Belakangan ini banyak selebritis yang mengatakan bahwa mereka sedang berhijrah. Menurut mereka, “hijrah” adalah sebuah peralihan dari kehidupan sebelumnya yang penuh dosa, berpakaian terbuka bahkan seksi dan hanya sedikit beribadah, menuju insan yang taat kepada agama, beribadah dengan rajin dan tentunya berpakaian “islami”. Lebih khusus, bagi seleb perempuan, berhijrah berarti merubah busana mereka. Mereka mulai berpakaian tertutup dan berhijab.
Bagi mereka, kehidupan sebelumnya (dunia selebritis) penuh dengan murka tuhan, hidup penuh kebebasan dan tak pernah ingat dengan tuhan. Mereka menyesali kehidupan sebelumnya yang sangat jauh dari ketentuan syari’ah islam. Mereka kemudian mengikuti kegiatan ceramah-ceramah agama di perkotaan yang banyak menawarkan ajakan untuk banyak warga perkotaan, termasuk juga para seleb yang berhijrah ini untuk lebih mengenal agamanya.
Bagi para selebritis ini, sebenarnya berhijrah tak hanya mendatangkan pahala besar, akan tetapi juga mendatangkan keuntungan finansial besar. Bagaimana tidak, para selebritis yang telah berhijrah bukan malah semakin kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan di dunia aktris. Akan tetapi, banyak diantara mereka ketika telah berhijrah, malah banyak mendatangkan pekerjaan baru dari program televisi maupun iklan produk kecantikan dan makanan dengan kemasan islami.
Ketika berhijrah juga mendatangkan pundi-pundi penghasilan, dari situ berarti beragama juga mendatangkan sebuah kenikmatan. Siapa tidak merasa nikmat jika dengan beragama juga mendatangkan uang dalam jumlah yang besar. Mereka sembari menikmati kemesraan dengan kehidupan penuh ridha agama juga masih tidak kehilangan dunia (uang). Mereka bisa sangat menikmati ketika setelah beribadah, juga masih bisa berbelanja barang-barang mewah yang islami di Mall dalam negeri ataupun di luar negeri.
Istilah kenikmatan dalam beragama banyak dijelaskan oleh Prof. Ariel Heryanto dalam bukunya yang berjudul Identitas dan Kenikmatan (2016). Prof. Ariel merujuk kepada fenomena budaya populer kontemporer tanah air yang banyak mengalami islamisasi. Melalui boomingnya film-film bergenre Islam di kancah para penikmat layar lebar tanah air, Prof. Ariel melihat, ternyata banyak kalangan muslim kelas menengah tanah air yang begitu sangat menikmati film keislaman yang diproduksi dalam produksi yang berorientasi profit. Bagi muslim tanah air, Islam yang dilayarkacakan bukan malah megalami penolakan dan benturan budaya terhadap sebuah film produk sekuler tersebut. Akan tetapi, kalangan muslim kelas menengah malah menikmatinya dengan khidmat.
Kembali kepada pembahasan hijrahnya para selebritis. Bagi para selebritis dan begitu juga bagi para konsumen film-film bergenre Islami di layar kaca, Islam dimaknai sebagai budaya konsumsi semata. Sebagaimana penikmat film bergenre Islami, bagi para selebritis yang telah berhijrah ini agama dinikmati sebagaimana mengkonsumsi produk-produk pakaian modern lainnya yang serba mewah. Islam bukan dimaknai sebagai pendalaman spiritual dan batiniyah sebagaimana yang banyak dilakukan para sufi. Akan tetapi berislam diukur dari seberapa jauh mendapatkan profit, dan dijadikan alat untuk mendapatkan kenikmatan finansial.
Islam sebagai agama yang banyak dianut oleh banyak umat manusia sering dimanfaatkan untuk mencari keuntungan-keuntungan pihak tertentu. Sebagaimana Islam sering digunakan oleh banyak politisi untuk menarik calon pemilihnya. Agama di tangan kapitalis dimanfaatkan untuk mendatangkan keuntungan bisnis yang besar. Dan dari situlah para selebritis yang berhijrah menikmatinya. Ketika para pebisnis melihat besarnya konsumen muslim yang membutuhkan produk-produk yang serba islami, para selebritis yang berhijrah ini menjadi endorsement iklannya. Fenomena tersebut kini terjadi bukan?
M. Fakhru Riza, Penulis adalah pegiat di Islami Institute Jogja.