Dalam kitab Shifat al-Shafwah karangan Jamaluddin Abi al-Farj bin Ibnu Jauzi atau yang lebih akrab dengan sebutan Ibnu Jauzi, terdapat satu kisah menarik tentang Malik bin Dinar yang menyedahkan harta miliknya karena selalu merasa terganggu dengan memilikinya.
Kisah ini diceritakan oleh al-Haris bin Nabhan. Saat itu, al-Haris bin Nabhan sedang kembali perjalanannya di Mekkah. Ia membeli sebuah teko dan diberikan kepada Malik bin Dinar sebagai bentuk hadiah.
Beberapa hari dari waktu pemberian itu, al-Haris datang ke majelis milik Malik bin Dinar. Setelah acara di majelis itu selesai, Malik berkata kepada al-Haris, “wahai Haris, kemarilah dan ambillah teko itu kembali. Ia benar-benar membuat hatiku sibuk”.
Karena tak mau pemberian darinya dikembalikan lagi kepadanya, al-Haris menjawab, “Wahai Syaikh, aku sengaja membeli teko itu untukmu agar engkau bisa gunakan untuk minum dan berwudlu”.
Mendengar permintaan untuk mengembalikan teko itu ditolak al-Haris, Malik bin Dinar menjelaskan alasan mengapa ia mengembalikannya, “Ketika aku masuk masjid, setan selalu berkata kepadaku bahwa teko itu hilang dicuri orang. Ia benar-benar menyibukkan hatiku”.
Apa yang dilakukan oleh Malik bin Dinar dengan mengembalikan teko itu semata-mata karena tidak ingin hatinya sibuk memikirkan dunia (yakni berupa teko) dan mengurangi kefokusan hatinya dalam mengingat Allah SWT.
Selain mengetahui tentang Malik bin Dinar yang tak mau ibadahnya terganggu karena harta (teko), kita juga mendapat banyak ‘ibrah dari kisah di atas, di antaranya:
#1 Yang terlarang Adalah Mencintai, Bukan Memiliki
Dari kisah di atas kita mengetahui bahwa yang menjadi masalah bukanlah kepemilikan terhadap harta, tapi rasa yang berada di dalam hati (mencintainya yang sampai mengganggu ibadah kepada Allah SWT).
Mencintai atau tidak mencintai tidak ada hubungan kepemilikan terhadap suatu hal. Bisa jadi yang memiliki justru tidak mencintai dan yang tidak memiliki kadang justru mencintai. Penulis sangat yakin, jika seandainya ketika masuk masjid, Malik bin Dinar tidak terganggu hatinya karena adanya teko tersebut, niscaya ia tak akan mengembalikannya kembali kepada al-Haris bin Nabhan.
#2 Memberi Hadiah kepada Sesama
Salah satu kebaikan yang disunnahkan Nabi adalah memberi hadiah. Dalam kitab al-Ta’rifat al-Fiqhiyyah karya Muhammad ‘Amim al-Ihsan dijelaskan bahwa hadiah merupakan suatu harta yang diberikan kepada seseorang dengan niat untuk menghormatinya.
Nabi Muhammad SAW telah memberi wejangan kepada kita lewat hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari dalam kitab Adabul Mufrad, “Hendaklah kalian saling memberi hadiah, niscaya kalian akan saling mencintai”. Terbaca dengan jelas dari hadis ini bahwa memberi hadiah akan menyebabkan pemberi dan penerimanya saling menyayangi.
#3 Menerima Pemberian Orang Lain
Sikap terbaik ketika diberi oleh orang lain adalah menerimanya, meskipun mungkin kita sebenarnya tidak menyukai barang yang diberikan itu. Namun, dengan kita menerimanya, maka sejatinya kita telah membahagiakan sang pemberi.
Jika memang setelah menerima, kita tidak cocok dengan barang itu, kita bisa memberikannya kepada orang lain. Toh, sudah menjadi hak milik kita.
Penulis teringat akhlak salah seorang kiai pesantren yang tak pernah menolak pemberian siapapun. Pernah suatu ketika penulis memberikan sedikit uang kepada beliau dengan niatan tabarukan (karena penulis yakin, beliau sebenarnya tidak membutuhkan uang itu). Pemberian itu pun diterimanya, namun sesaat setelah itu, dikembalikan lagi kepada penulis, sembari berkata, “ini saya terima. Sekarang saya berikan kepadamu”.
Agaknya apa yang diteladankan kiai tersebut layak ditiru. Selama barang yang diberikan jelas halalnya (bukan syubhat/haram) dan niat pemberinya baik (bukan menyuap, misalnya), tak ada salahnya kita terima. Menerima terlebih dahulu dan kemudian diberikan kembali kepada pemberinya/orang lain akan memiliki kesan yang jauh berbeda dengan kita menolaknya secara langsung. Wallahu a’lam