. Kemudian datanglah dua orang ulama besar yang juga pendiri NU, yaitu Hadratus Syaikh KH M Hasyim Asy’ari dan KH Siddiq. Dengan isyarat tersebut maka para kiai mengartikan bahwa yang patut dipilih menjadi pemimpin NU adalah keturunan dua ulama tersebut, yaitu KH Achmad Siddiq (putra KH Siddiq) dan KH Abdurrahman Wahid (cucu Hadratus Syaikh).
Sekarang negara kembali mengalami masa genting, menipisnya rasa saling menghargai dan menyayangi antar sesama saudara sebangsa tanah air, Kiai As’ad kembali hadir menjadi pahlawan nasional RI. Kehadiran Kiai As’ad ini ibarat hausnya musafir (bangsa Indonesia) di tengah gurun pasir (era penuh fitnah, caci maki) ada air segar terpancar (pahlawan Kiai As’ad).
Kiaiku Pahlawanku, semoga kita sebagai santrinya mampu menjadi generasi yang saling menghormati, menyayangi antar sesama sebangsa dan setanah air, karena lagu kita masih sama, Indonesia Raya, mari kita Jaga dan rawat bersama, dan tidak menutup kemungkinan Indonesia menjadi pusat peradaban dunia! Semoga! []
Abdulloh Hamid, M.Pd, santri @ayomondok; Divisi Media dan Data RMI PBNU