Kebiasaan menyandarkan perilaku kepada materi, cenderung hanya berbuah teror batin belaka. Ia bergelayut dalam angan-angan ketidakpastian (uncertainty), bahkan menjerumuskan pada keresahan tak bertepi.
Saya teringat ungkapan Ibnu Athaillah As-sakandary dalam Al–Hikam yang mengingatkan jika dalam beramal sebaiknya tidak menggantungkannya kepada selain Allah SWT (laa i’timada illa billah). Dari sana, penulis ingin mengurai kembali cerita akan keyakinan semu atas apa yang telah kita yakini betul. Dalam sebuah kisah seorang sufi agung berikut.
Ibrahim bin Adham (100-165 H) ia dilahirkan di Balkh—sekarang Afghanistan. Memiliki nama lengkap Hazrat Sultan Ibrahim bin Adham bin Mansur al-Balkhi al-Ijili Abu Ishaq, pada mulanya ia seorang raja yang memiliki kerajaan besar. Meski sebagai raja, ia lebih memilih hidup zuhud dengan berkelana ke berbagai daerah daripada mengurusi kerajaan.
Pilihan hidupnya itu yang mengantarkan Ibrahim bin Adham oleh al Hujwiri (400-465 H) dalam kitab Kasyf al-Mahjub disebut sebagai ”unique in this path; the chieftain of his contemporaries, and a disciple of al-Khidr.”
Gelar sufi besar yang disandang bukan semata-mata melekat dari darah atau tahta keluarga. Terdapat banyak cerita yang menyudahi perdebatan kita soal gelar kesufian beliau. Seperti ketika Ibrahim mendapati seorang yang sedang mencari seekor unta di atas genteng tempat ia tidur.
Ibrahim sempat menghardik orang tersebut sebagai orang “bodoh”. Namun, orang itu balik menjawab pernyataan Ibrahim “apakah kamu mencari Tuhan dengan pakaian sutera dan tertidur di atas sofa emas?”. Ungkapan itu seketika meneror pikiran Ibrahim hingga membuatnya tidak bisa tidur.
Selain cerita itu, ada beberapa cerita lain yang sangat menggugah iman kita. Seperti yang akan saya ceritakan berikut.
Selepas menunaikan ibadah haji, Ibrahim ingin melanjutkan perjalanannya ke Masjid al-Aqsha. Ketika di sebuah perjalanan ke Yerussalem, ia mampir ke pasar dekat Masjidil Haram untuk membeli kurma di pedagang tua yang nantinya dipakai bekal di perjalanan.
Kurma yang selesai ditimbang lalu dimasukkan di keranjang Ibrahim. Setelah dirasa semua kurma sudah masuk di keranjang, Ibrahim melihat satu kurma tercecer persis di bawah timbangan. Ia mengira satu biji itu bagian dari kurma yang ia beli. Segera ia pungut dan memakannya. Setelah melahap ia berangkat menuju Masjid al Aqsha.
Selang empat bulan kemudian, Ibrahim bin Adham tiba di Masjid Al Aqsha. Ia memilih ruangan di bawah Kubah Sakhra sebagai tempat favorit beribadah. Ia salat, mendaras Alquran, bermunajat dengan khusyuk. Di sela-sela ketika ia beribadah, telinganya menangkap suara dua malaikat bercakap tentang dirinya.
“Itu dia Ibrahim bin Adham, seorang ahli ibadah, zuhud, dan wara yang doanya selalu dikabulkan oleh Allah Swt,” ujar satu malaikat.
“Tetapi sekarang tidak. Doanya tertolak. Sebab empat bulan yang lalu ia memakan sebutir kurma di meja seorang pedagang tua yang bukan haknya,” jawab malaikat yang lain.
Mendengar bisikan itu, seketika Ibrahim terkejut dan terhenyak. Ia teringat empat bulan yang lalu sebelum berangkat menuju Yerussalem, ia mampir membeli sekilo kurma di pasar dekat Masjidil Haram.
Merasa ada yang janggal di hati dan pikirannya, ia bangkit mengemasi barang-barangnya dan pergi kembali ke Mekah untuk mencari pedagang kurma dan meminta keikhlasan sebutir kurma.
Jihad Mencari Rido Kurma
Sesampainya di Mekah, di tempat pedagang tua berjualan dulu, yang ditemui bukanlah orang tua yang dulu berjualan, melainkan seorang pemuda belia. Ibrahim yang sedang berkemelut hatinya dan sedang digelayuti keheranan pun bertanya.
“Empat bulan yang lalu saya membeli kurma di sini kepada seorang pedagang tua. Sekarang di mana dia?”
“Itu Bapak saya, Syeikh. Dia meninggal sebulan yang lalu,” keluh pemuda tersebut.
“Innalillahi Wainna ilaihi rooji’uun, saya turut berduka cita atas kematian Bapakmu wahai pemuda. Kalau begitu kepada siapa saya bisa meminta penghalalan?”
Ibrahim kemudian menceritakan detail peristiwa yang dialaminya. Sedang anak muda mendengarkan dengan seksama.
“Nah, begitulah. Engkau sebagai ahli waris orangtua itu, maukah engkau menghalalkan sebutir kurma milik ayahmu yang terlanjur kumakan tanpa izinnya?” kata Ibrahim bin Adham setelah bercerita.
“Bagi saya tidak masalah. Saya halalkan. Tapi saya masih memiliki saudara yang jumlahnya 11 orang yang mempunyai hak waris sama dengan saya.” Ucap pemuda itu.
Ibrahim yang bersikeras mendapatkan rido atas sebutir kurma tersebut, meminta alamat masing-masing saudaranya.
“Di mana alamat-alamat saudaramu, biar saya temui mereka satu persatu?” pinta Ibrahim.
Setelah menerima alamat, Ibrahim bin Adham kemudian pergi menemui mereka. Masing-masing didatangi, mengetuk pintu, dan ditemui tepat di depan rumah. Setelah seluruh keluarga itu telah menghalalkan sebutir kurma, Ibrahim pun lega. Dirasa semua permasalahan telah terselesaikan, Ibrahim kembali ke Masjid al Aqsha.
Ia kembali menempuh empat bulan perjalanan ke Masjid Al-Aqsha. Sesampainya di sana, seperti biasa, ia memilih Kubah Sakhra sebagai tempat beribadah. Ia kembali bertakarub kepada Allah, dengan ritual salat, zikir, dan munajat.
Tidak menunggu lama, di sela-sela ia berdoa, tetiba Ibrahim mendengar dua malaikat yang dulu sedang berdebat.
“Itulah Ibrahim bin Adham yang doanya tertolak gara-gara makan sebutir kurma milik orang lain”, kata malaikat.
“Oh tidak, sekarang doanya sudah kembali makbul. Ia telah mendapat penghalalan dari ahli waris pemilik kurma itu. Diri dan jiwa Ibrahim kini telah bersih kembali dari kotoran sebutir kurma yang haram karena masih milik orang lain. Sekarang ia sudah bebas,” terang malaikat yang satunya lagi.
Wallahu A’lam.