Peristiwa kelam sayangnya tidak melihat tempat, di manapun tempatnya niscaya peristiwa kelam akan hadir menyeruak dan muncul tanpa permisi. Salah satu tempat yang paling dianggap suci bagi jutaan umat muslim di dunia yang dijadikan tempat ibadah haji tiap tahunya yakni Makkah al-Mukaromah tak luput dari sapaan peristiwa kelam tersebut.
Kota Mekkah, di mana Masjidil Haram dan Ka’bah berada turut menjadi saksi dari sebuah peristiwa pemberontakan yang dilakukan oleh Juhayman Al-Utaibi pada tahun 1979. Juhayman merupakan mantan anggota Garda Nasional salah satu pasukan khusus militer yang berfungsi untuk menjaga kerajaan al-Saud dari konflik internal keluarga kerajaan.
Paska mengundurkan diri dari Garda Nasional, Juhayman menyibukkan diri dengan berguru kepada ulama wahabi yang cukup terkenal bernama Ibn Baz. Ibn Baz pada saat itu merasa kurang sreg dengan kepemimpinan pangeran mahkota Fahd yang berupaya untuk melakukan modernisasi Arab Saudi. Pusat-pusat perbelanjaan dan pusat-pusat hiburan yang menjadi sarang perjudian, minuman keras hingga pelacuran menjamur bak cendawan di musim hujan.
Televisi Arab Saudi mulai menayangkan beragam film-film Amerika hingga pemajangan foto raja di dinding-dinding kantor dianggap merupakan bentuk penyimpangan terhadap doktrin ketat wahabi. Alasan-alasan itulah yang membuat Ibn Baz sangat getol untuk mengkritik pangeran Fahd. Namun kritikan pedas yang dilancarkan oleh Ibn Baz mulai luntur setelah diberikan jabatan oleh kerajaan Saudi untuk menangani Departemen Penelitian dan Pengarahan Ilmu Pengetahuan.
Di jabatan barunya tersebut Ibn Baz memiliki wewenang untuk mengeluarkan fatwa-fatwa yang justru mendukung kebijakan-kebijakan modernisasi yang dikeluarkan oleh rezim kerajaan. Seperti menelan ludahnya sendiri paska diberi jabatan Ibn Baz berbalik menjadi penyambung lidah kerajaan.
Menurut Yaroslav Trofimov dalam karyanya berjudul Kudeta Mekkah (2017) Berubahnya sikap sang guru membuat Juhayman menjadi sangat sangsi dan balik mengkritik Ibn Baz. Juhayman tetap teguh menganggap bahwa monarkhi Arab Saudi pada saat itu telah menyimpang. Juhayman dengan berani mengambil posisi terbuka untuk melakukan pembangkangan. Dengan menampakkan ketidaksetujuanya kepada rezim kerajaan Saudi nampaknya juhayman mampu menarik minat mahasiswa-mahasiswa muda untuk bergabung menjadi pengikutnya.
Para pemuda yang menjadi pengikut juhayman memiliki latar belakang arab badui yang kebanyakan tersisih oleh arus modernisasi yang disuguhkan kerajaan. Selain dari para pemuda, Juhayman juga memperoleh pengikut dari para veteran Garda Nasional dan anggota suku Utaibi yang akhirnya dirajut ke dalam sebuah jaringan organisasi rahasia yang beranggotakan ratusan orang. Pada tahun 1978 Juhayman berupaya untuk mempropagandakan pikiranya melalui buku “7 Risalah” yang berisi ejekan kepada rezim kerajaan Saudi.
Buku Juhayman tersebut membuat murka pihak kerajaan Saudi. Di bawah komando Menteri Dalam Negeri Pangeran Nayif upaya penangkapan kepada Juhayman dan para pengikut-pengikutnya mulai dilakukan. Selama masa buronya tersebut Juhayman merasa terobsesi kepada datangnya juru selamat. Sampai akhirnya Ia mengangkat pengikutnya sendiri Muhammad Abdullah sebagai sang Mahdi. Pengangkatan sang juru selamat versi Juhayman tersebut berupaya untuk diproklamirkan di Masjidil Haram.
