Baru-baru ini kawan saya curhat setelah melihat tulisan di kamar mandi sebuah musalla kampung yang berbunyi “toilet untuk ikhwan”. Alasan geram yang disampaikan oleh kawan saya ini lucu namun juga masuk akal, ia bertanya kenapa bahasanya harus dicampur-campur seperti itu?
Lha kalau memang niat belajar bahasa Arab mbok ya sekalian ditulis pakai huruf Arab dan menggunakan tata bahasa yang baik. Kurang lebih begitu protesnya, dan saya sebagai kawan yang baik maka saya tambahi lagi (supaya makin kesal), “Padahal di masjidil haram tulisannya bukan ikhwan dan akhwat, tapi nisa’ dan rijal, karena kedua kata tersebut lebih umum digunakan untuk merujuk laki-laki dan perempuan. Jadi bahasa Arabnya kamar mandi ya ‘Daurah Miyah Nisa’ gitu.”
Bahasa Arab memang diperlukan, apalagi untuk mempelajari teks-teks klasik yang menjadi dasar hukum dalam ajaran Islam. Namun yang mengherankan adalah bahasa Arab bukan lagi dipelajari semata sebagai sebuah media pemahaman terhadap teks tetapi justru menjadi standar kesalihan bahkan keimanan seseorang atau suatu kelompok. Asal sudah bisa bilang hijrah, akhi, ukhti berarti saleh dan salehah, begitukah?
Trend menggunakan bahasa Arab kata per-kata secara bebas ini sebenarnya bukan hal yang baru di Indonesia. Beberapa sinetron dan film yang menayangkan adegan dengan gambaran keturunan Arab biasanya menggunakan kosa kata seperti ‘ane’ ‘ente’ dan lainnya untuk menunjukkan bahwa kisah ini sedang menceritakan mengenai figur yang merupakan seorang keturunan Arab.
Namun belakangan, trend ini menjamur seiring maraknya gerakan hijrah yang juga terkesan salah kaprah. Kenapa salah kaprah? Karena hijrah yang dimaksud oleh kebanyakan orang sebenarnya ialah bermakna taubat (berpindah dari tabiat-tabiat buruk menuju tabiat yang lebih baik).
Tapi entah kenapa marak disebut hijrah, yang biasanya kemudian dilengkapi dengan beberapa langkah awal seperti perubahan penampilan, serta penggunaan kosa kata bahasa Arab. Nah khusus dalam hal kosa kata ini sebenarnya mengalami beberapa kekeliruan penggunaan, walaupun perubahan penampilan sebenarnya juga tidak menjamin keseriusan taubat seseorang.
Kosa kata yang sering digunakan oleh kelompok yang menamakan dirinya dengan pemuda hijrah atau semacam ini biasanya terbatas pada kosa kata harian seperti akhi-ukhti, ikhwan-akhwat, antum, ana, abi, umi, dan tentunya tak lupa taaruf serta halal, haram, dan satu lagi, kafir. Yang lebih advance mungkin akan menambah dengan jazakallah, syafakallah, dan lain-lain.
Tidak ada yang salah dari kesemuanya, saya juga sangat yakin bahwa ini semua juga dilakukan dalam rangka belajar bahasa Arab yang konon disebut sebagai bahasa surga ini. Namun yang menjadi persoalan ialah ketika kosa kata ini menjadi sekat dalam kegiatan keseharian.
Misalnya kita sedang mengunjungi budhe (bibi) di kampung yang sedang sakit demam, lalu kita mencoba mempraktekkan kosa kata bahasa Arab yang sudah kita dapat dalam percakapan, “Budhe, syafakillah, ya. Uhibbuki fillah!” kalau budhe-nya ngerti bahasa Arab memang tidak ada masalah, tapi kalau budhe-nya orang desa yang sudah sepuh dan cuma kenal inalillah (yang biasa dipakai sebagai penanda orang meninggal atau kecelakaan), bisa dikira kita mendoakan budhe-nya segera meninggal.
Alangkah baiknya menggunakan bahasa sehari-hari seperti, “Budhe, cepat sembuh, ya! Aku sayang, loh, sama budhe,” sehingga beliau paham dan merasa bahagia atas kehadiran kita. Toh bahasa memang diciptakan sebagai media untuk saling memahami, bahkan dalam berdoa pun kita dianjurkan untuk menggunakan bahasa yang kita pahami.
Memaksakan diri berdialog menggunakan bahasa Aab dengan orang-orang sepuh sebenarnya sama halnya dengan memaksakan nenek kita berdialog dengan menggunakan bahasa Inggris. Bisa jadi kita terasa sangat asing oleh beliau. Sehingga yang terjadi bukannya saling paham justru saling memprasangkai satu sama lain.
Protes saya selanjutnya berkaitan dengan penggunaan bahasa Arab sebagai simbol kesalehan. Masih ingat kasus netizen yang marah-marah karena ada tulisan Arab di sandal jepit? Ia menganggap bahwa tulisan tersebut melecehkan kitab suci, padahal masing-masing bertuliskan “yumna-yusra” yang artinya kanan dan kiri.
Kita semua harus ingat bahwa orang Arab juga manusia, jadi bisa marah dan mengumpat juga. Jika mereka mengumpat, tidak mungkin pakai bahasa Jawa, kan? Bahasa Arab juga bisa digunakan untuk mengumpat.
Oleh karenanya, jangan mengkultuskan bahasa Arab, apalagi menggunakannya sebagai standar kebaikan. Bahasa Arab hanyalah media yang dapat mempermudah kita mempelajari kitab suci serta teks-teks iIlam klasik lainnya. Seperti kata Nur Cholis Madjid, kita tidak boleh mengkuduskan sesuatu yang tidak kudus. Mempelajari bahasa Arab harus benar-benar disadari sebagai media/alat, bukan standar kesalehan lebih-lebih keimanan.
Wallahu a’lam.