Setelah Kanjeng Nabi Muhammad SAW wafat, beberapa sahabat menyebar ke luar wilayah Makkah dan Madinah. Hal ini menjadi salah satu sebab masalah baru bermunculan dan harus dijawab dengan pendekatan syariah.
Merekapun ditanya mengenai problematika oleh masyarakat. Setiap orang dari sahabat menjawab sesuai dengan apa yang diingatnya atau berdasarkan istimbat-nya (kesimpulan hukum yang ia buat).
Apabila tidak menemukan jawaban dalam ingatan atau istinbat yang pantas digunakan sebagai jawaban, maka sahabat berusaha berijtihad dan memahami ‘illah (alasan) yang dijadikan Kanjeng Nabi Muhammad sebagai dasar penetapan dalam hukum-hukumnya.
Oleh karena itu, keputusan hukum diambil ketika berhasil menemukan ‘illah-nya dan tidak mengabaikan usaha untuk menyesuaikan dengan tujuan beliau (dalam menetapkan hukum).
Terjadinya perbedaan pendapat di antara sahabat disebabkan beberapa faktor, di antaranya: Pertama salah seorang sahabat mendengar satu keputusan hukum atau fatwa dari Nabi, tetapi sahabat lain tidak mendengarnya sehingga ia berusaha berijtihad dalam masalah itu. Realita ini mempunyai beberapa bentuk:
Terkadang ijtihadnya bertepatan dengan hadis, misalnya, riwayat yang berasal dari Ibnu Mas’ud RA bahwa dirinya ditanya tentang wanita yang ditinggal mati suaminya. Tetapi belum ditentukan besarnya mahar baginya, kemudian ia berkata, “Aku belum pernah melihat Rasulullah SAW menetapkan (hukum) dalam kasus tersebut.”
Orang-orang mendatangi Ibnu Mas’ud selama sebulan dan memaksanya untuk mengeluarkan pendapat. Maka Ibnu Mas’ud berijtihad dengan pendapatnya dan memutuskan bahwa baginya (istri yang ditinggal mati suami yang belum ditentukan maharnya) menerima mahar sebesar mahar istri-istri lainnya, tidak kurang ataupun lebih, ia harus melewati masa iddah dan mendapatkan hak waris.
Beberapa waktu setelah Ibnu Mas’ud membuat keputusan, Ma’qal bin Yasar Ra. bersaksi bahwa Rasulullah SAW telah menetapkan hukum dengan keputusan yang sama dengan Ibnu Mas’ud pada seorang wanita dari kalangan mereka. Ibnu Mas’ud sangat bergembira dengan kegembiraan yang tidak pernah ia rasakan sejak masuk Islam.
Selain itu bisa jadi perbedaan terjadi karena perbedaan argumentasi antara dua sahabat. Misalnya apabila terjadi adu argumen antar sahabat kemudian datang hadits yang menampakkan sisi persangkaan yang lebih kuat darir riwayat yang lain. Kasus sepert ini pernah terjadi pada Abu Hurairah Ra.
Menurut Abu Hurairah, seseorang yang bangun tidur dalam keadaan junub, maka ia tidak boleh berpuasa. Sampai akhirnya, sebagian istri Nabi SAW memberitahukan riwayat yang berbeda dengan pendapat Abu Hurairah. Maka Abu Hurairah mengurungkan pendapatnya.
Terkadang juga ada sebuah hadis yang sampai kepada seorang sahabat, tetapi tidak menempati sisi persangkaan yang kuat. Dalam kondisi seperti ini sahabat itu tidak mau meninggalkan ijtihadnya, justru mempermasalahkan (mempertanyakan) hadis tersebut.
Misalnya, Fatimah binti Qais bersaksi di hadapan Umar bin Khattab RA, bahwa ia telah ditalak tiga kali. Rasulullah SAW tidak memberikan hak nafkah dan hak tinggal padanya. Oleh karena itu, ia (Umar) menolak persaksiannya itu seraya berkata, “Kami tidak akan meninggalkan Kitabullah dengan sebab perkataan seorang wanita yang kami tidak ketahui apakah ia jujur atau berdusta.” Oleh karena itu, Aisyah RA berkata, “Wahai Fatimah, takutlah kepada Allah! (Maksudnya dalam pernyataannya, ‘tidak ada hak tinggal dan hak menerima nafkah.’)
