Teks khutbah Jumat: Islam bukan agama pedang, melainkan agama cinta kasih
Teks Khutbah Jumat Pertama
الْحَمْدُ للهِ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ رَسُوْلِ اللهِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ وَالَاهُ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، لَا نَبِيَّ بَعْدَهُ،ـ أَمَّا بَعْدُ، فَإِنِّي أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ وَقَالَ اللَّهُ تَعَالَى فِيْ الْقُرْآنِ الْكَرِيْم: “وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ”
Ma’asyiral Muslimin Hafizhakumullah,
Ledakan bom bunuh diri di Makassar bulan lalu jelas cukup menggemparkan masyarakat kita. Pelaku bom bunuh diri ini menjadikan jihad melawan kafir sebagai alasan di balik aksinya tersebut.
Demikian juga, serangan yang dilakukan oleh seorang wanita di pusat kepolisian cukup menghentakkan kesadaran kita betapa agama sering dijadikan dalih untuk kekerasan. Apa pun jenisnya yang jelas dalam Islam tindak kekerasan terhadap sesama manusia itu sangat dikutuk.
Kekerasan dalam Islam hanya bisa dilakukan dengan tujuan untuk menjamin kekebasan agama. Umat Muslim awal diizinkan perang karena ada penindasan, pengusiran, pembunuhan yang dilakukan oleh orang musyrik Mekah. Tindakan kaum musyrik jelas tidak menjamin kebebasan agama, dan jihad dalam Islam ditujukan untuk melawan segala bentuk penindasan, terutama terhadap pemeluk agama. Jadi jihad dalam Islam itu tujuannya ialah untuk menjamin kebebasan beragama.
Peristiwa pengeboman gereja jelas sangat bertentangan dengan tujuan jihad itu sendiri dalam Islam. Dalam etika perang Islam, sangat dilarang untuk menghancurkan tempat-tempat ibadah dan membunuh masyarakat sipil yang tidak bersalah. Bahkan tumbuh-tumbuhan pun tidak boleh dirusak. Sayangnya, apa yang dilakukan oleh sepasang suami istri yang melakukan bom bunuh diri tersebut tidak mencerminkan etika seperti ini. Apalagi, kondisi saat ini bukanlah kondisi perang, tapi kondisi damai. Dan kita sebagai umat Islam cukup prihatin melihat persoalan ini.
Sejauh yang dapat kita amati, adanya fenomena terorisme ini salah satunya berangkat dari paham serba mengkafirkan yang tidak sepaham dan paham bahwa setiap yang kafir pasti jahat dan layak dibunuh. Kalau kita perhatikan narasi yang dibangun oleh Aman Abdurahman dalam berbagai karyanya, muara aksi kekerasan ini ialah soal persepsi tentang siapa yang layak disebut muslim dan siapa yang disebut kafir.
Bagi Aman, untuk konteks Indonesia, semua yang dianggap kafir itu selain yang non-muslim, juga yang muslim yang mereka taat kepada negara yang didasarkan kepada UUD 45 dan Pancasila. Kedua landasan negara ini, bagi Aman, merupakan sistem thagut yang perlu dihancurkan. Umat Islam yang menggunakan sistem ini dijulukinya sebagai orang musyrik yang layak diperangi dan layak dibunuh. Bagi Aman, mukmin yang pasti itu hanya dirinya dan pengikutnya saja. Sedangkan umat Islam lainnya, semuanya layak disebut kafir. Jelas pandangan seperti ini sangat bertentangan dengan ajaran inti dari islam itu sendiri sebagai agama yang membawa perdamaian bagi dunia ini.
Baca juga: Bahaya Mengafirkan Sesama Muslim
Karena itu, kita harus merujuk langsung bagaimana sebenarnya Nabi sebagai pemegang kendali kebenaran dari Allah mendefinisikan mukmin dan non-mukmin, muslim dan non-muslim serta muhsin dan non-muhsin dengan catatan bahwa yang kedua merupakan istilah yang lebih halus dari kafir-musyrik-munafik-murtad dan seterusnya.
Ma’asyiral Muslimin Hafizhakumullah,
Bagaimana Nabi mendefinisikan mukmin dan non-mukmin? Dalam hadis yang dikemukakan Ibnu Taymiyyah dalam kitab al-Iman, Nabi SAW bersabda: “Demi Allah orang itu tidak beriman! Demi Allah orang itu tidak beriman.” Beliau ditanya: “Siapa, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Orang yang tetangganya tidak aman dari ucapan tak terkendalinya!” Beliau ditanya lagi: “Apa itu ucapan tak terkendalinya?” Beliau menjawab: “Ucapannya yang jahat dan menyakitkan.”