Dengan segera Juhayman berupaya untuk menyiapkan pembaiatan tersebut dengan pengikutnya secara terbatas dengan secara sembunyi-sembunyi. Upaya pembaiatan tersebut akhirnya dilaksanakan tepat dengan datangnya musim haji pada tahun 1979. Bersama dengan kaum muslim seluruh dunia yang sedang menjalankan ibadah haji ratusan pengikut Juhayman menggabungkan dirinya dengan para jamaah haji tersebut. Kekhusukan para jamaah haji terganggu seketika ketika para pemberontak pengikut Juhayman berhasil mengambil alih Masjidil Haram.
Para pengikut Juhayman seketika merebut mikrofon dari Imam Sholat Shubuh Syekh Muhammad bin Subail lalu menggunakan mikrofon itu untuk mengucapkan sumpah serapah kepada rezim Saudi. Setelah puas dengan sumpah serapah tersebut pengikut Juhayman mengumumkan bahwa Muhammad Abdullah merupakan penyelamat umat Islam dari kebobrokan rezim Saudi. Dengan baiat tersebut para pengikut Juhayman mengharapkan agar para penduduk Saudi segera mengalihkan dukungan dari rezim Saudi ke Imam Mahdi versi Juhayman.
Dengan memopong senjata para pengikut Juhayman mengancam para kerumunan jamaah haji dan menyita kartu Identitas Saudi. Para pengikut Juhayman mengintruksikan kepada jamaah haji yang memiliki kartu identitas Saudi untuk merobek kartu tersebut. Karena ketakutan para jamaah haji asal Saudi beramai-ramai merobek kartu identitasnya sebagai penduduk Saudi. Mengetahui peristiwa tersebut pihak polisi kerajaan langsung bergerak ke Masjidil Haram dan mendekati para pemberontak tersebut.
Namun para pemberontak langsung menyambut kedatangan polisi tersebut dengan tembakan dari senjata Kalasnikov. Darahpun akhirnya menetes di Masjidil Haram. Dilaporkan 8 perwira meninggal dan 36 menderita luka-luka. Sadar bahwa situasi keadaan semakin genting dan polisi kewalahan dalam menghadapi pemberontak tentara regular dibawah Jenderal Dahiri diturunkan. Kendaraan lapis baja hingga jet tempur F-5 dikerahkan untuk mengepung para pemberontak tersebut. Dikerahkanya tentara regular dan alutsista canggih milik kerajaan Saudi membuat Juhayman dan para pengikutnya terdesak.
Hingga akhirnya tepat setelah 2 minggu sejak dimulainya pemberontakan Juhayman dan para pengikutnya akhirnya menyerah. Paska peristiwa kelam pemberontakan Juhayman tersebut kondisi Ka’bah tetap utuh kendati beberapa bagian dari Masjidil Haram mengalami kerusakan. Kerusakan terberat berada di terowongan Safa-Marwa. Dinding-dinding yang terdapat diterowongan itu retak dan terlihat lubang-lubang bekas selongsong peluru. Militer Saudi melaporkan sebanyak 60 orang meninggal baik polisi, militer maupun jamaah haji biasa. Sedangkan dari pihak pemberontak dilaporkan 75 tewas.
Paradigma keislaman yang ketat ala wahabi yang dijadikan doktrin oleh kerajaan Arab Saudi nampaknya memakan tuanya sendiri. Ketika doktrin dan realitas memiliki jurang perbedaan yang tajam mengakibatkan ketidakpuasan dari kalangan internal penganut Wahabi sendiri. Pemberontakan Juhayman adalah pemberontakan atas doktrin Wahabi sendiri yang tidak pernah memoderatkan dirinya sendiri.