Untuk kepentingan memenuhi kebutuhan orang-orang miskin dan Ibnu Sabil (para pejalan), Umar bin Abdul Aziz (selanjutnya ditulis Umar saja) mendirikan rumah sosial. Di rumah itu, disimpan banyak makanan, minuman, dan kebutuhan hidup lainnya.
Terlihat dari namanya, rumah itu hanya diperuntukkan kepada mereka yang membutuhkan dan dalam perjalanan saja. Selain mereka tidak boleh.
Demikian pula yang dilakukan Umar. Meski ia seorang menjadi pemimpin, ia tidak serta merta mau menggunakan dan atau mengambil barang apapun dari rumah itu, meski hanya sedikit.
Hal ini terbukti ketika istri Umar bin Abdil Aziz sedang hamil (sebut saja Fulanah). Ia mengingikan susu (Jawa: nyidam). Keinginan tersebut disampaikan kepada salah satu budaknya (baca: pembantu).
Untuk mengobati nyidam tersebut, entah karena apa, tiba-tiba si pembantu sampai “berani” mengambilkan susu dari rumah sosial. Ia pergi ke sana dan pulang ke rumah Umar sudah dengan membawa segelas susu.
Ketika ia sampai di rumamh, Umar mengetahui.
“Apa yang engkau bawa itu?,” tanya Umar.
Si budak menjawab, “Ini adalah susu yang aku ambil dari rumah sosial. Susu ini untuk istri Anda, Fulanah. Ia kan sedang hamil. Barusan ia ingin meminum susu. Oleh karenanya, aku ambilkan susu ini dari rumah sosial. Pasalnya, orang hamil itu kalau pas mengginginkan sesuatu dan tidak keturutan, maka dikhawatirkan janin yang ia kandung akan mengalami keguguran”.
Umar lantas menggandeng tangan si budak itu membawanya menemui istrinya, Fulanah. Kepada Fulanah, Umar berkata dengan nada tinggi, tanda bahwa ia sedang marah.
Ia menyatakan tak peduli janin yang dikandung istrinya itu akan gugur bilamana tidak dituruti keinginannya untuk meminum susu yang diambil dari rumah sosial, “Kalau memang demikian yang akan terjadi (bila tidak minum susu dari rumah sosial maka janin akan mengalami keguguran), maka biar saja Allah membuatnya keguguran”.
Fulanah bingung dengan apa yang dilakukan suaminya yang ujug-ujug berkata-kata dengan nada tinggi.
“Ada apa ini?,” tanya Fulanah.
Umar pun menjelaskan apa yang telah dikatakan dan dilakukan oleh si budak. Yakni ia berkata bahwa janin yang ada dalam kandungannya (Fulanah) itu dikhawatirkan akan gugur jika keinginannya untuk minum susu (dari rumah sosial) tidak dituruti.
Fulanah pun bisa memahami “sabda” suaminya. Ia akhirnya memutuskan untuk tidak meminum susu tersebut. Oleh si budak, susu itu dikembalikan ke rumah sosial.
Kisah di atas, penulis baca dari kitab ‘Uyun al-Hikayat karya Ibnu Jauzi. Lewat kisah di atas, kita bisa belajar bagaimana menjadi pejabat sejati, yakni tidak mengambil kesempatan dalam kesempitan.
Sebenarnya, mudah saja bagi Umar untuk melakukan sesuatu. Toh, semua berada di bawah kepeimpinan dan kendalinya. Bahkan kalau mau, ia tidak saja bisa mengambil dari “proyek” rumah sosial, namun keseluruhan proyek yang ada di wilayah yang ia pimpin.
Apa yang dilakukan Umar hendaknya menjadi contoh bagi kita bersama, terutama yang diamanahi kekuasaan (dalam segala tingkatan). Jika memang tidak berhak, hendaknya kita ikut latah ikut-ikutan menikmati uang negara. Biar mereka saja yang memang memiliki hak yang mengambilnya.
Dengan tidak mengambil yang memang bukan hak dan jatah kita, setidaknya kita telah ikut menghemat uang negara dan memberi kesempatan kepada mereka yang benar-benar membutuhkan.
Walhasil, hak kita dan hak orang lain acapkali berbeda. Apa yang menjadi hak kita, silakan kita ambil. Namun jika bukan hak, maka kita sama sekali tak memiliki kewenangan untuk menikmatinya. Wallahu a’lam.
Sumber Kisah:
Ibn al-Jauzi, Jamaluddin Abi al-Farj bin. ’Uyun al-Hikayat. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2019.