Dalam kesempatan lain, Nabi SAW juga bersabda: Demi Dia (Allah) yang diriku ada di tangan-Nya, kamu sekalian tidaklah masuk surga sehingga kamu beriman, dan kamu sekalian tidaklah beriman sehingga kamu saling mencintai. Maukah kamu aku tunjukkan sesuatu yang kalau kamu kerjakan kamu akan saling mencintai? Sebarkan salam-perdamaian antara sesamamu! Dalam kesempatan lain, riwayat Ibnu Hibban dan at-Turmudzi, Nabi SAW mendefinisikan orang mukmin dengan sabdanya: “seorang mukmin bukanlah pelaknat, bukanlah pelaknat, bukanlah yang berbuat keji dan berkata-kata sembarangan”.
Ma’asyiral Muslimin Hafizhakumullah,
Secara implisit dalam dua hadis ini, Nabi mendefinisikan seorang mukmin sebagai orang yang berbuat baik kepada tetangganya, taat kepada ketentuan etika dan moralitas, menumbuhkan cinta, memberikan rasa saling aman dan damai, dan yang terpenting, seorang mukmin ialah seseorang yang beridentitas anti melaknat, anti mengumbar kata-kata sembarangan dan anti melakukan perbuatan keji.
Dengan demikian, seorang mukmin yang tahu bahwa dirinya mukmin tentunya memahami betul semangat menjadi beriman yakni semangat memberi rasa aman (amn) dan semangat mempunyai kredibilitas akhlak/dapat dipercaya (amanah). Jadi semangat keimanan ialah semangat anti-kerusakan, anti-kekisruhan dan anti-penebar teror apapun alasannya.
Jika ada sebagian mukmin yang mengumbar laknat (sebut saja mengkafirkan yang tidak segolongan), membuat kerusakan (mengebom gereja, mesjid dan lain-lain), menimbulkan kengerian terhadap sesama, maka, kata Nabi sendiri dalam hadis di atas, mereka tidak beriman. Implikasi dari tidak beriman, ya “kafir”, kenapa demikian? Karena dilihat dari tingkah laku dan perangainya, jelas-jelas mukmin tipe demikian tidak memperhitungkan adanya Tuhan yang selalu mengawasinya. Dengan kata-kata lain, mukmin yang berperilaku kebalikan dari label yang diembannya dapat disebut sebagai ‘ateis terselubung/tersamar’.
Makna ini juga semakin dipertegas oleh definisi Nabi terhadap identitas orang yang disebut sebagai muslim. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim dan beberapa ahli hadis lainnya, Nabi dengan tegas mendefinisikan seorang muslim sebagai: al-muslim man salima al-muslimun min yadihi wa lisanihi “orang yang mampu menjaga lidah dan tangannya untuk tidak menyakiti sesama.” Definisi ini sangat jelas.
Jadi, seorang yang mengaku sebagai muslim sejati namun kata-kata yang sering keluar dari lidahnya hanya label-label kafir, kafir dan kafir kepada sesama serta implikasi dari kata-kata ini terhadap perilakunya (seperti menyerang orang-orang sesama muslim), maka dengan sendirinya dia ditegaskan oleh redaksi hadis Nabi di atas sebagai bukan seorang muslim. Belum lagi kemudian dipertegas oleh kenyataan bahwa menghina dan memerangi muslim disebut juga sebagai tindak kefasikan dan tindak kekufuran. Hal demikian seperti yang disabdakan oleh Nabi SAW sendiri dalam riwayat al-Bukhari dan Muslim: sibab al-muslim fusuq wa qitaluhu kufr ‘menghina sesama muslim merupakan tindak kefasikan sedangkan memeranginya ialah tindak kekafiran.’
Ma’asyiral Muslimin Hafizhakumullah,
Definisi mukmin dan muslim pada beberapa hadis di atas jelas tidak hanya menekankan esensi tauhid atau hubungan baik kita dengan Allah tapi juga menekankan hubungan baik kita dengan manusia. Sekelompok teroris yang serba mengkafirkan orang hanya kuat di hubungannya dengan Allah semata (mungkin jika benar memang keyakinannya, mereka adalah orang-orang yang bertauhid secara radikal) namun kurang menjalin hubungan baik dengan manusia. Padahal Islam dengan jelas-jelas menekankan keimanan dan keislaman seseorang tidak melulu yang bersifat tauhid namun juga soal akhlak antar sesama.
