Puisi dan kepenyairan adalah tema yang sering absen dari perbincangan publik di Indonesia. Beberapa tahun silam, nama penyair Sitok Srengenge memang pernah menghiasi kolom headline di sejumlah media arus utama. Namun, sayangnya yang dibahas di situ bukanlah karya-karyanya. Melainkan kasus pemerkosaan terhadap seorang mahasiswi sastra.
Itulah kenapa, riuhnya pembicaraan publik terhadap kelahiran buku kumpulan puisi Poempm karya Putri Marino beberapa waktu lalu terdengar istimewa. Warganet ramai-ramai membicarakannya, hingga tema itu sempat menjadi trending topic di Twitter.
Sebagian warganet merisak puisi Putri secara habis-habisan. Mereka menganggap apa yang disebut sebagai puisi oleh Putri, sebenarnya tak lebih dari kumpulan sampah yang akan lebih baik jika tak pernah ada.
Sementara sebagian warganet lainnya, membela Putri dengan cara yang tak kalah luar biasa seriusnya. Mereka berdalih, bahwa sebuah karya seni adalah sebuah bentuk ekspresi diri, dan karena itu, tak selayaknya dicap secara semena-mena dengan label benar, salah, bagus, atau buruk. Menurut mereka, semua karya seni adalah benar. Namun, apakah memang begitu?
Bahwa karya seni adalah sebuah bentuk ekspresi diri, itu memang benar. Namun, satu hal yang juga perlu diingat, bahwa ketika sebuah karya sudah dilempar ke publik, maka karya itu sudah menjadi milik publik. Dan, satu-satunya pihak yang berhak menjustifikasi sebuah karya seni publik, adalah publik itu sendiri. Ketika teks terlahir, pengarang sudah mati, begitu yang dibilang Roland Barthes.
Jadi, ketika Putri Marino memutuskan untuk menuliskan rangkaian kata-kata yang disebutnya sebagai puisi itu, untuk kemudian menerbitkannya menjadi sebuah buku, di titik itulah Putri Marino telah “mati”. Dia tak lagi memiliki otoritas terhadap cara penafsiran dan pembacaan terhadap karyanya. Teks yang dia tulis telah menjadi makhluk tersendiri, yang terpisah dari dirinya, yang menjalani kehidupan dan nasibnya sendiri.
Hingga pada akhirnya, publik (yang dalam kasus ini adalah Warganet yang Maha Kuasa, yang seringkali punya banyak waktu luang buat saling menyerang, berghibah, dan mengomentari segala hal) yang akan menentukan, tulisan-tulisan itu layak disebut puisi atau tidak? Jika memang layak, akan muncul pertanyaan baru, puisinya pantas disebut bagus atau tidak?
Lalu, apakah ada sebuah karya (yang disebut-sebut sebagai bentuk ekspresi diri itu) yang boleh disebut sebagai karya buruk? Tentu saja ada. Kalau tidak ada karya bagus dan karya buruk, lalu untuk apa ada anugerah karya terbaik di semua bidang seni? Untuk apa ada anugerah karya sastra terbaik, karya musik terbaik, karya film terbaik, dan sebagainya?
Jika semua karya seni layak diberi permakluman hanya karena karya itu adalah bentuk ekspresi diri, dan karena itu tak seharusnya dilabeli sebagai karya buruk atau tak buruk, bubarkan saja segala macam institusi yang gemar membuat penghargaan-penghargaan itu.
Semua orang punya hak untuk mengekspresikan diri, tentu saja. Seorang lelaki yang sedang bahagia karena pernyataan cintanya diterima oleh seorang perempuan yang sudah lama diincarnya, boleh-boleh saja menyenandungkan lagu-lagu cinta kegemarannya.
Namun, ketika lagu-lagu itu disenandungkan keras-keras sambil menari-nari di pinggir jalan sambil meminta orang menyumbang recehan, padahal sebenarnya suaranya sumbang dan mengganggu indra pendengaran, publik yang ada di situ punya hak untuk menegurnya, atau paling tidak, punya hak untuk malas mengeluarkan uang dari dompetnya.
Itulah gambaran “seni sebagai sebuah bentuk ekspresi diri” dengan “karya seni publik”. Sebagian warganet yang membela Putri juga membawa-bawa masalah selera. Menurut mereka, selera masing-masing orang berbeda, dan karena itu, kita tak boleh menghakimi sesuka hati.
https://www.instagram.com/p/B6zRx6VAJgw/
Kita harus belajar memahami, bahwa selera adalah hasil konstruksi. Saat SMP dulu, saya punya seorang kawan lelaki. Suatu ketika, dia pernah berkata, bahwa seorang siswi SMA kakak perempuan salah satu kawan kami, adalah perempuan tercantik di dunia. Ketika itu, kami tertawa-tawa, sambil saya diam-diam mengamininya. Perempuan itu memang tampak cantik luar biasa. Ketika itu.
