Suatu ketika, bersama sahabat senior Cak Arif Khuzaini kami diutus Bapak Pengasuh menuju Malang. Lokasi yang kami tuju tak lain adalah Jalan Cengger Ayam, Pondok Pesantren Al-Hikam.
Matahari menunjukkan panasnya tanpa toleransi. Karena mengejar waktu, sampai di lokasi kami tidak istirahat. Langsung melangkah ke rumah yang kami yakini itu adalah yang kami cari.
Kami mengetuk pintu. Keadaan kumus-kumus. Tak lama, keluar sosok yang kami kenal melalui banyak media. Tak lain, KH Hasyim Muzadi.
Dengan spontan karena terkejut, kami langsung uluk salam, “Assalamualaikum, Kiai?”
“Wa alaikum salam. Dari mana?”
“Dari Jombang, Kiai.”
“Oh, tunggu sebentar ya.”
Beliau bergegas masuk ke dalam kamar. Ketika itu hanya mengenakan sarung dan kaos oblong. Sedang santai.
Sontak kami bingung. Sebab, yang kami tuju adalah kakak beliau KH Muchith Muzadi. Tapi kami nyasar ke rumah mantan Ketum PBNU itu.
Tak lama kemudian, KH Hasyim datang lagi dengan pakaian rapi, baju koko dan peci hitam. Kami dipersilakan masuk dengan santunnya.
“Ada apa, Mas?” Beliau mengajak kami duduk.
“Maaf Kiai, benar ini rumah KH Muchith Muzadi?” Tanya kami penuh kikuk.
“Oh, Kiai Muchith? Beliau di gang sebelah tak jauh dari sini memang.”
Dengan sabar pula Kiai Hasyim menunjukkan kami jalannya.
Itulah kesan pertama kami dengan beliau. Bertamu salah rumah, kiai pula yang kami tuju. Beliau menyempatkan menyapa kami bahkan mengganti bajunya demi memuliakan tamu (meski sang tamu kesasar, dasar!).
Sore harinya sepulang dari rumah KH Muchith Muzadi kami kembali melewati gang rumah KH Hasyim. Kami menundukkan kepala malu takut bertemu beliau lagi.
Ndidalah, benar Kiai Hasyim keluar dengan mobilnya. Kaca mobil dibuka, lantas beliau menyapa kami dengan senyuman manis seorang kiai yang hangat. Kami membalas senyum beliau. Lelah sekujur tubuh terasa hilang ditelan senyum.
Hari ini, beliau berpulang ke haribaan-Nya. Semoga Allah SWT mengampuni dosa almarhum KH Hasyim Muzadi, meninggikan derajatnya, dan memberi kemanfaatan ilmunya. Amin…