Ulama pun bisa berbeda pendapat dalam sebuah hukum. Bagaimana mereka mengatasi hal itu? Berikut kisahnya
Di tubuh organisasi islam Nahdlatul Ulama, ada cerita menarik dari dua tokoh legendaris yang mereka miliki, KH Hasyim Asy’ari, Jombang dan KH Muhammad Faqih, Maskumambang, Gresik. Mereka berdua kawan lama.
Keduanya sudah menjalin pertemanan sejak belajar di Makkah.
Di kemudian hari, Kiai Hasyim menjadi orang nomor satu di tubuh NU dengan menjabat sebagai Rais Akbar, Kiai Faqih menjadi wakilnya.
Sebagai orang cendekia, perbedaan pendapat merupakan sebuah keniscayaan.
Satu hal yang tak bisa dihindari oleh siapapun. Begitu pula yang dialami antara Kiai Hasyim dengan Kiai Faqih ini.
Kiai Hasyim berpendapat, kentongan (kayu yang dipukul sehingga bisa menghasilkan bunyi keras) dilarang dibuat media untuk memberitahukan masuknya waktu shalat.
Hal ini berdasar, menurut Kiai Hasyim, memukul kentongan tidak ada dalil eksplisit yang tercantum dalam Al Qur’an maupun Hadis.
Kiai Faqih mempunyai pendapat lain, kentongan diperbolehkan sebagai media panggilan shalat di masjid atau mushalla karena dianalogikan (qiyas) dengan bedug.
Kita perlu tahu, di zaman kedua kiai ini hidup, sekitar tahun 1926, peradaban loadspeaker belum masuk.
Jadi, media suara notifikasi masuk waktu shalat paling keras adalah kentongan atau bedug.
Kedua kiai di atas adalah ulama dengan kapabilitas keilmuan yang diakui dunia. Ketika patut menyimak, langkah mereka ketika menemukan perbedaan pendapat, bagaimana sikap mereka?
KH Hasyim Asy’ari lalu mengumpulkan ulama dan santri seniornya di Jombang. Ia berfatwa, antara pendapat dia sendiri dengan Kiai Faqih yang tidak sama tersebut, masyarakat boleh memilih antara keduanya, dengan satu catatan, sampai kapanpun, masjid dan mushalla di Jombang sendiri tetap tidak diperkenankan memasang kentongan.
Satu ketika, Kiai Hasyim mendapat undangan ceramah dari Kiai Faqih di Gresik.
Sebelum acara dihelat, Kiai Faqih memberitahukan kepada takmir masjid, mushalla sekitar, untuk menurunkan kentongan di masjid-mushalla mereka selama kunjungan Kiai Hasyim ke Gresik hingga pulang.
Satu sikap penghormatan antara dua tokoh yang layak menjadi teladan kita di zaman sekarang ini.