Pada bulan Ramadhan dianjurkan untuk mendirikan malam Ramadhan dengan memperbanyak ibadah. Di antara ibadah yang bisa dilakukan adalah mengerjakan shalat tarawih. Dalam situasi pandemi seperti ini, kalau ingin mengerjakan shalat tarawih di masjid berjamaah, kita mesti melakukannya sesuai dengan protokol kesehatan, seperti pakai masker, jaga jarak, shaf shalat tidak terlalu rapat, dan lain-lain.
Sudah banyak ulama yang menegaskan keharusan jaga jarak saat shalat jamaah, termasuk shalat tarawih. Alasannya, meminimalisir resiko penularan wabah. Tapi sebagian pendakwah ada yang menentang pandangan tersebut, karena merenggangkan shaf dianggap menyalahi sunnah Nabi. Parahnya, ada yang bilang di media sosial bahwa merenggangkan shaf shalat jamaah, sekalipun di masa covid-19, itu termasuk fitnah dajjal. Terus kata ustadz itu belum pernah ada dalam sejarah Islam, tha’un (wabah) sedahsyat apapun itu mengubah shalat berjamaah. Apa iya Islam ngajarin gitu banget ya? Yuk kita bahas satu persatu
Pertama, hadis tentang shaf shalat harus rapat itu ada ulama yang memaknainya secara simbolik. Kita itu harus bersatu, biar setan gak gampang mecah belah. Jadi makna hadis itu bukan kita harus nempel-nempelin kaki teman kanan-kiri pas shalat jamaah. Kalau sampai kayak gitu, bikin risih gak sih?
Nah, Syekh al-Azhim Abadi dalam ‘Aunul Ma‘bud menjelaskan, Imam Ibnu Batthal menganggap bahwa merapatkan shaf itu bagian dari sunah, bukan suatu kewajiban. Ia beralasan bahwa merapatkan shaf itu bentuk dari kesempurnaan shalat, bukan bagian dari syarat sah shalat.
Menurut Doktor Syauqi Ibrahim Allam, salah satu ulama anggota Lembaga Fatwa Mesir menyatakan, menurut mayoritas ulama merapatkan barisan saat shalat jamaah itu sunah. Hanya sebagian ulama yang mewajibkan merapatkan shaf saat shalat, seperti Imam Ibn Hazm dan lainnya.
Kedua, di masa Nabi ada sekolompok Bani Tsaqif yang ingin berbaiat dan silaturahim dengan Rasulullah. Tapi di situ ada orang yang sedang sakit lepra. Nabi meminta untuk tidak salaman dulu biar penyakit lepra itu tidak menular. Paling enggak cerita itu terdapat dalam 7 kitab hadis.
Di antaranya Shahih Muslim, Sunan Abi Daud, dan lain sebagainya. Bukankah Nabi orang yang paling dekat sama Allah? Apa Nabi takut sama penyakit, gak takut sama Allah? Bukan begitu! Ini Nabi ngajarin kita untuk tetap berikhtiar agar gak tertular penyakit. Ikhtiar juga perintah agama.
Ketiga, di zaman sahabat Umar, ada wabah Amwas di Syam (Suriah) yang menewaskan banyak sahabat senior, seperti Abu Ubaidah bin Al-Jarrah, Mu’adz bin Jabal, Yazid bin Abi Sufyan dan lainnya. Sahabat Umar pun membatalkan kunjungan dari Madinah ke Syam.
“Mari kita berpindah dari satu takdir ke takdir yang lain.” Sekelas sahabat yang top juga tetap berikhtiar ngindarin wabah, bukan malah nantangin. Kita tak usah takut, tapi kita juga jangan menyepelakan. Begitulah kurang lebih pesan sahabat Umar. Kisah ini ada loh di kitab Bukhari-Muslim.
Keempat, Nabi pernah pesan buat ubah redaksi azan saat ada musibah. “Kalau kamu udah selesai ucapin asyhadu alla ilaha illallah asyhadu anna muhammadan rasulullah, ganti hayya alas shalah (mari kita shalat), dengan shallu fi buyutikum (shalatlah kalian di rumah).
Musibah yang menimpa saat itu adalah hujan lebat dan banjir, yang bikin basah kuyup dan alas kaki bisa belok karena becek dan berlumpur. Nyawa itu lebih penting dari segalanya. Begitu kurag lebih pesan yang dapat kita tangkap dari hadis Nabi ini. Nabi nyuruh shalat di rumah, bukan di masjid
Kelima, Nabi bilang, “Kalian lebih mengerti permasalahan duniawi yang kalian hadapi (HR Muslim).” Ini Nabi katakan saat beliau keliru dalam memberikan saran terkait masalah pertanian. Ternyata saran dari sahabat Nabi terkait pertanian itu lebih tepat, dan hasil pertanian bagus.
Pandemi covid-19 ini kan masalah medis, kita harusnya percaya sama ahli medis, bukan sama ustadz. Begitu kan? “Saat sebuah permasalahan dipasrahkan pada orang yang tak punya otoritas dan kemampuan, tunggulah kiamat tiba (HR Bukhari).”