Hari sedikit panas terik ketika aku turun dari bus dan melangkahkan kaki ke sebuah kompleks besar dengan halaman yang luas. Di depanku terbentang sebuah spanduk bertuliskan, “Selamat Datang di Pondok Pesantren Pabelan”. Bersama dengan teman-teman, aku pun masuk ke kompleks tersebut. Pondok Pesantren Pabelan terletak di Muntilan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Sebenarnya kompleks besar seperti itu tidaklah asing bagiku. Aku bersama teman-teman yang berkunjung ke Ponpes Pabelan pun sehari-harinya tinggal di sebuah “pondok pesantren”. Namun bedanya pesantren yang kami tinggali dikhususkan untuk anak-anak Katolik yang berniat menjadi pastor alias ulama umat Katolik.
Nama khusus “pesantren Katolik” adalah Seminari. Lokasinya tidak jauh dari Ponpes Pabelan, tepatnya di Mertoyudan, sebuah kecamatan kecil di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Begitu masuk kompleks pesantren, aku langsung dibuat kagum oleh sekelompok anak muda yang berlalu lalang di halaman dengan pakaian mereka yang khas. Mereka mengenakan baju seragam SMA yang uniknya dipadu dengan sarung beraneka motif. Mereka juga memakai kopiah putih di kepala dan sandal jepit. Di pundak mereka masing-masing tersampir sajadah. Ah, agaknya mereka baru selesai shalat Jumat.
Salah satu santri mendekati kami dan dengan amat ramah berkata, “Assalamualaikum. Mas dari Seminari Mertoyudan ya? Mari langsung saja ke aula. Teman-teman dan Pak Kyai sudah menunggu di sana.” Waktu itu aku kebetulan menjadi pemimpin rombongan. Segera aku bersama teman-teman mengikuti santri itu memasuki aula.
Pandanganku menyapu sekeliling dinding aula itu. Ukurannya tidak terlalu besar, cukup untuk menampung seratus orang. Namun yang menarik perhatianku adalah apa yang terpajang di dinding aula itu. Ada kata-kata mutiara dalam bahasa Indonesia, Arab, dan Inggris. Ada pula foto dan lukisan tokoh-tokoh besar dunia seperti Soekarno, Mahatma Gandhi, dan Ibu Teresa dari Kalkutta. “Oh, di pesantren itu boleh ya memajang foto-foto seperti ini?” tanyaku pada Adi, santri yang tadi memandu kami masuk aula. “Tentu saja boleh, Mas. Kenapa nggak?” Jawab Adi padaku.
Sebelum datang sendiri ke pondok pesantren, aku punya bayangan bahwa pesantren itu tempat yang luas, dihuni oleh kyai dan anak-anak yang ingin belajar agama, apa yang dipelajari di sana cuma ilmu agama saja.
Kubayangkan para santri setiap harinya harus berada di dalam pesantren, tidak boleh ke mana-mana sampai lulus dari situ. Karena belajarnya cuma ilmu agama, mestinya semua atribut yang ada harus bernuansa Islam dan dalam bahasa Arab. Karuan saja aku kaget ketika melihat atribut yang dipajang sama sekali di luar bayanganku.
Setelah acara perkenalan di aula pesantren, kegiatan berikutnya adalah berkeliling pesantren. Kami dibagi dalam kelompok kecil beranggotakan 5 orang. Masing-masing kelompok ditemani dua santri. Mereka menjelaskan pada kami ruangan apa saja yang ada di Ponpes Pabelan itu.
Pertama kami diajak melihat asrama mereka, ah, aku langsung merasa senasib dengan mereka. Sehari-harinya tidur bersama-sama dengan teman-teman yang berjenis kelamin sama. Ruangan tidurnya memanjang dan tempat tidurnya ditata berjejeran seperti barak prajurit. Bisa dibayangkan ketika para santri tidur, penampakannya seperti ikan asin dijemur di tempat pelelangan ikan, hehehe.
Selain berkunjung ke asrama, kami dibawa berkeliling untuk melihat fasilitas pesantren. Aku dibikin kaget lagi ketika melihat ada pelbagai laboratorium lengkap untuk semua jurusan pelajaran, studio musik/band, dan terutama kantin. Mengapa kantin menjadi spesial? Sebab di “pesantren” seminari kami, tidak ada yang namanya kantin. Para seminaris (sebutan untuk santri Katolik) makan secara terjadwal tiga kali sehari dan dua kali snack di ruang makan besar yang disebut refter.
Omong-omong soal makan, ada cerita menarik yang ingin kuceritakan dari perjumpaan dengan santri di Ponpes Pabelan. Sebelum berkunjung ke Ponpes Pabelan, di kalangan para seminaris sedang muncul protes kecil-kecilan atas menu makanan yang dihidangkan di meja makan.
Kami tidak terima karena menu lauk favorit kami, ayam goreng, hanya disajikan dua minggu sekali. Selain itu lauk yang harus kami makan adalah tempe, tahu, telur, dan ikan. Kami sudah mencoba protes pada para pegawai dapur, kepala juru masak, hingga sampai ke telinga pastor yang mendampingi kami. Namun, tetap tidak ada perubahan.
Iseng-iseng aku dan teman-teman bertanya pada Mahmud, salah satu santri, “Mas, kalau di pesantren ini makanan kalian apa aja?” Mahmud menjawab, “Enak-enak kok, Mas. Kami banyak bergantung pada orang tua santri atau warga sekitar yang memberi sumbangan. Biasanya menu kami nasi dan sayur-sayuran. Lauknya tahu dan tempe. Paling mewah di sini kami makan ikan asin, Mas!” What? Lauk paling mewahnya ikan asin? Kami semua kaget!
Sebenarnya kami merasa kaget bercampur malu. Kami ternyata santri-santri Katolik yang kurang bersyukur. Sudah diberi menu ayam dua kali seminggu, masih protes saja. Sementara, para santri di Pabelan ini yang lauk paling mewahnya ikan asin, ternyata mampu mensyukuri makanan yang disediakan, betapapun sederhananya.
Kunjungan persahabatan itu ditutup dengan bermain bola voli bersama. Tak kami sangka mereka sungguh jago main voli. Kami harus mengakui kemenangan para santri cap ikan asin Pabelan yang hebat itu dalam pertandingan persahabatan bola voli. Kami pun makin kagum pada anak-anak muda calon ulama yang bersemangat ini.
Akhirnya waktu berkunjung pun usai. Kami pulang ke seminari dengan rasa gembira karena mendapat banyak pengalaman dan teman-teman baru. Satu pelajaran penting dari para santri yang kami bawa pulang adalah tentang mensyukuri apapun yang diberikan pada kami karena itu adalah anugerah Allah. Selain itu, menariknya, semenjak kunjungan ke Pesantren Pabelan, tidak pernah ada lagi protes atau keluhan atas makanan yang dihidangkan di meja makan seminari.