Ulama adalah gambaran dari tokoh atau pemuka agama, terutama dalam konsepsi Islam, tidaklah selalu berbanding lurus dengan makna yang terkandung di dalamnya, yaitu orang yang berilmu (ulama merupakan bentuk plural dari ‘alim), pintar, bijaksana, dan padanan positif lainnya. Terdapat ulama, yang sejatinya mencintai ilmu, tetapi justru memusuhi (produk-produk) ilmu itu sendiri, lewat beragam aksi seperti pembakaran buku yang mungkin dianggap berseberangan dengan prinsip serta keyakinannya.
Nuruddin Muhammad bin Hasanji al-Hamid al-Syafi’i al-Asy’ari al-Raniri, atau yang lazim dikenal Nuruddin Al-Raniri adalah seorang tokoh penting dalam penyebaran Islam di Nusantara, terutama di kawasan Aceh. Pemikirannya oleh banyak kalangan dianggap berhasil memantapkan pengaruh dan dominasi paham Ahlussunnah wal Jama’ah, fiqih mazhab Syafi’i. Azyumardi Azra (1999) menyebut kiprah dan peran Al-Raniri sebagai tokoh pembaru (mujaddid) paling penting di Nusantara abad ke-17 M.
Kasus Al-Raniri
Al-Raniri dikenal luas oleh masyarakat Indonesia bukan hanya sebagai ulama biasa, tapi sekaligus ahli tasawuf yang merepresentasikan paham neo-sufisme. Istilah neo-sufisme, sebagaimana dijelaskan oleh Fazlur Rahman (1979) adalah tasawuf yang diperbarui, melucuti ciri dan kandungan ekstatik dan metafisiknya, dan digantikan dengan kandungan yang tidak lain dari dalil-dalil ortodoksi Islam.
Tasawuf model ini menekankan dan memperbarui faktor moral dan kontrol diri yang puritan dalam tasawuf yang mengorbankan ciri-ciri berlebihan dari tasawuf yang menyimpang (unorthodox sufism). Pusat perhatian neo-sufisme adalah rekonstruksi sosio-moral dari masyarakat muslim. Dan Al-Raniri dianggap memenuhi kriteria sebagai pelopor neo-sufisme, meski sebenarnya terdapat beberapa catatan penting menyertainya. Ia pernah menjabat mufti (Syekh Al-Islam) di Kerajaan Aceh pada era Sultan Iskandar Tsani dan Sultanah Shafiatu al-Din.
Menurut riwayat, Al-Raniri tinggal di Aceh selama tujuh tahun (1637-1644) menjadi seorang alim, mufti, dan penulis produktif yang menentang doktrin wujudiyah (Manunggaling Kawula Gusti) yang diyakininya sebagai ajaran sesat. Paham ini mengacu pada dua tokoh sebelumnya, yaitu pemikiran tasawuf Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumaterani. Al-Raniri dengan mengatasnamakan kelompok yang berpaham Ahlussunah wal Jama’ah dan atas nama tasawuf yang murni menolak tasawuf Fansuri dan Sumaterani yang dinilainya sebagai tasawuf menyimpang dan kafir.
Al-Raniri memfatwakan sesatnya ajaran yang diajarkan oleh Fansuri dan Sumaterani serta para pengikutnya adalah murtad secara hukum, halal diperangi jika tidak bertobat dan kembali kepada jalan yang benar. Selain itu, buku atau karya-karya Fansuri dan Sumaterani dibakar di depan Masjid Baiturrahman, dan para pengikutnya yang setia diburu dan dibunuh, termasuk saudara kandung Sultan sendiri. Kampanye anti-Fansuri dan anti-Sumaterani begitu massif pada waktu itu, dan hanya sedikit diantara pengikutnya yang selamat.
Fakta tersebut memunculkan persepsi, bahwa gelar mujaddid dalam diri Al-Raniri, kalau kita setuju dengan predikat itu, disertai oleh “tumbal politik” berupa banyaknya korban jiwa. Al-Raniri telah menjadi “dalang” dalam kasus pengkafiran kepada kelompok yang tidak sepaham dengan keyakinannya. Ironisnya, sebagai seorang ulama yang mestinya dapat dikendalikan oleh berkah keilmuannya, justru menjadi “pemeran utama” dalam pembakaran buku.
Kasus Hamka
Pemikiran dan ideologi Al-Raniri itu di kemudian hari terus mengalir, direproduksi dan menginspirasi generasi setelahnya, bahkan sampai sekarang, meski mungkin dalam konteks kasus yang berbeda.
Sekadar menyebutkan contoh lain, ulama yang segaris dengan Al-Raniri, bergelut dengan urusan fatwa, dan pada akhirnya melakukan justifikasi sesat dan sampai melakukan pembakaran buku adalah Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA).
Ketokohan Hamka dikenal luas sebagai tokoh sastrawan, penulis hebat, agamawan (ulama), bahkan politisi, yang juga pernah menjabat sebagai Ketua MUI (Majelis Ulama Indonesia) pertama tahun 1977. Hamka selama ini dalam perjalanan hidupnya dikenal harum namanya, namun dalam situasi dan konteks berbeda, ia juga menampilkan sisi paradoks dengan predikat keulamaannya.
Selengkapnya bisa baca di NU Online