Kemenangan Khabib Nurmagedov atas Conor Mc Gregor terus jadi perbincangan,bukan saja karena Khabib telah mengalahkan petarung asal Irlandia tersebut, yang terkenal sangat arogan dan telah menjadi petarung kuat di UFC 299, tapi aroma pertandingan ini menjadi sangat panas karena provokasi menyentuh persoalan keyakinan dan ajaran Agama yang dilakukan oleh Conor McGregor.
Foto hingga potongan video detik-detik kemenangan beredar dengan dilengkapi dengan berbagai komentar, kebanyakan mengucapkan rasa syukur atas kemenangan disertai dengan komentar yang menyudutkan Conor. Kegembiraan yang bercampur dengan kata-kata penghinaan atas Conor terus beredar di linimasa sebagai pelampiasan rasa kemarahan dan pembalasan aksi rasis yang dilakukan Conor atas Khabib sebelum pertandingan.
Fenomena Khabib ini seakan memperlantang suara dari umat muslim yang selama ini merasa inferior karena merasa ketinggalan dalam berbagai bidang dan merasa terus ditindas oleh penguasa. Fenomena ini di Indonesia kemudian berkelindan dengan suasana politik yang cukup panas karena telah memasuki masa kampanye, yang mana isu akan ketidakdekatan petahana dengan kelompok Islam seakan memberikan nuansa yang semakin semarak atas kemenangan Khabib tersebut.
Di tengah euforia kemenangan Khabib ini, saya ingin memberikan sebuah kritik kecil, untuk menjadi renungan kita bersama bahwa pembalasan aksi rasis Conor dengan aksi rasis yang kurang lebih sama adalah hal yang akan menyuburkan kebencian antar manusia. Banyak kita temukan media visual kemenangan Khabib dengan berbagai bentuk, dijadikan komoditas kebencian kepada mereka yang berbeda agama disebabkan aksi rasis Conor.
Penghinaan yang dilakukan Conor atas ajaran dan kepercayaan Khabib memang memancing emosi bagi sesiapapun yang mendengarnya. Namun, itu bukan berarti kita sebagai umat beragama harus membalas aksinya dengan aksi rasis serupa kepadanya. Jika aksi rasis tersebut kita balas dengan balasan yang serupa, secara tidak sadar, kita sudah menyemai kebencian yang mengeras antar agama. Inikah yang akan kita wariskan kepada anak cucu kita akan datang? Tentu saja tidak.
Dalam setiap aksi rasis yang tersebar dalam media, memiliki sebuah pesan tersembunyi yaitu menebar benih kebencian yang serupa pada objek aksi rasis tersebut. Proses penyampaian pesan tersebut adalah sesuatu yang jarang disadari oleh kebanyakan orang, sebab sudah menjadi insting manusia akan membalas aksi penghinaan atas diri atau yang berkaitan dengan dirinya. Oleh sebab itu, jika manusia yang mampu keluar dari lingkaran setan aksi rasis maka kehidupan di dunia ini akan menjadi damai.
Pesan rasis tersebut kemudian akan terus memangsa banyak pengguna media sosial lainnya tanpa bisa dihentikan. Karena, sebuah aksi rasis yang tersebar di media sosial akan sangat sulit dihentikan, malah terus diproduksi oleh mereka yang sudah terpapar kebencian yang disusupkan oleh perilaku rasis yang mereka sebarkan.
Pertanyaan kemudian muncul di benak saya, mengapa pesan rasis ini kemudian sangat mudah mempapar pengguna media sosial dan sangat sulit dihentikan?
Ada tiga hal penting yang perlu dipaparkan untuk menjawab pertanyaan di atas. Tiga hal ini akan memperlihatkan kepada kita akan betapa berbahayanya sebuah pesan rasis jika terus diproduksi melalui sebuah tombol bagikan di laman atau aplikasi media sosial.
Pertama, persoalan anonim dalam media sosial. Persoalan ini agak jarang menjadi sorotan yang serius bagi para pengkaji media sosial, padahal melalui persoalan inilah sebuah pesan bisa diproduksi oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Akun-akun anonim dibuat dengan sangat mudah dan bisa digunakan oleh siapa saja tanpa terlacak, inilah yang bisa menjadi alat produksi kebencian yang paling sempurna dan bisa menjadi komoditas bagi mereka yang mengambil keuntungan dari keadaan ini. Persoalan anonim dalam akun media sosial, bukan saja persoalan akun palsu atau anonim. Namun, juga melibatkan akun-akun valid yang juga disebut sebagai bagian dari “anonymity”. Sebab, dalam dunia media sosial telah terjadi perubahan pola memahami dan konsumsi kebenaran dari para penduduknya, yang terjadi adalah keruntuhan legitimasi yang membuat semua orang bisa mengklaim suaranya sebagai legitimasi kebenaran.
