Senada dengan itu, Nahdhatul Ulama (NU), yang merupakan ormas Islam terbesar di Indonesia dalam Musyawarah Nasional Alim Ulama yang diselenggarakan pada 1-2 November 2014 menegaskan bahwa Islam tidak menentukan ataupun mewajibkan suatu bentuk negara atau sistem pemerintahan tertentu bagi para pemeluknya. Umat diberi kewenangan sendiri untuk mengatur dan merancang sistem pemerintahan yang sesuai denganperkembangan dan kemajuan zaman. Pandangan demikian menunjukkan bahwa NU menolakklaim kewajibanmenegakkan khilafah.
NU juga menegaskan bahwa khilafah sebagai salah satu sistem pemerintahan merupakan fakta sejarah yang pernah dipraktikan pada masa khulafa al-rasyidin. Khilafah, bagi NU, adalah model pemerintahan yang sangat sesuai pada masanya, karena kehidupan umat Islam saat itu belum berada di bawah naungan negara-negara bangsa. Pada masa itu, umat Islam masih sangat dimungkinkan untuk hidup di bawah satu sistem khilafah. Namun dalam konteks sekarang, di mana umat Islam berada di bawah naungan negara-negara bangsa, tentu ide membangkitkan kembali khilafahIslamiyah dalam konteks kekinian merupakan sebuah utopia.
Selain itu, Majlis Bahtsul Masail NU—sebagaimana ditegaskan Gus Dur dalam buku Ilusi Negara Islam—menyatakan bahwa khilafah Islamiyah sama sekali tidak memiliki rujukan teologis, baik dalam al-Quran maupun hadis. Sementara itu, penyematan kata “Islamiyah”, tak lain hanya untuk memberi bobot teologis, dan lebih sebagai komoditas politik.
Dalam konteks modern, ada banyak kelompok yang mencita-citakan tegaknya khilafah Islamiyah. Anehnya, masing-masing dari kelompok tersebut memiliki konsep kekhilafahan yang berbeda. Bahkan, masing-masing dari mereka mengklaim bahwa konsep ke-khilafah-annyalah yang paling benar dan sesuai dengan syariat, sedangkan gagasan dan konsep ke-khilafah-an kelompok lainnya dianggap salah.
Berdasarkan fakta tersebut, maka poin yang hendak penulis tegaskan ialah,bahwa adanya perbedaan konsep di antara mereka,semakin menunjukkan bahwa Islam tidak pernah mewariskan konsep baku dalam bernegara. Ketidakbakuan ini secara otomatis menunjukkan bahwa khilafahIslamiyyah bukan bagian dari syariat Islam yang bersifat abadi.
Jika memang khilafah merupakan syariat Islam, tentu nash-nash kegamaan, baik al-Quran ataupun hadis akan mengurai konsepnya secara eksplisit. Faktanya,—sebagaimana telah penulis singgung pada artikel sebelumnya berjudul “Adakah Dalil Khilafah Dalam al-Quran?”— bahwa al-Qur’an hanya menyajikan nilai-nilai moral-etik yang dapat dipedomani dalam bernegara semisal adil (al-adalah), musyawarah (al-Syura), amanah (al-amanah) dan lain sebagainya tanpa mewajibkan sistem atau model pemerintahan tertentu.
Berberapa uraian di atas menunjukkan bahwa sistem pemerintahan dalam bentuk khilafah Islamiyah yang selama ini dicita-citakan oleh kelompok tertentu, sesungguhnya bukanlah syariat Islam. Ia tak ubahnya merupakan hasil kreasi orang-orang yang hidup pada masa awal, sehingga tidak relevan untuk diterapkan di era modern seperti sekarang di mana seluruh negara di dunia telah menerapkan konsep negara bangsa. Sampai di sini, dapat dikatakan bahwa penegakkan khilafah Islamiyah sebagai sistem pemerintahan bukanlah segalanya. Ia bukanlah sistem baku yang tak dapat berubah mengikuti laju perkembangan zaman.