Namun, tahun demi tahun berganti. Kami sama-sama menua. Saat bertemu dengan kawan saya itu beberapa waktu lalu, saya sempat menyinggung apa yang pernah diucapkannya. Dan, sekali lagi, kami kembali tertawa-tawa.
Kali ini, kami menyadari ketololan kami. Pada akhirnya kami tersadar, persepsi kami lahir, karena ketika itu, kami tak lebih dari begundal ingusan yang belum melihat perempuan-perempuan cantik lain yang banyak berkeliaran di muka bumi.
Dengan cara semacam itulah, selera tercipta. Selera bukan lahir dari ruang yang kosong sama sekali, melainkan dari rangkaian pembelajaran dan pengalaman, yang bisa dibentuk, dilatih, dan diperbarui.
Begitu juga halnya jika kita membaca karya sastra hanya dari cerpen-cerpen di koran Kompas. Mungkin kita akan terbuai dengan kalimat berbunga-bunga tentang kunang-kunang atau senja yang dituliskan Agus Noor atau Seno Gumira Ajidarma. Di otak kita, akan tertanam bahwa karya sastra yang bagus adalah karya sastra yang melulu seperti itu. Penuh dengan kata-kata indah yang berbelit-belit dan diperumit.
Padahal, ketika kita membaca karya-karya penulis sastra besar dunia, kita akan tahu, bahwa karya sastra yang bagus tak harus yang seperti itu. Bisa jadi, ketika kita mulai membuka diri dengan membaca karya-karya pemenang Nobel Sastra, apa yang kita sebut sebagai “seleraku” itu menjadi berubah. Karya yang dulu kita tahbiskan sebagai karya sastra paling aduhai sedunia, bisa- tiba-tiba menjadi karya yang biasa-biasa saja, atau malah menjadi tampak buruk.
Untuk itulah, kita tak seharusnya memakai “selera” sebagai sebuah bentuk permakluman saat menilai sebuah karya.
Lalu, apakah sebuah karya bisa disebut salah? Pertanyaan ini sempat muncul dalam diskusi buku Dialektika Seni: Esai-esai Ekstra Estetik karya kawan saya yang kini menjadi dosen ISBI Sulsel, Damar Tri Afrianto, beberapa waktu lalu.
Tentu saja hal ini tergantung bentuk karya seninya. Ketika seorang pelukis membuat lukisan matahari berwarna hijau, tentu saja kita tak bisa melabelinya dengan kata salah, meski kita tahu, matahari tak pernah berwarna hijau. Mungkin, warna itu dipilih si pelukis memang dengan maksud tertentu, atau untuk menimbulkan efek tertentu yang kita belum tahu.
Namun, seseorang bisa saja menyebut film Bumi Manusia karya Hanung Bramantyo sebagai sebuah karya yang keliru. Dengan asumsi, Hanung tak memahami esensi yang ingin disuarakan Pramoedya Ananta Toer di novel Bumi Manusia yang ditulisnya. Hanung boleh saja dianggap salah, karena telah ngawur mengubah semangat pemberontakan yang disuarakan Pram, menjadi sekadar kisah cinta sejoli remaja yang mengharu biru dan penuh air mata.
Lalu, sampai di titik ini, apakah tulisan-tulisan Putri Marino yang disebutnya sebagai puisi itu adalah karya yang bagus, buruk, benar, atau salah? Tentu saja, itu tergantung kita sebagai publik yang menilainya.
Masing-masing dari kita yang mengolok-oloknya atau memberikan puja-puji setinggi-tingginya, bisa dan boleh memperdebatkannya. Asalkan, tak lagi membawa-bawa soal selera. Karena, kalau sampai di titik itu, buat apa lagi ada perdebatan?
Cuma, kalau menurut saya, sebaiknya masing-masing orang itu bisa memahami potensi dan kapasitas pribadinya. Putri Marino itu aktris yang lumayan menjanjikan. Waktu saya menontonnya berperan sebagai Lala di film Posesif, saya sudah membayangkan, bahwa dia akan menjadi salah satu aktris yang membanggakan di masa depan.
Kita seharusnya paham, bahwa masing-masing orang punya kapasitasnya sendiri-sendiri di muka bumi ini. Ada yang terlahir untuk menjadi seorang penyair, ada yang terlahir untuk menjadi seorang polisi, ada yang terlahir untuk menjadi seorang badut, ada yang terlahir untuk menjadi seorang gubernur.
Meski tak tertutup kemungkinan, ada pula orang-orang multitalenta yang mampu memainkan peran ganda, menjadi seorang badut sekaligus menjadi seorang gubernur, misalnya.
Tapi, bukankah manusia seajaib itu, jumlahnya tak banyak?