Baca juga: Putus Asa, Bagaimana Hukumnya dalam Islam?
Aksi-aksi pembunuhan mereka terhadap manusia-manusia muslim dan non-muslim yang mereka anggap telah kafir hampir mirip dengan para pemuja berhala di zaman dulu yang demi untuk memuja sesembahannya dan mendapat keridoannya, mereka mengorbankan manusia-manusia lainnya. Dengan pola yang sama, para teroris secara tak sadar juga mengadopsi cara-cara pemujaan demikian. Mereka mengorbankan manusia-manusia tak bersalah untuk dibom dan diperangi agar dapat dipersembahkan kepada berhala keyakinan palsu mereka yang berkedok tauhid.Jadi dengan dalih sikap yang terlampau tauhid seperti ini justru mereka secara tak sadar terjebak ke dalam pemujaan hasrat membunuh dan memerangi. Memandang diri sebagai pusat kebenaran jelas sama saja dengan menandingi (andad ‘tandingan-tandingan’) Allah sebagai sumber kebenaran.
Ma’asyiral Muslimin Hafizhakumullah,
Selain itu, dengan sikap seperti ini justru mereka dapat dikategorikan sebagai orang-orang non-muhsin. Ingat bahwa pengejawantahan keimanan dan keislaman seseorang terletak kepada ihsan atau tidaknya dia dalam praktik kehidupan sehari-hari. Ihsan berasal dari kata hasanah yang artinya kebaikan dan kebajikan. Sedangkan ihsan sendiri menurut Ibnu al-Mandzhur ialah an tu’tiya ghoiraka khoirun min an yu’tiyahu ilaika ‘memperlakukan orang lain secara lebih baik dibanding perlakuan mereka terhadap kita’.
Jadi intinya seorang mukmin-muslim harus melakukan yang terbaik bagi kehidupan ini, bukan malah melakukan tindakan-tindakan kerusakan. Jadi yang dilakukan teroris itu sangat jauh dari definisi mukmin-muslim-muhsin yang dijelaskan Nabi. Karena itu, lewat kacamata hadis-hadis Nabi di atas, apa yang mereka lakukan justru telah membatalkan keimanan, keislaman sekaligus keihsanannya. Namun demikian, layakkah mereka kita sebut kafir? Allahu a’lam, menilai keimanan, keislaman dan keihsanan seseorang itu bukan hak prerogratif kita tapi itu termasuk urusan Allah. Kita sebagai umat Islam seharusnya tidak merebut hak prerogatif Allah ini. Merebut dan menggunakan hak prerogatif Allah sama saja dengan menjadikan diri kita sebagai tandingan-tandingan Allah. Dengan demikian, tindakan seperti ini sama saja dengan salah satu bentuk kemusyrikan.
Lalu bagaimana dengan Jama’ah Takfiriyyah yang selalu merebut hak prerogatif Allah? Musyrikkah mereka? Allahu A’lam. Sekali lagi kita tidak boleh mengukur, menilai dan menghakimi kadar keimanan, keislaman dan keihsanan seseorang karena dengan begitu kita justru akan menandingi Allah dan membatalkan keimanan kita sendiri. Na’udzu billah.
Singkatnya dalam Islam, pedang hanya digunakan ketika ada yang mengganggu hak kebebasan beragama dalam suatu masyarakat. Tapi sebelum pedang digunakan pun, al-Quran lebih banyak menganjurkan dialog dan interaksi dengan kepala dingin, bukan dengan dilandasi sikap kebencian.
أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ
Khutbah Jumat: Islam Bukan Agama Pedang
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَلَهُ الْحَمْدُ فِي الْآخِرَةِ وَهُوَ الْحَكِيمُ الْخَبِيرُ. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُه. اللَّهُمَّ فَصَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّم. أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ فَإِنِّي أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ وَقَالَ اللَّهُ تَعَالَى فِيْ الْقُرْآنِ الْكَرِيْم: إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا. اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، اللهم ادْفَعْ عَنَّا الْبَلَاءَ وَالْغَلَاءَ وَالْوَبَاءَ وَالْفَحْشَاءَ وَالْمُنْكَرَ وَالْبَغْيَ وَالسُّيُوْفَ الْمُخْتَلِفَةَ وَالشَّدَائِدَ وَالْمِحَنَ، مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، مِنْ بَلَدِنَا هَذَا خَاصَّةً وَمِنْ بُلْدَانِ الْمُسْلِمِيْنَ عَامَّةً، إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ
Baca juga teks khutbah Jumat yang lain