Ketika saya diberi kesempatan nderekke (mengantar) Kiai saya mengisi pengajian di berbagai daerah, Kiai saya yang hanya Kiai Kampung itu kerap menukil Alquran surat al-anbiyaa ayat 107 yang berbunyi wa maa arsalnaka illa rahmatan lil ‘alamiin: Kami (Allah) tidak mengutusmu (Muhammad) kecuali untuk menjadi rahmat bagi semesta.
Kadang pula ketika mengikuti pengajian di langgar (mushola) kampung, saya mendengar nadhir menyampaikan kisah-kisah kemuliaan akhlak Kanjeng Nabi Muhammad ketika memuliakan sesama manusia bahkan terhadap para pencaci dan pembencinya.
Tak jarang pula, usai mengikuti berjanjen (pembacaan al barzanji, kitab biografi Nabi Muhammad) atau peringatan Maulid Nabi dan hari-hari penting Islam lainnya, Kiai atau ulama bertutur tentang budi pekerti Nabi Muhammad yang lembut tutur katanya, halus perangainya namun tegas dalam melawan segala bentuk penindasan.
Belum lagi kepahlawanan Kanjeng Nabi Muhammad dalam soal menjaga toleransi, seperti yang termaktub dalam Shahifatul Madinah atau Piagam Madinah, sebuah dokumen agung yang disusun oleh Kanjeng Nabi Muhammad untuk memberikan perlindungan secara total kepada anggota berbagai suku dan pemeluk keyakinan atau agama yang berbeda yang saat itu tinggal srawung bersama di kota Madinah.
Dalam Islam, Ayat-ayat, hadis, hingga sejarah toleransi beragama tak kurang jumlahnya dan terus menerus didengungkan oleh begitu banyak kiai Kampung di kampung halaman saya. Meski kerap pula diisi dengan narasi tentang terminologi kafir, murtad dan sebagainya, tentu tidak dengan intonasi yang berapi-api yang cenderung provokatif dan memekakkan telinga.
Pendedahan narasi kafir disampaikan semata sebagai pengingat agar umat tetap eling identitas keislamannya, berkaca dan berbenah tentang keislaman yang ada dalam dirinya, bukan untuk menuding dan mencaci kelompok yang berbeda.
Persinggungan dengan kelompok yang berbeda agama sesekali baru bisa saya rasakan ketika ada forum lintas agama yang diadakan lembaga-lembaga atau organisasi sosial lintas iman, itu pun dalam ruang diskursus yang serba formal, penuh narasi intelektual dan tanya jawab yang serba akademik.
Saat nyantri di Wonosobo, Salatiga dan Kediri, masjid adalah rumah ibadah yang demikian meneduhkan dan memberikan ketenteraman secara ruhaniah. Tiap mendengar khotbah Jumat, hati terasa tenang meski tak jarang membikin kepala tertunduk-tunduk karena mengantuk, saking teduh dan tenteramnya narasi yang disampaikan para Kiai itu.
Di daerah-daerah itu, yang jauh dari ingar-bingar perkotaan dan gedung-gedung pencakar langit, serta jauh dari kehidupan masyarakat urban, justru mimbar-mimbar pengajian, majelis taklim dan panggung-panggung tradisi selawat Nabi diisi dengan ceramah teduh melalui narasi keagamaan yang dibungkus dengan wajah santun dan mendamaikan. Potret keagamaan berkelindan dengan akar kebudayaan yang berwarna dan penuh kegembiraan.
Sampai akhirnya nasib menuntun saya ke kota Bogor, kota yang berdasarkan hasil penelitian Setara Institute menempati posisi ke-7 sebagai kota paling intoleran di Indonesia.
Di kota Bogor, kota yang saya tempati hingga saat ini, mencari masjid dengan ceramah yang menenteramkan adalah tantangan yang cukup berat dan baru bagi saya. Khutbah-khutbah Jumat kerap didengungkan dengan narasi kebencian terhadap yang berbeda. Padahal, masyarakatnya jauh lebih beragam dari masyarakat di kampung halaman saya yang sangat homogen.
Meski saya agak beruntung karena bergabung dengan komunitas Gusdurian kota Bogor. Komunitas yang memberi saya ruang cukup intens untuk berinteraksi dengan agama yang berbeda, tak jarang kami menggelar acara bersama di berbagai rumah ibadah, dari gereja Katedral hingga Kang Miao, rumah ibadah Konghucu.
Agaknya, tingginya angka intoleransi justru menjadi Kawah Candradimuka bagi pentingnya menanamkan nilai-nilai toleran di tengah masyarakat yang beragam.
Dalam konteks perjuangan menggemakan nilai toleransi beragama, menyelam dalam kawah yang penuh dengan intoleransi adalah training centre tempat kita menempa diri. Sepanjang kita konsisten, istiqomah menebar pesan-pesan cinta dan perdamaian, kita masih memiliki kesempatan untuk berbenah dari segala bentuk kebencian.
Di kota ini, barangkali saya kesulitan mencari masjid yang meneduhkan. Tapi di kota ini, saya justru menemukan ruang interaksi yang sangat terbuka dengan mereka yang berbeda. Di tempat saya kerja misalnya, saya bertatap muka, menyapa dan srawung dengan kawan-kawan sekantor saya yang berbeda agama dan keyakinannya.
Segala dawuh kiai saya tentang konsep rahmatan lil ‘alamin rupanya demikian indah tatkala saya memiliki kesempatan untuk benar-benar mempraktekkannya dalam kehidupan sosial saya sehari-hari.
Maka ketika beberapa waktu lalu kantor saya mendekorasi ruangan menyambut Natal, tanpa ragu saya ikut memasang pohon natal beserta segala pernak-pernik hiasan yang melengkapi keindahannya. Ada kegembiraan yang luar biasa ketika kita mampu terlibat dalam merayakan kebahagiaan orang lain.
Sekalipun seorang kawan bertanya ragu “Kamu kan muslim, kok menghias pohon Natal?”, saya dengan tanpa keraguan sedikit pun menjawabnya dengan seloroh “Iman saya takkan runtuh hanya karena seonggok pohon natal”.
Kalau diberi kesempatan untuk melanjutkan kalimat saya itu dengan agak panjang, saya akan dengan senang hati mengatakan: yang membuat iman kita runtuh sejatinya adalah ketika kita berduka, bahkan membenci penganut agama lain merayakan kegembiraannya, dan berbahagia ketika melihat orang lain terluka. Kekuatan iman kita justru terletak pada bagaimana kita memperlakukan dan menghargai sesama manusia, tak pandang agama dan identitas mereka. Kekuatan iman tidak terlekat pada kebencian, tapi pada rahmah (cinta) yang terus digelorakan.
Selamat Natal untuk kawan-kawan Kristiani!
*Santri Abadi, Pegiat GUSDURian, Pengaji Kebudayaan