“Panas”, mungkin itu kata yang cocok disematkan untuk kondisi Indonesia yang sedang menghadapi musim politik seperti saat ini. Sebuah kondisi di mana hampir semua orang, baik yang awam maupun ilmuwan, di medsos ataupun di dunia nyata, sibuk membahas tentang siapa nantinya yang akan menjadi pemimpin Indonesia.
Bahkan tidak jarang sebagian mereka yang dianggap ulama pun juga ikut andil dalam persoalan ini. Mereka dengan berbagai macam latar belakang dan keilmuannya, masing-masing memberikan pemahaman kepada masyarakat terkait kriteria seseorang yang pantas dijadikan sebagai pemimpin atau presiden Indonesia untuk lima tahun ke depan.
Akan tetapi sangat disayangkan di balik hingar-bingar dunia perpolitikan tersebut, terdapat sebuah masalah besar yang sedang dihadapi oleh bangsa Indonesia umumnya dan umat Islam khususnya, yaitu hilangnya rasa persaudaraan di antara mereka yang mempunyai pandangan politik yang berbeda.
Hal itu ditandai dengan tersebarnya berbagai macam ujaran kebencian serta makian terhadap kalangan yang dianggap tidak sepandangan dengan mereka dalam mendukung jagoannya. Bahkan tidak jarang label-label buruk seperti “munafik”, “cebong”, “sapi”, “kampret” dan lain-lain tersebar dan diarahkan kepada lawan bicara yang berseberangan tersebut.
Hal ini tentu membuat miris dan sudah selayaknya menjadi perhatian kita bersama sebagai sebuah bangsa yang beradab dan umat yang berakhlak untuk menanggulanginya. Memang benar, Islam mengatur segala hal terkait dengan kehidupan manusia, termasuk dalam memilih pemimpin.
Namun bukan berarti seseorang dibenarkan untuk mempolitisasi agama hanya demi mewujudkan ambisi dan tujuan golongannya semata. Bukankah semua mereka yang dicalonkan adalah anak-anak terbaik bangsa yang mempunyai jiwa keagamaan dan kebangsaan yang tinggi terhadap agama dan Indonesia? Lantas kalau jawabannya iya, kenapa harus disikapi secara berlebihan?
Kasus serupa sebenarnya juga pernah terjadi di era sahabat beberapa ratus tahun yang lalu. Tentunya tidak asing di telinga kita adanya pertikaian di antara beberapa sahabat terkait persoalan politik yang ada di masa mereka. Sebut saja misalnya perselisihan antara Saydina Ali ibn Abi Thalib dengan Sayyidah Aisyah yang akhirnya mengakibatkan meletusnya perang Jamal pada tahun ke-35 hijriah.
Begitu juga dengan perselisihan yang terjadi antara Saydina Ali dengan Muawiyah ibn Abi Sufyan yang melatari terjadinya perperangan Shiffin pada tahun ke-37 hijriah. Kedua perselisihan itu merupakan bukti nyata kalau perbedaan pandangan politik adalah hal yang biasa terjadi.
Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana cara menyikapi perbedaan di antara mereka yang berbeda dalam pandangan politiknya? Seperti yang sudah saya garisbawahi di atas bahwa perbedaan pandangan politik di Indonesia saat ini tidak hanya melibatkan orang awam saja, tapi juga mereka yang dipandang sebagai ulama oleh masyarakat, sehingga dalam hal ini, satu-satunya sikap yang harus diambil adalah sama seperti kita menyikapi perbedaan yang terjadi di kalangan sahabat tadi.
Mayoritas ulama Ahlussunnah wal Jamaah bersikap moderat terhadap mereka, dalam artian menempatkan perbedaan tersebut sebagai hasil ijtihad politik mereka yang sama-sama mempunyai nilai kebenarannya masing-masing.
Ibnu Ruslan dalam karyanya yang populer Matan al-Zubad menyatakan, “Apa yang terjadi di antara sahabat-sahabat Nabi kita diamkan (tidak ditanggapi secara berlebihan). Akan tetapi pahala ijtihad tetap kita nisbatkan kepada masing-masing di antara mereka”.
Namun tetap harus diakui bahwa pada saat itu ada juga segelintir umat Islam, yaitu golongan Khawarij, yang membenci kedua belah pihak. Bahkan mereka mencap seluruh sahabat yang berselisih dalam perperangan Shiffin adalah kafir dengan alasan mereka tidak berhukum dengan hukum Allah.
Tapi pendapat ini marjuh (lemah) sehingga akhirnya tertolak, karena terlalu mudah dalam mengkafirkan seseorang.
Dalam sebuah hadis sahih riwayat Abu Daud juga disebutkan bahwa jika seorang mujtahid berijtihad dan ijtihadnya sesuai dengan apa yang Allah kehendaki, maka ia memperoleh dua pahala.
Sementara itu jika keliru atau tidak sesuai, maka ia tetap mendapat satu pahala. Sehingga dalam kasus perselisihan antar sahahat dalam perang Jamal ataupun Shiffin di atas, masing-masing berada dalam kebenaran yang sama. Kita tidak berhak mengadili salah satu di antara mereka dengan salah dan benar karena sejatinya itu semua adalah hasil ijtihad mereka.
Jika untuk kasus yang besar saja kita masih bisa berhusnuzan kepada pelakunya, lantas tidak malukah kita nantinya sebagai umat Islam Indonesia harus terpecah belah dan bahkan hancur sama sekali hanya karena kasus kecil seperti pemilu presiden Indonesia ini?
Selengkapnya, klik di sini