Ada satu kisah menraik yang tertuang dalam kitab Khulasah al-Mafakhir karya Abdullah bin As’ad al-Yafi’I (Kairo: Dar al-Kurz, 2006). Ceritanya, terdapat dua orang pemuda Arab dan Persia. Mereka saling kenal, namun anehnya sama-sama tidak bisa memahami bahasa yang digunakan temannya. Yang orang Arab tidak paham bahasa Persia, dan yang orang Persia tidak paham bahasa Arab.
Mereka berdua sama-sama ingin bisa bahasa teman mereka. Akhirnya mereka memutuskan untuk sowan (silaturrahim) kepada Syaikh Usman bin Marzuq bin Hamid bin Salamah al-Qurasyi (w. 564 H.), seorang ahli fikih madzhab Hanbali. Ia memiliki julukan Abu Amr.
Setelah sowan Syaikh Usman, mereka ternyata langsung bisa bahasa yang mereka inginkan itu. Si Arab bisa bahasa Persia dan si Persia langsung fasih berbahasa Arab. Mereka akhirnya saling bercerita apa yang menyebabkan mereka menguasai bahasa itu dengan cepat sekali, padahal sebelumnya sama sekali tidak paham.
Si Arab berkata, “semalam, saya bermimpi bertemu dengan Nabi Ibrahim as, sedang syaikh Abu Amr membersamainya. Nabi Ibrahim, dalam mimpi itu berkata kepada syaikh Abu Amr, “Ajari dia bahasa Persia!”. (Maksud “dia” dalam kalimat ini adalah si Arab)
Sementara itu, yang orang Persia juga berkata, “Saya semalam bermimpi bertemu Rasulullah SAW. Dan syaikh Abu Amr bersama beliau. Dalam mimpi itu, Nabi Muhammad memerintahkan kepada syaikh Abu Amr, “Ajari dia bahasa Arab, sebagai ganti dari dariku!”. (Maksudnya, Abu Amr sebagai “wakil” dari Nabi untuk mengajari orang Persia tadi, pen.).
Ia juga mengatakan bahwa setelah itu, syaikh Abu Amr meludahi mulutnya dan kemudian ia bangun. Namun anehnya, ketika itu ia langsung bisa bahasa Arab. Alhamdulillah.
Dari kisah di atas kita bisa belajar banyak. Salah satunya adalah tentang pentingnya belajar bahasa asing, yakni yang bukan bahasa ibu. Dalam konteks Indonesia tentu saja adalah bahasa selain bahasa Indonesia, sebut saja bahasa Arab, Inggris, Belanda, dan lain-lain. Atau juga bisa bahasa daerah yang bukan bahasa daerah kita: misalnya, orang Jawa belajar bahasa Sunda atau sebaliknya, dan lain-lain.
Dalam kamus bahasa Indonesia, bahasa diartikan dengan “sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri”.
Berangkat dari definisi bahasa di atas, salah satu tujuan bahasa adalah untuk berinteraksi. Menguasai bahasa lawan bicara merupakan kunci dari setiap interaksi yang dilakukan seseorang dengan orang lain. Tanpa penguasaan bahasa, cita-cita untuk berinteraksi dengan pihak lain hanya akan menjadi isapan jempol belaka.
Allah Swt. berfirman:
“Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Dialah Tuhan Yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Ibrahim [14]: 4)
Kita mengetahui bahwa tujuan para diutusnya para rasul adalah untuk menyampaikan risalah Tuhan kepada masyarakat yang menjadi obyek dan sasaran dakwahnya. Dan, salah satu cara untuk mewujudkan tujuan itu adalah dengan menguasai bahasa masyarakat tersebut.
Salah satu makna yang dikandung ayat di atas, menurut al-Baidlawi dalam kitab Anwar al-Tanzil, adalah tentang tujuan dibekalinya para utusan itu dengan bahasa kaumnya, yakni akan membuat mereka (kaum/masyarakat obyek dakwah tersebut) bisa memahami isi dakwah yang disampaikan dengan mudah dan cepat.
Walhasil, siapapun kita, terlebih yang sering berkomunikasi dengan orang lain, hendaknya memahami terlebih dahulu bahasa lawan bicara kita. Jika diibaratkan, bahasa adalah kunci sebuah ruangan. Semakin banyak kunci yang kita miliki, semakin banyak pula ruangan yang bisa kita masuki. Bukankah begitu?