Anonimity yang menyebabkan sebuah keadaan “tanpa identitas”, di mana seseorang bisa menyuarakan pandangannya, apakah itu baik atau buruk, tanpa bisa di kontrol dan tidak bisa dilacak identitas asilnya, siapa dan dari mana dia sebenarnya.
Kedua, komunikasi aktif masyarakat virtual. Kasus Khabib ini membuat ingatan saya meloncat ke sekitar awal tahun 2000an. Di mana seorang pesepakbola bernama Mohammad AbouTrika yang viral karena aksi memperlihatkan kaos bertuliskan arab yang berarti “bersimpati pada Gaza”. Kasus AbouTrika ini sangat mirip dengan kasus Khabib ini yaitu menggeser persoalan politik ke isu agama.
Islamophobia memang menjadi permasalah serius khususnya di Eropa sejak tragedy 9/11 dan banjirnya imigran ke daratan Eropa karena persoalan Arab Spring. Namun, saat provokasi Conor yang disebut-sebut bagian dari Islamophobia dan kebencian akan Islam, bisa berkelindan dengan usaha Conor yang sejak dulu terkenal melakukan hal-hal kontroversi untuk mendongkrak popularitas pertandingannya dengan Khabib yang akan memperoleh jumlah penonton yang membludak dan angka bagus di pasar taruhan. Oleh sebab itu, kala isu pembelaan Khabib atas perlakuan rasis Conor harusnya ditanggapi dengan bijak, jangan sampai malah menjebak kita pada lingkaran setan kebencian.
Sebuah pesan rasis, sebagaimana yang dilakukan Conor, bukan saja membentuk kebencian pada orang yang melakukan perilaku rasis juga bisa memupuk kebencian kepada mereka yang lain. Dengan kemajuan teknologi media sosial, pesan rasis untuk mengeraskan kebencian akan yang liyan semakin mudah dilakukan. Narasi kebencian pada yang liyan mungkin dibangun secara sadar atau tidak sadar oleh banyak akun di media sosial dengan mengkomodifikasi pertandingan Khabib, sehingga bisa membakar emosi umat muslim khususnya di Indonesia yang terus menerus direcoki narasi ketertindasan umat Islam di tengah kepemimpinan rezim sekarang ini.
Terakhir, trauma fotografis kemenangan Khabib. Dalam kajian semiotika, sebuah foto atau video akan memunculkan sebuah tanda, yang akan dikonsumsi oleh warga dunia maya sebagai sebuah kebenaran. Konstruksi kebenaran dalam foto dan video melalui asumsi-asumsi. Makna dari asumsi di sini adalah nilai-nilai yang begitu dasar, yang begitu luas dianut, yang begitu alami sehingga, dalam hal ini para pengguna media sosial, tidak perlu mengacu pada apa yang disebut oleh Roland Barthes sebagai “eks-nominasi”, dan ideologi pun bekerja.
Apa yang dimaksud ideologi dalam persoalan foto dan video di sini, sebagaimana yang dikutip oleh John Fiske dari Raymond Williams, adalah suatu sistem keyakinan ilusioner—gagasan palsu atau kesadaran palsu—yang dikontraskan dengan pengetahuan sejati atau pengetahuan ilmiah.
Ideologi akan kebangkitan Islam yang dibangun dari kebencian akan mereka yang berbeda dan hipotesis akan ketertindasan umat dari isu Islamophobia terus dihembuskan hingga sekarang. Inilah yang menyebabkan fenomena viralnya Khabib terus dikomodifikasikan untuk membangun sebuah identitas kolektif yang bisa digiring untuk berbagai kepentingan. Disadari atau tidak, fenomena Khabib di Indonesia digunakan, oleh sebagian pihak, untuk membangun kesadaran bahwa Islam sedang tertindas dan keadaan ini haruslah dilawan. Stereotipe seperti ini sangat terbantu dengan drama yang ada di pertarungan Khabib dan Conor.
Penulis ST. Sunardi menuliskan dalam buku Semiotika Negativa bahwa stereotipe adalah jalan saat kini menuju ‘kebenaran’, dan foto dan video menjadi medium stereotipe paling cepat dan paling lama bertahan. Saat kebenaran dibangun melalui stereotipe terlihat tidak berbahaya, namun yang banyak tidak disadari adalah luka yang ditinggalkan dari stereotipe selalu dalam dan sulit untuk disembuhkan selama stereotipe tersebut bertahan.
Di sinilah pesan yang seharusnya kita bisa ambil dalam fenomena Khabib ini, kehati-hatian harus dikedepankan karena kalau euforia dari fenomena Khabib ini malah menggiring kita pada pengerasan kebencian pada mereka yang berbeda.
Fatahallahu alaihi futuh al-arifin