Hadis tidak sampai kepada salah seorang sahabat sama sekali. Misalnya, Ibnu Umar, dahulu memerintahkan para istrinya ketika akan mandi agar melepaskan gelungan rambut. Aisyah RA. mendengarmya dan berkomentar, “Aneh, Ibnu Umar memerintahkan para wanita untuk melepaskan gelungan rambutnya? Apakah ia tidak memerintahkan mereka untuk menggunduli kepala mereka sekalian? Aku pernah mandi bersama Rasulullah Saw dalam satu bejana, dan aku tidak melakukan, kecuali mengguyurkan air tiga kali.
Kedua, Mereka melihat Rasulullah Saw mengerjakan suatu tindakan, sebagian sahabat menafsirkannya sebagai tindakan qurbah (ibadah), sedangkan sebagian yang lain menyimpulkannya sebagai tindakan mubah (biasa). Contohnya, para sahabat melihat Nabi Shallalahu Alaihi wa Sallam melakukan lari-lari kecil saat thawaf.
Oleh karena itu, mayoritas mereka berpendapat hal tersebut adalah sunnah dalam tawaf. Sedangkan Ibnu Abbas, mengintepretasikan tindakan beliau sebagai kebetulan karena ada motivasi yang muncul, yaitu ucapan kaum musyrikin, “Mereka telah dibinasakan oleh flu Yatsrib, jadi bukan sunnah.”
Ketiga, perbedaan prasangka. Misalnya, Rasulullah SAW mengerjakan ibadah haji dan orang-orang menyaksikannya. Sebagian berpendapat bahwa beliau mengerjakan ibadah haji secara tamattu’, sementara sebagian yang lain menganggapnya mengerjakan ibadah haji secara qiran. Sebagian lain menyangka beliau mengerjakan ibadah haji secara ifrad.
Keempat, faktor lupa dan kelalaian. Misalnya, seperti yang diriwayatkan bahwa Ibnu Umar berkata, Rasulullah mengerjakan umrah di bulan Rajab. Aisyah mendengarnya dan menilai bahwa ia lupa. Kelima, Perbedaan kekuatan hafalan. Misalnya, Ibnu Umar meriwayatkan dari Nabi SAW, “Sesungguhnya mayat disiksa karena tangisan keluarganya.”
Aisyah menilai bahwa ia telah mengalami kekeliruan dalam mengambil hadis yang berbunyi, Rasulullah melewati seorang wanita Yahudi yang ditangisi oleh keluarganya, maka beliau berkata, “Sesungguhnya mereka menangisinya dan sungguh ia disiksa di kuburnya.” la mengira bahwa siksa disebabkan oleh tangisan (keluarganya tersebut) dan menganggap hukum ini umum bagi setiap mayat.
Keenam, Perbedaan penyebab penetapan suatu hukum. Contohnya, berdiri untuk jenazah yang sedang lewat. Ada yang mengatakan bahwa penyebabnya adalah penghormatan para malaikat, sehingga sikap tersebut mencakup jenazah yang mukmin ataupun kafir. Sementara ada ulama yang menjelaskan bahwa hal tersebut karena dahsyatnya kematian sehingga penghormatan mencakup mukmin dan kafir. Ada lagi yang mengatakan bahwa Rasulullah melewati jenazah Yahudi, maka beliau berdiri karena tidak menginginkan posisi mayat tersebut lebih tinggi di atas kepala beliau, sehingga hukum ini khusus bagi orang kafir saja.
Ketujuh, perbedaan cara mengkompromikan dua riwayat yang berbeda. Contohnya, Rasulullah melarang menghadap kiblat ketika membuang hajat. Sebagian ulama berpendapat dengan keumuman hukum ini dan tidak dimansukh.
Wallahu A’lam.