Belakangan hari kian banyak yang mengeluh dan bahkan emosi kepada isi dan gaya khutbah Jumat lantaran muatan politik maupun sikap keislaman yang “keras”. Saya pribadi kerap terganggu gaya berapi-api suara khatib yang seperti hendak mengajak perang. Bukankah bisa lebih khusyuk dan merasuk bila khutbah disampaikan secara lembut?
Semua tetek-bengek di atas bukanlah syarat dan rukun khutbah. Jika yang bukan syarat dan rukun khutbah membuat jamaah tak nyaman atau terganggu, maka bagaimana khutbah Jumat yang “ideal” atau tak menimbulkan perasaan runyam?
Sesekali saya mengajak orang-orang mengobrolkan fenomena khutbah Jumat. Ada yang suka gaya khutbah berapi-api seperti hendak mengajak perang dan ada pula yang lebih senang gaya khutbah yang syahdu. Bagaimana mewadahi keberagaman selera khutbah ini?
Bagaimana khutbah yang bisa memenuhi selera semua orang? Latar belakang pendidikan, orientasi politik dan usia para jamaah yang mendengar khutbah Jumat beragam. Keberagaman ini membuat selera mereka pun tak sama.
Barangkali perlu segmentasi jamaah berdasarkan selera gaya dan isi khutbah. Masjid A khutbah Jumatnya bergelora dan masjid B khutbah Jumatnya mendayu. Jamaah Jumat silakan pilih masjid sesuai selera masing-masing. Barangkali pula perlu ada masjid yang topik khutbahnya terkait tasawuf yang cocok bagi jamaah dewasa dan ada pula masjid yang topik khutbahnya tentang syariat. Silakan datang ke masjid sesuai selera dan kematangan ilmu masing-masing. Atau barangkali perlu ada segmentasi masjid berdasar usia jamaah misalnya masjid 17 tahun ke atas atau masjid semua umur. Bila jamaah akan masuk masjid lebih dulu dicek akta kelahirannya.
Apakah segmentasi jamaah ini bisa memecahkan masalah? Saya kira belum tentu atau bahkan tidak penting. Yang paling penting adalah menunaikan shalat Jumat bagi yang telah wajib melakukannya. Yang lain-lainnya adalah kebawelan selera dan opini. Bukanlah fungsi khutbah Jumat memuaskan semua orang dan khutbah Jumat bukanlah hiburan.