Kalimat tauhid merupakan kalimat singkat namun sarat makna. Ia adalah kalimat kesadaran dari pengucapnya tentang pengakuan sepenuh hati bahwa tidak ada yang berhak disembah melainkan Allah Swt.
Lebih dalam lagi, siapa yang benar-benar memahaminya, maka ia tidak akan mempunyai tujuan lain kecuali hanya kepada Allah Swt saja. Tidak ada yang menjadi motivasi berbuat sesuatu kecuali Dia. Hanya Dia yang menjadi acuannya dalam setiap tindakannya.
Kalimat ini adalah kalimat yang diharapkan oleh setiap Muslim untuk diucapkan ketika ia sedang sakaratul maut kelak. Ini selaras dengan sabda Nabi Muhammad Saw, bahwa “siapa yang akhir perkataannya sebelum meninggal dunia adalah kalimat Laa ilaaha illah, maka ia akan masuk surga.” (HR. Abu Daud)
Lebih jauh, kalimat tauhid memiliki banyak keutamaan. Salah satunya adalah kisah yang tertulis dalam Mawaizh Ushfuriiyyah karya Muhammad bin Abu Bakar berikut ini.
Ceritanya, di suatu tempat hidup seorang raja yang sangat bengis dan jahat. Ia tipe raja yang sangat tidak manusiawi. Kepemimpinannya penuh dengan kejahatan dan tipu muslihat. Segala cara ia gunakan agar ia bisa merasakan hidup nyaman, tak peduli berapa uang rakyat yang ia makan. Ia tak mempedulikan berapa harta negara yang ia nikmati bersama keluarga dan koalisinya. Ia tak mau tau berapa banyak konstitusi yang ia langgar. Dan yang paling parah, ia durhaka kepada Allah Swt.
Raja itu ditentang oleh kaum muslimin saat itu. Segala cara dilakukan agar sang raja kalah dan tunduk kepada kaum muslimin. Akhirnya, setelah melalui perjuangan yang sangat besar, sang raja benar-benar takluk di tangan pasukan muslim. Pasukan muslim berhasil menangkapnya dalam keadaan masih hidup. Ia lantas ditawan.
Ketika mereka akan memberikan hukuman kepada sang raja, terjadi silang pendapat di antara mereka, yakni tentang hukuman apa yang berhak untuk raja durjana itu. Setelah melalui diskusi yang cukup lama, akhrinya diputuskanlah hukuman yang tepat baginya: ditaruh di dalam bejana dan dibakar.
Waktu eksekusi telah tiba, sang raja benar-benar diperlakukan dengan hukuman yang telah disepakati itu. Ia diletakkan di dalam bejana besar dalam keadaan kepala terikat. Bejana itu lantas dibakar dengan api yang menyala-nyala.
Panas api mulai ia rasakan. Ia mulai merasa tak nyaman dengan keadaan itu. Semakin lama, rasa panas itu semakin menjadi-jadi. Ia semakin tersiksa. Sejurus kemudian, ia berteriak dan memanggil “tuhan” yang selama ini ia sembah.
“Wahai Latta, selamatkan aku dari siksa ini. Wahai ‘Uzza, tolong aku , aku sudah tak kuat dengan panas ini. Wahai Habil, selamatkan aku. Bukankah aku telah menyembah dan melayanimu selama bertahun-tahun…,” teriak sang raja.
Kalimat itu selalu ia ulangi terus menerus. Namun, tak ada pertolongan apapun yang datang kepadanya. Ia tetap terbakar dalam bejana besar itu. Bahkan, semakin ia teriak-teriak meminta perlindungan kepada sesembahan-sesembahannya itu, api semakin terasa panas. Begitu seterusnya.
Keadaan itu lalu membuatnya sadar bahwa sesembahan yang selama ini ia sembah dan hormati ternyata tak bisa mendatangkan manfaat dan keuntungan apa-apa. Ia akhirnya mengucapkan kalimat tauhid, “Laa ilaaha illallah Muhammadur rasulullah…”
Tiba-tiba tanpa diduga, setelah ia mengucapkan kalimat tauhid itu, Allah Swt menurunkan hujan yang sangat lebat hingga api yang membakarnya padam seketika. Juga, setelah itu Allah Swt mengirimkan angin yang begitu kencang hingga bejana berserta sang raja itu terbang melayang-layang.
Ia lalu mengucapkan kalimat tauhid lagi. Akhirnya bejana itu semakin terbang melayang dan tak terlihat oleh mata, hingga akhirnya hilang.
Bejana itu akhirnya turun—dengan izin Allah—di sebuah perkampungan, yang mana penduduk di sana belum mengenal Allah. Mengira ada semacam “meteor” yang jatuh, penduduk kampung itu beramai-ramai mendatangi dan memeriksanya.
Singkat cerita, penduduk setempat akhirnya mengetahui bahwa benda yang jatuh itu bukanlah meteor, melanikan sebuah bejana dengan seseorang di dalamnya.
“Siapa Anda dan apa yang sebenarnya terjadi dengan Anda?” tanya salah salah satu penduduk kepada sang raja.
“Aku adalah seorang raja di desa anu,” jawab raja.
Tak hanya itu, sang raja juga menceritakan hal ihwal keadaannya dan apa saja yang terjadi padanya dengan panjang lebar. Mendengar cerita sang raja, akhirnya seluruh penduduk desa itu memeluk Islam.
Demikianlah, kita tidak pernah tahu apa dan bagaimana rencana Allah Swt. Tapi, satu hal yang pasti bahwa kalimat tauhid seyogianya tidak berhenti pada simbol semata, melainkan juga harus menjadi kesadaran utuh setiap umat Muslim dalam menjalankan segala aktivitas.
Wallahu a’lam