Ketika Perempuan Tak Solider Terhadap Sesamanya

Ketika Perempuan Tak Solider Terhadap Sesamanya

Ketika Perempuan Tak Solider Terhadap Sesamanya

Sabtu lalu, saya berkesempatan hadir dalam forum kebinekaan yang diselenggarakan oleh komunitas lintas generasi di Jakarta. Tema yang dibahas pun beragam, dari keragaman kuliner lokal hingga isu politik terkini.

Di antara riuh pembahasan tema-tema menarik tadi, seorang laki-laki muda mengajukan pernyataan sekaligus pernyataan menarik, kurang lebih seperti ini, “Tadi dibilang bahwa Kartini menyuarakan isu kesetaraan gender, nah sekarang saya melihat ladies parking atau gerbong kereta khusus perempuan itu jadi aneh. Bukannya hal itu malah justru memojokkan perempuan, semacam menunjukkan kekurangan perempuan, dan mereka perlu diistimewakan?”

Mendengar apa yang diutarakan si mas tadi, saya kemudian tertegun lama. Kembali teringat pertanyaan teman yang bernada sama, “Kadang aku bingung lho problem utama kesetaraan gender di Indonesia itu apa sih? Nggak usah lah nyalahin bapak-bapak mulu. Malah aku melihat sesama perempuan sendiri itu lebih tega.”

Tak lama, ia melanjutkan, “Lihatlah gerbong khusus perempuan, kadang sesama perempuan malah nggak mau ngalah lho. Kemarin tuh, ada teman kita yang lagi hamil dan kesulitan cari tempat duduk. Berulang kali mencoba minta sambil nunjuk logo perempuan hamil, setelah beberapa kali didiemin, baru deh dia dapat. Itu pun orang yang ngasih, agak nggak rela sambil bersungut-sungut gitu.”

Cerita gerbong perempuan tadi hanyalah secuil dari ratusan cerita yang menggambarkan bahwa PR menyuarakan perjuangan hak-hak perempuan berada di kalangan internal perempuan itu sendiri. Selain ‘beringas’nya perempuan di gerbong kereta, saya kemarin juga dibuat terhenyak oleh sebuah foto pencambukan perempuan di Aceh yang ditonton dan diabadikan oleh para perempuan di garis terdepan.

Ibaratnya, perempuan penerima hukuman cambuk ini sudah jatuh, tertimpa tangga, dipermalukan pula! Lengkap sudah penderitaannya. Belum lagi, omongan tetangga dan sesama perempuan yang terkadang lebih tajam dari ujung pisau, sehingga harapan untuk menjadi lebih baik kadang terkikis oleh sentimen negatif tersebut.

Bila ada yang menyatakan, hukuman seperti ini akan menimbulkan efek jera. Hal itu sedikit bisa dibenarkan, tapi apakah hanya berhenti di tahap itu saja? Tidak adakah langkah pemberdayaan bagi mereka setelah menyelesaikan hukuman? Apakah ada kelompok perempuan yang kemudian berani merangkul mereka kemudian memotivasi mereka untuk menjadi lebih baik ke depannya? Saya pikir manusia adalah tempat salah dan lupa, dan ketika Allah saja memaafkan hamba-Nya, kenapa kita yang manusia seringkali justru fokus pada kealfaan masa lalu?

Urusan gerbong kereta pun tampaknya sangat sepele ketika mengungkap fakta bahwa kaum perempuan masih punya tugas untuk lebih toleran pada sesamanya. Apalagi kalau sudah berkaitan dengan kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) hingga urusan pelakor.

Kebanyakan perempuan seringkali melihat laki-laki atau pasangannya bagaikan sebuah properti. Ketika pihak pria ini ketahuan selingkuh atau berpaling ke perempuan lain, tersangka utamanya akan disematkan ke pihak perempuan selingkuhannya. Ia dianggap telah mencuri si laki-laki dari pemilik awal.

Padahal menjalin sebuah hubungan adalah pilihan. Jadi, kedua pihak lah yang memutuskan. Dan tentu keduanya bersalah. Kelirunya, perempuan melihat laki-laki seolah pasif dan cenderung menuding bahwa semua kesalahan tertuju pada perempuan lain, bukan pada pasangannya.

Di sisi lain, gosip-gosip para emak sering menuduh penyebab terjadinya perselingkuhan pun seolah-seolah semua salah perempuan. Si perempuan atau istri kurang bisa maksimal melayani suami, dari yang tidak bisa memuaskan suami di ranjang hingga kurang bisa dandan. Intinya perempuan memang layak untuk jadi ‘kambing hitam’ pada semua persoalan oleh para perempuan sendiri.

Dari beragam cerita ini, saya pun kemudian menarik kesimpulan bahwa sembari kita meminta para bapak untuk menghormati dan memberikan kesempatan yang lebih luas bagi perempuan untuk menjadi cerdas seperti Aisyah R.A ataupun menjadi pengusaha dermawan layaknya Khadijah R.A., perempuan-perempuan sendiri justru perlu menginstropeksi diri untuk lebih menghargai sesama dan saling mendukung satu sama lain.

Bukan hanya semangat berjamaah saat mem-bully dan mencemooh perempuan lain. Bukankah kita belum maju bila kita sendiri tidak mampu menghargai sesama kita? Yuk, perempuan Indonesia, kita bisa jauh lebih baik dari sekarang!

Wallahu a’lam.