“Aku tak pernah lebih cemburu selain kepada Khadijah, terutama ketika Nabi mengenang dan menyebut-nyebut namanya,” ujar Aisyah dalam sekian riwayat hadis.
Khadijah binti Khuwailid. Siapa yang tak mengenal nama istri Nabi yang kesohor ini. Di usianya yang disebutkan terpaut lima belas tahun dengan Nabi, ia menjadi orang yang paling awal mendukung perjuangan Nabi.
Khadijah binti Khuwailid digambarkan sebagai sosok yang jelita, smart, dermawan, berpengaruh, lagi cakap berinteraksi dengan sesama. Pertemuan dengan Nabi pun terencana dalam sebuah kongsi perdagangan, akibat sebuah informasi terpercaya dari asisten Khadijah yang bernama Maisaroh. Konon, Khadijah terpikat oleh pesona dan akhlak Nabi Muhammad itu. Nabi dan Khadijah pun menikah sepulang dari urusan dagang di Syam.
Kisah turunnya wahyu pertama menunjukkan betapa Khadijah adalah sosok yang mendukung perjuangan Nabi dengan setulus hati.
“Selimuti aku, selimuti aku,” kata Nabi kepada Khadijah setelah turunnya wahyu pertama.
“Tenanglah. Tetaplah berbahagia. Tuhan tidak akan merendahkanmu. Bukankah kau orang yang jujur, menanggung beban orang lain, dan menolong setiap kesusahan orang lain?”. Perempuan dari Bani Asad ini, adalah orang yang pertama meyakini Islam. Allah telah menjanjikan tempat untuk Khadijah di surga kelak, bahkan juga bersalam untuknya.
Khadijah meninggal sekitar tiga tahun sebelum hijrah dalam usia 65 tahun, pada tahun yang sama dengan wafatya paman Nabi, Abu Thalib. Oleh para sejarawan, tahun ini disebut sebagai tahun kesedihan bagi Nabi. Demikian sebagaimana disebutkan dalam Siyar A’lamin Nubala’.
Kenangan itu kerap hadir pada diri Nabi. Dalam Shahih Muslim, disebutkan suatu ketika Nabi kedatangan saudara perempuan Khadijah, bernama Halah binti Khuwailid. Ia meminta izin akan sesuatu hal kepada beliau. Nabi merasa bahagia dan terkenang akan Khadijah saat saudarinya itu menghadap Nabi, karena adanya sifat-sifat yang serupa dan sebentuk rindu pada Khadijah.
Cinta tersebut masih mewujud dalam keseharian Rasul, bahkan kepada para teman-teman istrinya itu. Ketika Nabi Muhammad menyembelih kambing, beliau kerap memberikan hantaran kepada teman-teman Khadijah semasa hidup.
“Sering sesekali waktu ketika teringat, Nabi tak jemu memuji dan memohonkan ampun untuknya Khadijah.” Demikian penuturan Aisyah sebagaimana dicatat Ibnu Sa’ad dalam At Thabaqat al Kubra. Sebab cemburu, ia pernah mencibir perkara pujian Nabi Muhammad saat mengenang Khadijah.
“Wahai, bukankah dia Khadijah itu hanyalah orang tua? Padahal Allah sudah mengganti dan memberi untukmu yang lebih baik darinya,”
Sontak Nabi Muhammad menimpali,
“Kamu tahu Aisyah? Allah tak pernah menggantikan yang lebih baik dari Khadijah. Kamu tahu, dia beriman kepadaku ketika orang-orang mengingkariku, membenarkan perkataanku ketika orang-orang menuduhku berbohong, memberiku sokongan saat orang-orang menghalangiku, dan Allah memberiku keturunan darinya.”
Demikianlah bagaimana perasaan Nabi kepada Khadijah tak lekang oleh waktu. Nabi bersabda, “Perempuan terbaik adalah Maryam binti ‘Imran, dan perempuan terbaik adalah Khadijah binti Khuwailid.” Imam Nawawi menjelaskan dalam Syarah Shahih Muslim, bahwa maksud dari hadis tersebut bahwa tiap keduanya merupakan perempuan terbaik dari tiap masanya.
Dan tentu dari hadis itu dapat juga kita pahami, kemuliaan Khadijah sebagai perempuan yang terkasih dan terbaik bagi Rasulullah. Terlebih dengan segala capaian dan dukungan yang telah dilakukan keduanya bersama. Rindu memang tak bisa dibohongi, dan bagi Rasulullah pun juga terasa sendu dan mungkin, menyesakkan.