Pada zaman Bani Israil, hidup sepasang suami istri. Mereka adalah orang baik. Rajin ibadah. Sautu hari, mereka mendapat masalah ekonomi dalam hidupnya. Sang lelaki lantas langsung pergi ke padang pasir untuk beribadah kepada Allah SWT dan berdoa untuk diberikan solusi atas masalahnya itu.
Selesai beribadah dan berdoa, ia mendengar ada suara yang memanggilnya, “Wahai orang yang ahli ibadah, bentangkan ke dua tanganmu dan ambilllah ini!”
Ia pun mengikuti instruksi yang diberikan kepadanya itu. Ia bentangkan tangannya. Dua buah permata tiba-tiba berada di tangannya. Seakan ada yang meletakkan. Permata itu begitu indah. Seperti dua bintang yang sedang bercahaya. Sangat terang. Dua pertama itu pun ia bawa pulang. Untuk diberikan kepada sang istri. Tentu dengan perasaan yang riang gembira.
Ia berkata kepada istrinya, “Kita selamat dari kefakiran”.
Waktu pun berlalu. Pada suatu malam dalam tidurnya, ia bermimpi hal yang aneh. Dalam mimpinya, ia merasa sedang berada di surga. Di sana ia melihat ada sebuah bangunan yang amat besar. Sebuah gedung. Seketika, ada suara yang memberitahunya, “Itu adalah gedungmu”.
Tak hanya itu. Ia juga melihat ada dua singgasana di surga. Singgasana itu saling berhadapan. Dua-duanya terbuat dari bahan yang mahal. Yang satu terbuat dari emas merah. Sedang yang satu dari perak. Atap keduanya terbuat dari batu mulia. Benar-benar menakjubkan.
“Kedua singgasana itu untuk kamu dan istrimu,” suara itu memberikan informasi.
Ia mencoba mengecek singgasana itu. Ternyata atapnya berlubang. Lubang itu seukuran dua permata. Merasa ada yang aneh, ia pun bertanya, “Ini kok berlubang. Ada apa?”
“Itu sejatinya tidak berlobang. Itu adalah tempat dua permata yang kamu terima tempo hari di dunia. Kamu saja yang tergesa-gesa meminta dan menerimanya,” jawab suara itu menjelaskan.
Ketika bangun dari tidur, ia menangis. Ia menceritakan apa yang ia alami dalam mimpi itu kepada sang istri. Istrinya memberinya saran. Ia diminta untuk segera pergi ke padang pasir. Berdoa kepada Allah SWT. Agar Dia berkenan mengembalikan dua pertama itu ke surga.
Ia pun bergegas menuju padang pasir. Berdoa sesuai arahan istrinya. Dengan dua permata itu berada di genggaman tangan, ia berdoa. Memohon agar ia dikembalikan saja ke tempat asalnya. Yakni atap singgasana di surga. Ia berdoa dengan sangat khusyu’. Sungguh-sungguh.
Ia melakukan itu terus meneru. Tanpa henti. Hingga kedua permata itu diambil. Ketika itu, ada suara yang menyeru, “Aku telah mengembalikannya ke tempat asalnya.”
Doanya terkabul. Ia begitu bahagia dan bersyukur. Tak lupa ia juga mengucapkan rasa terimakasihnya kepada Allah SWT. Alhamdulillah.
Kisah di atas penulis baca dari kitab al-Nawadir, karya Ahmad Syihabuddin al-Qalyubi. Lewat kisah di atas kita bisa belajar tentang tekabulnya doa. Doa yang kita panjatkan namun belum terkabul bisa jadi itu akan menjadi kenikmatan di surga kelak.
Berdoa adalah ibadah. Bersabar atas pengabulan doa adalah juga ibadah. Mengabulkan di dunia atau di akhirat adalah hak Allah secara mutlak. Dia paling mengetahui kapan kita harus diberi atas apa yang kita inginkan.
Baca Juga, Waktu Terbaik untuk Berdoa
Walhasil, apapun yang terjadi, hendaknya kita terus berdoa dan berdoa, tentu juga harus berusaha. Allah Maha Bijaksana dan memiliki pertimbangan sendiri dalam mengabulkan doa. Kita hanya butuh bersabar dan berkhusnudzan saja kepadaNya. Semua akan indah pada waktunya. InsyaAllah…
Sumber:
al-Qalyubi, Ahmad Shihabuddin bin Salamah. al-Nawadir. Jeddah: al-Haramain, n.d.