Membaca berita detikcom mengenai statemen Ismail Yunanto yang menyebut Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) tidak anti pancasila membuat saya semakin gagal paham dengan partai ini. Apalagi semasa kuliah saya kerap berbusa-busa berdebat dengan para syabab pejuang khilafah yang mengatakan pancasila itu haram karena produk dari sistem kufur demokrasi. Hal ini menambah deretan pertanyaan-pertanyaan pada perjuangan para ikhwan.
Pertama, perjuangan mendirikan khilafah HTI konon mengikuti manhaj nubuwwah, metode kenabian. Tapi tokoh yang dimunculkan adalah tokoh-tokoh kerajaan seperti Muhammad Al-Fatih dari kerajaan Turki Usmani. Apakah mereka tidak tahu jika kerajaan Turki Usmani adalah sebuah dinasti kerajaan sebagaimana Umayah dan Abasiyah? Apakah perjuangan mendirikan khilafah adalah perjuangan mendirikan kerjaan baru?
Kedua, HTI tidak secara jelas mengajukan nama calon khalifah dan dari mana ia berasal. Apakah Raja Salman dari Arab sebagai penjaga tanah haramain, atau Erdogan dari Turki sebagai bekas pusat pemerintahan Turki Usmani, atau Jokowi dari Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbanyak di dunia, atau malah Al-Baghdadi pemimpin ISIS yang menebar teror di Irak dan Suriah? Mengajukan nama baru yang bukan pemimpin negara tentu saja mendapat penolakan dari banyak pihak.
Ketiga, HTI belum final dalam menentukan pendirian khilafah atas rancangan ulama siapa dan menganut mazhab teologi yang mana. Jika belajar teologi Islam, setelah peristiwa arbitrase (tahkim) umat Islam telah terpecah menjadi beberapa golongan, yaitu Khawarij dan Syiah. Setelahnya, muncul beberapa golongan lain seperti Murjiah, Muktazilah, Asy’ariyah, Maturidiyah, Ahlussunah wal Jamaah (Sunni), Jabbariyah, dan Kadariah.
Ketiga hal tersebut menjadi pertanyaan besar bagi saya ketika ada beberapa teman yang gigih memperjuangkan khilafah ala HTI. Sayangnya, jawaban yang diberikan selalu mengambang, terutama terkait siapa yang akan memimpin umat Islam apabila sistem ini diberlakukan. Para pejuang khilafah terlalu fokus membangun opini kebusukan demokrasi dan pancasilanya, tetapi tidak kokoh dalam membangun rancangan yang ditawarkan.
Di mimbar-mimbar rumah ibadah beberapa kali saya mendengar ceramah soal pendirian khilafah secara berapi-api, tapi tidak ada tawaran kongkritnya. Pun ketika saya mengikuti Muktamar HTI beberapa tahun silam, saya belum menemukan jawaban pastinya. Padahal, katanya, kemiskinan, ketimpangan, kerusakan alam, dan banyak problem lainnya hanya bisa diselesaikan dengan satu kata, khilafah. Apapun masalahnya, khilafah solusinya. Tetapi khalifah yang diajukan saja belum pasti.
Nabi Muhammad dan Piagam Madinah
Negara yang didirikan oleh Nabi Muhammad adalah negara yang menjunjung tinggi keberagaman. Karya monumental dari negara bentukan Nabi ini ialah piagam Madinah yang isinya di antara lain ialah seluruh warga Madinah, baik muslim, Yahudi dan lainnya, memiliki kewajiban untuk saling bahu membahu mempertahankan negara dari serangan musuh. Persatuan antara berbagai elemen itu kemudian disebut ummah.
Ketika Nabi Muhammad SAW mendirikan masjid Nabawi, kaum Anshar yang terdiri dari berbagai suku dan agama turut membantu. Sebaliknya, ketika umat lain mendirikan rumah ibadahnya, segenap kaum muslimin pun turut membantu. Keharmonisan antar suku dan agama merupakan salah satu peninggalan berharga Rasulullah yang harus terus dijaga.
Bagaimana dengan Indonesia? Negara Indonesia yang terdiri dari ratusan suku dan berbagai agama membutuhkan sebuah ‘piagam’ bersama untuk disepakati demi kehidupan yang rukun dan harmonis. Maka para pendiri negara ini menjembatani berbagai kepentingan itu dengan menyusun piagam Jakarta yang kemudian menjadi Pancasila.
Setelah Pancasila dijadikan dasar negara dan kemerdekaan diproklamirkan, banyak kerajaan-kerajaan yang tersebar dari Sabang sampai Merauke menyatakan bergabung dengan negara Indonesia. Mereka merasa memiliki kewajiban dan tanggung jawab bersama untuk membela Indonesia dari segala bentuk penjajahan dan pemberontakan.
Potret kehidupan negara Indonesia yang majemuk saat ini sudah sangat sesuai dengan konsep negara sebagaimana disusun oleh Nabi Muhammad SAW. Pancasila inilah yang menjembatani segala bentuk perbedaan. Sampai-sampai, banyak ulama Timur Tengah berkunjung ke Indonesia untuk mempelajari Pancasila yang dianggap mampu mengakomodir berbagai kepentingan. Sebuah formulasi yang dibutuhkan untuk meredakan krisis Timur Tengah.
Bagi Islam, bentuk dan sistem negara bukanlah menjadi soal. Mau negara itu Monarki seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab, atau demokrasi seperti Indonesia dan Turki, yang terpenting adalah sebuah negara bisa menjamin keadilan bagi setiap warganya. Dengan keadilan terciptalah perdamaian. Maka yang perlu diperjuangkan adalah keadilan, bukan khilafah. Wallahu a’lam.
Sarjoko, penulis adalah pegiat aktif di Islami Institute Jogja.