Bagaimana sih tren baru terorisme atau ekstremisme ketika melibatkan perempuan dan anak? Hal ini yang diresahkan oleh para aktivis dan peneliti yang tergabung dalam jaringan Working Group on Women and Preventing/Countering Violent Extremism (WGWC), sebuah jaringan masyarakat sipil dari berbagai organisasi yang bekerja menangani isu perempuan, terorisme dan kekerasan ekstrimisme. Mereka berkumpul dan mengadakan pertemuan nasional bertajuk “Perempuan dan Pencegahan Ekstrimisme: Membaca Tren Baru” di Jakarta (10/03). Kegiatan ini menghadirkan para pakar dan penggiat isu perdamaian dari kalangan praktisi, akademisi, ormas keagamaan, dan pengambil kebijakan.
“Persoalan perempuan dan anak-anak dalam ekstrimisme kekerasan menjadi salah satu isu yang mengkhawatirkan dan perlu mendapatkan perhatian serius dari berbagai pihak,” ucap Riri Khariroh, anggota Steering Committee WGWC yang merupakan mantan Komisioner Komnas Perempuan periode 2015-2019.
Riri juga mengatakan, peran perempuan yang cukup kompleks baik sebagai pendukung, pendidik generasi jihadis baru, perekrut, penggalang dana, pelaku, dan juga agen perdamaian haruslah dilihat dengan menggunakan perspektif gender yang baik, agar relasi kuasa dalam isu kekerasan ekstrimisme dapat terkuak.
Isu lainnya yang yang dibicarakan adalah pro-kontra mengenai pemulangan Warga Negara Indonesia (WNI) eks-ISIS yang terlibat dalam konflik di Suriah dan Irak. Merespon hal tersebut, Taufik Andrie, Direktur Yayasan Prasasti Perdamaian (YPP) memberikan perspektif bagaimana seharusnya isu pemulangan eks ISIS perlu adanya roadmap yang cukup jelas, melibatkan banyak pihak baik dari pemerintah maupun masyarakat sipil, utamanya dalam tahapan rehabilitasi dan reintegrasi. Berkaca dari kasus pemulangan returni dan deportan pada tahun 2017, dim ana proses rehabilitasi dan reintegrasi belum berjalan dengan baik.
Terkait kebijakan, Mira Kusumarini, Direktur Eksekutif C-SAVE (Civil Society Against Violent Extremism) menyampaikan bahwa Undang-Undang No. 5 Tahun 2018 tentang penanganan tindak pidana terorisme telah disahkan dan mengakomodir kebutuhan pencegahan, penegakkan hukum, perlindungan korban dan aparat penegak hukum. Peraturan Pemerintah No. 77 Tahun 2019 sebagai produk hukum turunan UU No. 5 tahun 2018 telah pula disahkan menjabarkan teknis pelaksanaan upaya-upaya pencegahan tindak pidana terorisme termasuk kesiapsiagaan nasional, kontra radikalisasi dan deradikalisasi.
Mira jgua menyebutkan, n dalam Pasal 43D ayat 2 huruf f UU No. 5 Tahun 2018 memandatkan orang atau kelompok orang yang telah memiliki paham radikal terorisme dan berpotensi melakukan tindak pidana terorisme untuk mendapat program deradikalisasi atau rehabilitasi dan reintegrasi. Namun, Mira menambahkan, walaupun beberapa telah disahkan namun masih banyak kebijakan lain di tingkat pusat dan daerah yang harus segera disahkan dan dikembangkan, terutama kebijakan yang responsif gender.
“Selama ini isu ekstrimisme dan radikalisme tidak pernah dilihat dari perspektif gender, maka WGWC ingin menciptakan ruang-ruang baru untuk seluruh elemen baik masyarakat sipil maupun pemerintah untuk menggunakan perspektif gender dalam kerja-kerja perdamaian,” pungkas Ruby Kholifah, Steering Committee WGWC.
Para aktivis perdamaian ini berkumpul selama dua hari, 9-10 Maret, 2020. Hari pertama merupakan konferensi nasional yang bertujuan mendiskusikan isu-isu terbaru, membuka ruang-ruang pembelajaran, dan praktik-praktik terbaik dalam upaya mainstreming gender di wilayah pencegahan, kontra radikalisme, rehabilitasi dan reintegrasi. Dimeriahkan pula oleh stand up comedy Sakdiyah Ma’ruf yang juga berbicara mengenai bagaimana komedi dipakai untuk melahirkan narasi-narasi baru dalam melawan intoleransi dan ketidakadilan gender.
Dalam kegiatan ini juga diluncurkan kampanye global #StandWithWomenPeacebuilders. Sedangkan pada hari kedua diisi dengan pertemuan tahunan yang akan mengkonsolidasikan gerakan perempuan dan ekstrimisme kekerasan pada tingkat nasional dan daerah. (DP)